Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kembalinya Sang Komunis Tua

Kepulangan Musso mengubah peta politik nasional. Kekuatan kaum komunis mengkristal di belakangnya.

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAWAT amfibi Catalina itu mendarat di rawa-rawa Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, pada 10 Agustus 1948. Pada masa itu, rawa-rawa luas di dekat bendungan Niyama itu memang sering menjadi titik pendaratan pesawat yang membawa tamu-tamu rahasia untuk Republik.

Dua pria beriringan keluar dari pesawat. Seorang pria belia berperawakan tinggi ramping ditemani seorang pria setengah baya bertubuh gempal dengan wajah keras. Yang lebih muda bernama Soeripno, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Praha, Cekoslovakia. Adapun pria di belakangnya mengaku bernama Soeparto, sekretaris pribadi Soeripno.

Di tepi rawa-rawa, sebuah mobil menanti. Menurut sejarawan Belanda, Harry Poeze, mobil penjemput hari itu adalah milik pentolan Pemuda Sosialis Indonesia, Soemadi Partoredjo. Seperti dikutip dari buku Poeze, Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949, mobil itu dipilih karena kondisi keempat bannya yang masih baik.

Tak lama berbasa-basi, rombongan segera melaju pergi. Mereka mengarah ke Solo, Jawa Tengah. Di sana, Gubernur Militer Wikana—seorang tokoh Partai Komunis Indonesia terpandang—sudah bersiap menyambut dua tamu dari jauh itu.

Tak banyak yang sadar bahwa kedatangan dua orang dari Praha ini akan membawa konsekuensi politik yang amat besar untuk perjalanan sejarah Republik Indonesia muda, beberapa pekan berikutnya.

Pria setengah baya yang mengaku sebagai ”sekretaris” itu sebenarnya adalah Musso, 50 tahun, tokoh legendaris PKI yang ikut mencetuskan pemberontakan para buruh pada 1926. Setelah lebih dari 20 tahun bermukim di Moskow, Rusia, pada medio 1948 itu dia memutuskan sudah saatnya kembali ke Indonesia.

l l l

MOSKOW, Januari 1948, delapan bulan sebelum kepulangan Musso. Perjanjian Renville baru saja ditandatangani di Indonesia. Pemimpin Partai Komunis Uni Soviet bergegas meminta sebuah laporan dibuat mengenai kondisi terakhir gerakan komunis di Nusantara.

Analisis itu dinilai penting karena, setahun sebelumnya, Moskow baru merilis garis perjuangan baru yang lazim dikenal sebagai doktrin Andrei Zhdanov. Berdasarkan teori ini, kaum komunis dianjurkan ”mulai mengambil jarak dari kubu imperialis yang dimotori Amerika Serikat”. Tindakan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin—pemimpin koalisi sayap kiri di kabinet Indonesia, yang menandatangani pakta Renville di atas kapal Amerika yang berlabuh di Tanjung Priok—menimbulkan tanda tanya di Moskow.

Musso segera menyusun laporan. Namun minimnya informasi tangan pertama membuat analisisnya tidak akurat. Kepada pemimpin Partai Komunis Uni Soviet, Musso membela tindakan Amir dan kameradnya di Indonesia. Dia menyebutnya sebagai ”taktik saja, untuk tidak menarik perhatian kaum antikomunis”. Musso bahkan menjamin posisi kelompok kiri dalam militer Indonesia masih cukup kuat.

Dalam hitungan hari, analisis Musso terbantah habis. Pada 23 Januari 1948, sepekan setelah Renville ditandatangani, Amir Sjarifoeddin dipaksa mundur dari kursi perdana menteri. Posisi politik dua rival blok kiri, Masyumi dan Partai Nasional Indonesia, juga menguat.

Kesalahan laporan Musso segera dikritik hebat. Sejarawan Rusia, Larissa Efimova, mengutip laporan dua analis Rusia, Kogan dan Luhlov, menuding Musso ”berkhayal” dan ”membenarkan sebuah strategi yang membawa malapetaka”.

Kepala Divisi Asia Tenggara di Departemen Kebijakan Luar Negeri Komisi Sentral Partai Komunis di Uni Soviet, Plishevsky, mengirim surat ke Politbiro dan menegaskan bahwa ”taktik keliru PKI telah menyebabkan berpindahnya kekuasaan di Indonesia kepada partai-partai kanan”.

Meski tak pernah ada dokumen yang menegaskan adanya tugas resmi dari Moskow kepada Musso, dalam bukunya, Dari Moskow ke Madiun?, Larissa menyebut Musso ”merenungkan cukup lama kritik Partai Komunis Uni Soviet atas taktik lama PKI” sebelum akhirnya menetapkan diri untuk mengambil peran sentral meluruskan garis perjuangan partainya.

l l l

Pada April 1948, Musso meninggalkan Moskow, menuju Praha, Cekoslovakia. Di sana, dia mengaku bernama Musin Makar Ivanovich, dan menyamar menjadi sekretaris pribadi Soeripno, pejabat Indonesia setingkat duta besar yang ditempatkan Menteri Luar Negeri Agus Salim di sana sejak medio 1947.

Pada pekan ketiga Mei 1948, Soeripno berhasil membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet. Keberhasilan Soeripno ini disambut pro-kontra—sebagian menilai hubungan diplomatik resmi dengan Soviet bisa mendorong Republik jauh ke kiri. Tak sampai sepekan kemudian, sebuah kawat resmi dikirim ke Praha: Soeripno dipanggil pulang ke Yogyakarta. Sekretaris pribadinya, Musin Ivanovich alias Musso, ikut pulang ke Indonesia.

Selama enam minggu di perjalanan—dari Praha, lewat Kairo, New Delhi, berhenti sebentar di Bangkok lalu Bukittinggi—Musso terus merahasiakan identitasnya. Menurut catatan Harry Poeze, dia bahkan berkeras tidak mau difoto. ”Setiap kali ada kamera mengarah kepadanya, Musso selalu memalingkan muka, atau menyembunyikan wajah di balik koran atau buku.”

Namun di Solo, kedatangan tokoh sekaliber Musso tak bisa lagi disembunyikan. Sambutan Wikana yang demikian hangat kepada ”Soeparto” membangkitkan kecurigaan.

Pada 12 Agustus, dua hari setelah kedatangannya, berita pertama soal kepulangan Musso muncul di harian Merdeka, Solo. Pada berita berjudul ”Soeparto al Musso” dijelaskan bahwa ”ada kemungkinan, tokoh kawakan Musso yang sangat terkenal itu telah kembali”.

Berita kecil itu segera disusul kabar-kabar selanjutnya di media lain. Dua media prokomunis, Suara Ibukota dan majalah Revolusioner—keduanya terbit di Yogyakarta—bahkan mempublikasikan wawancara panjang dengan Musso, selama tiga hari berturut-turut. Salah satu redaktur koran Suara Ibukota adalah Wikana.

Dalam artikel itu, Musso dengan panjang-lebar menjelaskan pentingnya pembentukan sebuah pemerintahan front nasional. ”Tujuan tunggal dari mobilisasi seluruh potensi kekuatan kita dalam sebuah front nasional adalah memerangi pemerintah kolonial Belanda,” kata Musso, seperti dikutip jurnalis harian Rakjat, Soerjono, dalam catatannya untuk sejarawan Amerika, Ben Anderson.

Sehari kemudian, Musso menemui Presiden Sukarno di gedung Agung, Yogyakarta. Mereka berpelukan lama. ”Lho, kok masih awet muda?” tanya Bung Karno sambil tersenyum lebar. Musso menjawab tangkas, ”Oh ya, ini semangat Moskow. Semangat Moskow selamanya muda.”

Setelah bercakap-cakap panjang, di akhir pertemuan, Sukarno mengajak Musso membantu meredakan pertikaian antarkelompok dalam tubuh Republik. Seperti dicatat wartawan Revolusioner, Soepeno, Presiden berujar takzim, ”Saya harap Pak Musso, setelah kembali ke Tanah Air, bisa membantu menciptakan rust en orde.” Musso menjawab dalam bahasa Belanda, ”Ik kom hier om orde te scheppen (Saya memang datang ke sini untuk menciptakan ketertiban).”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus