Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESAWAT jet bernomor CLNO4 itu mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, selepas magrib. Pesawat milik maskapai TAG Aviation yang bermarkas di Amerika Serikat itu terbang langsung dari Hong Kong atas pesanan Joko Soegiarto Tjandra, bos Mulia Group, salah satu perusahaan properti papan atas di negeri ini. Rabu dua pekan lalu, begitu mendarat di Halim, pesawat itu langsung mengajukan permintaan pengisian bahan bakar.
Sekitar pukul 20.00 sang pencarter datang. Berjaket kulit hitam, pria bernama asli Tjan Kok Hui muncul bersama dua rekannya. Ketiganya, yang hanya membawa empat koper kecil, langsung menuju Executive Lounge Abimanyu. Sembari menunggu pesawat mengisi bahan bakar, Joko memesan minuman ringan. ”Tidak ada tanda-tanda ketegangan di wajahnya,” ujar Sugiarto, manajer operasi PT Sari Rahayu Biomanatara, perusahaan yang mengurus penyewaan maskapai TAG di Indonesia.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Joko bergegas menuju pesawat. Tujuan mereka Port Moresby, ibu kota Papua Nugini. Tak ada masalah dengan soal keimigrasian. Joko mengeluarkan semua dokumen yang diperlukan: dari paspor hingga nomor pokok wajib pajak (NPWP), yang membebaskannya dari fiskal. Sekitar pukul 20.30, Joko pun terbang ke Port Moresby. ”Dia sempat menyalami saya,” kata Sugiarto.
Ini bukan pertama kalinya Joko terbang ke Papua dengan pesawat khusus. Sugiarto mencatat, tiga kali sudah pengusaha 59 tahun ini menyewa pesawat TAG untuk mengantarkannya ke Port Moresby. Berkapasitas sepuluh penumpang, pesawat CLN04 itu memang hanya melayani carteran. ”Pokoknya ini private jet-lah,” kata Sugiarto.
Dua hari kemudian, barulah petugas Bandara Halim dikejutkan oleh datangnya surat dari Kejaksaan Agung. Kejaksaan menyatakan Joko dicekal lantaran turunnya putusan peninjauan kembali (PK ) Mahkamah Agung pada Kamis dua pekan lalu, yang menghukum Joko dua tahun penjara. Selain menghukum Joko, Mahkamah juga menghukum bekas Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin. Keduanya dinyatakan bersalah dalam kasus penggelontoran duit negara Rp 900 miliar lebih, yang dikenal dengan skandal ”cessie Bank Bali”.
Menghilangnya Joko tepat sehari sebelum putusan itu diketuk tak pelak menimbulkan kecurigaan: pengusaha ini sudah mendapat bocoran dirinya bakal dihukum. Tapi Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa tak percaya hasil sidang majelis peninjauan kembali bisa bocor. ”Tidak mungkin, karena sidang putusan dan pengumuman dilakukan bersamaan pada hari Kamis. Tidak ada jeda.”
Kepala Angkasa Pura II Cabang Halim, Bram B. Tjiptadi, menolak jika instansinya dituding tak sigap menahan Joko. Menurut Bram, jika surat cekal itu datang sebelum Joko terbang, pihaknya pasti mencekal Joko. Tapi, nyatanya, surat cekal itu baru datang Jumat dua pekan lalu. ”Kami tidak bisa disalahkan,” kata Bram kepada Tempo.
Kini, baru Syahril yang dieksekusi. Selasa pekan lalu, setelah memenuhi panggilan kejaksaan, pria 66 tahun itu langsung dijebloskan ke penjara Cipinang, Jakarta Timur. Begitu masuk, seperti lazimnya penghuni baru, Syahril diambil fotonya dari depan, kiri, dan kanan. ”Ma, sekarang saya sudah jadi napi,” kata Syahril dengan suara tercekat kepada istrinya, Murni Muis, yang ikut mengantarkannya ke penjara, setelah acara pemotretan itu selesai.
SKANDAL ”cessie Bank Bali” bermula saat pemilik bank ini, Rudy Ramli, kesulitan menagih piutangnya yang tertanam di brankas Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara pada 1997. Nilainya sekitar Rp 3 triliun. Hingga ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan itu tak membawa hasil. Belakangan, BPPN juga emoh mengabulkan tagihan itu dengan alasan penagihan itu terlambat diajukan ke BPPN, sehingga batas pembayarannya sudah lewat.
Mentok di sana-sini, Rudy lantas menyewa jasa PT Era Giat Prima. Di perusahaan ini Joko duduk sebagai direktur dan Setya Novanto, yang saat itu bendahara Golkar, direktur utamanya. Perjanjian pengalihan hak tagih (cessie) diteken pada Januari 1999. Yang luar biasa adalah fee-nya. Era bakal mengantongi separuh dari duit yang dapat ditagih.
Era Giat ternyata menggunakan ”kekuatan politik” untuk mengegolkan proyek besar ini. Saat itu sejumlah tokoh Golkar disebut-sebut terlibat untuk ”membolak-balik” aturan dengan tujuan proyek pengucuran duit itu berhasil. Pada 11 Februari 1999, misalnya, terjadi pertemuan rahasia antara Ketua Dewan Pertimbangan Agung Arnold Baramuli, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Tanri Abeng, Syahril Sabirin, Wakil Ketua BPPN Pande Lubis, petinggi Era Giat dan Wakil Direktur Utama Bank Bali, Firman Soetjahja membicarakan soal penarikan duit dari BPPN. Kepada Tempo, semuanya—kecuali Firman—saat itu membantah adanya pertemuan di Hotel Mulia tersebut (Tempo, 13 Agustus 2000).
Yang pasti, setelah pertemuan itu, Bank Indonesia dan BPPN setuju mengucurkan duit Bank Bali itu. Jumlahnya Rp 905 miliar. Namun Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60 persen atau Rp 546 miliar, masuk rekening Era.
Kongkalikong ini kemudian terungkap dan menjadi bola liar. Adalah pakar hukum perbankan Pradjoto yang pertama kali mengungkap kasus ini ke mana-mana. Pradjoto ”mencium” skandal cessie ini berkaitan erat dengan pengumpulan dana untuk memajukan Habibie ke kursi presiden, saat itu. ”Fee itu terlalu besar dan janggal,” kata Prajoto kepada Tempo.
Satu per satu keganjilan di balik pencairan duit itu juga terkuak. Cessie itu, misalnya, tak diketahui BPPN, padahal saat diteken, BDNI sudah masuk perawatan BPPN. Cessie itu juga tak dilaporkan ke Bapepam dan PT BEJ, padahal Bank Bali sudah masuk bursa. Selain itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan Era Giat.
Sadar pembayaran piutang itu bermasalah, Ketua BPPN saat itu, Glenn M.S. Yusuf, membatalkan perjanjian cessie. Perang pun dimulai. Setya lalu menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Walau tetap menang di tingkat banding, Mahkamah Agung, lewat putusan kasasinya pada November 2004, memenangkan BPPN.
Era Giat juga membawa kasus ini ke ranah perdata. Perusahaan itu menggugat Bank Bali dan Bank Indonesia agar mencairkan dana Rp 546 miliar untuk mereka. Pengadilan, pada April 2000, memutuskan Era Giat berhak atas duit lebih dari setengah miliar rupiah itu. Kasus ini terus bergulir ke atas. Lewat putusan kasasinya, Mahkamah kemudian memutuskan duit itu milik Bank Bali. Di tingkat peninjauan kembali, putusan itu tetap sama: duit itu hak Bank Bali.
Di tengah proses pengadilan tata usaha negara dan perdata itulah, Kejaksaan Agung lantas ”mengambil” kasus ini. Kejaksaan menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus ini, antara lain Joko Tjandra, Syahril, Pande Lubis, Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng. Mereka dituduh melakukan korupsi duit negara. Kejaksaan menyita duit Rp 546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan (escrow account) di Bank Bali.
Kendati yang menjadi tersangka lumayan banyak, ternyata belakangan yang diadili hanya tiga orang: Joko, Syahril, dan Pande Lubis. Dari tiga orang ini, nasib paling sial dialami Pande Lubis. Mahkamah, pada 2004, menghukum Pande empat tahun penjara. Sejak itu Pande mendekam di bui.
Adapun Syahril, kendati divonis pengadilan negeri tiga tahun, belakangan hakim pengadilan banding dan hakim kasasi menganulir putusan itu. Yang kontroversial adalah Joko. Selain hanya dituntut ringan, hanya sebelas bulan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutusnya bebas. Di tingkat kasasi, lagi-lagi ia dinyatakan bebas. Satu-satunya hakim kasasi yang saat itu melakukan dissenting opinion atas putusan Joko adalah Artijo Alkostar. Menurut Artijo, Joko jelas melakukan tindak pidana. Toh, Artijo kalah suara. Kejaksaan tak menyerah. Upaya hukum luar biasa pun, peninjauan kembali, dilakukan.
Hasilnya memang tak sia-sia. Mahkamah, dua pekan lalu, menyatakan Joko dan Sjahril Sabirin bersalah dan menghukum mereka dua tahun penjara. ”Ini politik banget,” kata O.C. Kaligis, mengomentari nasib kliennya. Kaligis menyoroti sejumlah nama yang lolos dari kasus ini, seperti Rudy Ramli dan juga Setya Novanto. ”Padahal dia itu direktur utamanya.”
KEJAKSAAN Agung mengklaim punya alasan kuat mengajukan PK. Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Marwan Effendy, putusan kasasi yang membebaskan Joko dan Syahril tidak adil. Ia menunjuk masuknya Pande ke bui, sementara Joko dan Syahril bebas. Padahal ketiganya dijerat kasus yang sama. ”Ada kekeliruan dalam putusan hakim kasasi,” kata Marwan. Berangkat dari alasan itulah, Januari lalu, lewat Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, PK pun diajukan. ”Ini ujungnya untuk kepentingan negara,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Untung Ari Muladi.
Sebenarnya Joko pernah melobi kejaksaan agar kasus ini tak ”naik lagi”. Ia menawarkan uangnya di Bank Bali—yang kini menjadi Bank Permata—diambil kejaksaan dengan syarat kejaksaan tidak melakukan peninjauan kembali. Ini bisa jadi hanya janji-janji Joko, karena menurut Marwan, hingga detik ini Joko tidak pernah datang meneken berita acara penyerahan uang. ”Dia tidak punya iktikad baik,” kata Marwan. Lobi Joko di Kejaksaan Agung juga sempat terungkap saat Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta. Saat itu, nama Joko—dengan alias Joker—sempat disebut-sebut Artalyta saat menelepon Kemas Yahya Rahman, yang saat itu menjabat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Putusan peninjauan kembali kasus Joko juga tidak bulat. Dari lima hakim, dua hakim, Komariah Emong Sapardjaja dan Suwardi, mengajukan dissenting opinion. ”Mereka berbeda soal formalitas peninjauan kembali,” kata Djoko Sarwoko, ketua majelis PK yang menangani kasus ini. Dihubungi Tempo pekan lalu, Komariah mengeluarkan alasan atas sikapnya: Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. ”Jaksa tidak punya hak melakukan PK, apalagi ini terkait putusan bebas,” ujarnya.
Kaligis juga menuding Mahkamah tidak konsisten dalam putusannya. Pandangan serupa dilontarkan Mohammad Assegaf, kuasa hukum Syahril. ”Khususnya inkonsistensi Djoko Sarwoko,” katanya. Djoko, menurut Assegaf, pernah menolak peninjuan kembali yang diajukan kejaksaan dalam kasus Haji Mulyar bin Sanusi, tiga tahun lalu. ”Waktu itu Pak Djoko bilang, PK yang diajukan jaksa tidak dapat diterima,” katanya. Kaligis dan Assegaf menyatakan akan mengajukan PK atas putusan PK Mahkamah. ”Kami belum pernah memakai langkah PK,” ucap Kaligis.
Kini tugas di depan mata memang menangkap Joko Tjandra dan juga membereskan duit Rp 546 miliar yang menurut Mahkamah milik negara. Soal lenyapnya Joko, Marwan Effendy mengaku mendapat jaminan dari pengacara Joko bahwa sang Joker akan muncul. ”Dia minta waktu dulu untuk membereskan urusan bisnisnya di luar negeri,” ujar Marwan. Setya Novanto juga tak percaya Joko akan melarikan diri seperti sejumlah buron kejaksaan yang lain. ”Dia mungkin sedang menenangkan diri karena kaget,” kata Setya, direktur Era yang lolos dari jerat hukum dalam kasus ini.
Dihubungi Tempo Jumat pekan lalu, juru bicara Kedutaan Besar RI untuk Papua Nugini, Abdul Hakim, menyatakan pihaknya belum mendapat permintaan dari Jakarta untuk mencari Joko. Nama Joko Tjandra, kata Abdul Hakim, tidak ada dalam daftar pengusaha Indonesia yang berbisnis di Papua Nugini. ”Dia juga tidak masuk daftar warga Indonesia yang memiliki izin tinggal tetap di sini,” kata Abdul.
Adakah Joko akan muncul atawa lenyap selamanya, kita tunggu kejutan selanjutnya. Mungkin juga kejutan dari kasus hukumnya, terutama hak peninjauan kembali itu milik siapa sebenarnya. ”Dunia sudah jungkir balik,” kata Syahril Sabirin mengenai soal PK ini.
LRB, Anne L. Handayani, Anton Aprianto, Rini Kustiani, Akbar Tri Kurniawan, Ismi Wahid, Agung Sedayu
10 Tahun,Lalu Masuk Bui
PERKARA cessie Bank Bali yang sejak awal penuh kontroversi itu akhirnya mengirim juga Joko Soegiarto Tjandra ke bui. Mahkamah Agung, lewat putusan peninjauan kembali, juga menghukum mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin. Seperti Joko, Syahril dipidana dua tahun penjara. Inilah lika-liku perjalanan kasus yang memakan waktu hampir sepuluh tahun itu.
1998
21 Agustus
Badan Penyehatan Perbankan Nasional mengambil alih Bank Dagang Nasional Indonesia dan Bank Umum Nasional.
1999
11 Januari
Bank Bali meneken perjanjian pengalihan tagihan (cessie) dengan PT Era Giat Prima.
14 Mei
Badan Penyehatan dan Bank Indonesia sepakat mengubah Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah.
1 Juni
Badan Penyehatan menginstruksikan Bank Indonesia membayar tagihan Bank Bali Rp 904 miliar. Surat instruksi diteken Wakil Ketua Badan Penyehatan, Farid Harianto, dan diantar Pande Lubis ke Bank Indonesia. Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin menyetujui pembayaran klaim.
12 Agustus
Pemilik Bank Bali, Rudy Ramli, menyerahkan catatan hariannya kepada Kwik Kian Gie dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kasus ini terungkap. Polisi menetapkan sepuluh tersangka kasus pidana korupsi Bank Bali, antara lain Rudy Ramli, Pande, dan Setya Novanto.
29 September
Joko Tjandra ditahan kejaksaan hingga 8 November, dilanjutkan dengan tahanan kota.
2000
Februari
Joko, Tanri Abeng, dan Syahril menjadi tersangka.
6 Maret
Putusan sela hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa tidak dapat diterima. Joko dilepaskan dari tahanan kota.
31 Maret
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan perlawanan jaksa, memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa dan mengadili Joko.
28 Agustus
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Joko dari dakwaan.
23 November
Pande Lubis dinyatakan bebas.
2001
28 Juni
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi kejaksaan atas Joko.
2002
13 Maret
Syahril divonis tiga tahun.
12 Agustus
Pengadilan Tinggi membebaskan Syahril.
2003
12 Juni
Kejaksaan Negeri meminta direksi Bank Permata menyerahkan barang bukti uang yang ada di escrow account senilai Rp 546 miliar setelah Joko dinyatakan bebas dari tuduhan korupsi.
2004
Pande Lubis dinyatakan bersalah oleh Mahkamah, dihukum empat tahun penjara
2008
2 Maret
Artalyta Suryani, tersangka suap jaksa Urip Tri Gunawan, menyatakan diminta bantuan oleh Joko Tjandra untuk membereskan kasusnya.
3 September
Kejaksaan Agung mengajukan permohonan peninjauan kembali kasus Joko Tjandra dan Syahril Sabirin.
2009
8 Juni
Mahkamah menerima permohonan peninjauan kembali Kejaksaan Agung. Syahril dihukum 2 tahun penjara dan denda Rp 15 juta.
11 Juni
Mahkamah menerima permohonan peninjauan kembali Kejaksaan Agung. Mahkamah menghukum Joko 2 tahun penjara dan denda Rp 15 juta. Uang Joko di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.
16 Juni
Joko mangkir dari panggilan kejaksaan.
Masuk Penjara
Joko Tjandra, Direktur PT Era Giat Prima. Dihukum 2 tahun penjara, kini buron
Syahril Sabirin, mantan Gubernur Bank Indonesia. Dihukum 2 tahun dan langsung ditahan
Pande N. Lubis, mantan Wakil Kepala BPPN. Dalam tingkat kasasi dihukum 4 tahun
Luput dari Jerat Hukum
Sempat ditetapkan sebagai tersangka:
- Setya Novanto,Direktur PT Era Giat Prima
- Tanri Abeng, mantan Menteri Pendayagunaan BUMN
- Erman Munzir, pejabat Bank Indonesia
Dibebaskan lewat putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan:
- Rudy Ramli, mantan Direktur Utama Bank Bali
- Firman Soetjahja, mantan Wakil Direktur Utama Bank Bali
- Hendri Kurniawan, mantan anggota direksi Bank Bali
- Rusli Suryadi, mantan anggota direksi Bank Bali
Yang sempat masuk pusaran kasus Bank Bali:
- Marimutu Manimaren
saat itu Bendahara Golkar - Glenn Yusuf
saat itu Ketua BPPN - Farid Harianto
saat itu Wakil Ketua BPPN - Bambang Subianto
saat itu Menteri Keuangan - J.B. Sumarlin
mantan Menteri Keuangan - A.A. Baramuli
saat itu tokoh Golkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo