Sebuah jip Hardtop berwarna kuning kusam meraung-raung mengeluarkan suara yang memecah udara. Empat penumpang yang duduk di dalamnya terkantuk-kantuk dalam impitan karung-karung plastik yang memenuhi kabin mobil. Siang di awal November 2003 lalu. Matahari memaku sinarnya di atas permukaan tanah, aspal, dan pohon-pohon. Angin semilir pegunungan mengurangi teriakan matahari. Ketika jalan kian mendaki—pada beberapa ruas jalan, kemiringan bahkan mencapai 45 derajat—sopir mengaktifkan persneling penggerak empat roda. Mobil itu mengejan: menaiki punggung bukit setinggi 1.500 meter.
Dari kejauhan, jalan yang meninggi memberi pemandangan yang menakjubkan: hutan hijau tua yang diukir aspal hitam meliuk-liuk. Longsoran tanah terdapat di sana-sini. Di sebuah ruas, sebatang pinus sepanjang lima meter tergeletak di pinggir jalan: sendiri dan menjadi saksi tentang proyek jalan raya yang menyingkirkan pohon-pohon.
Inilah ruas jalan Blangkejeren-Pinding, dua tempat di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Ruas sepanjang 22 kilometer ini merupakan bagian dari jalan sepanjang 500 kilometer bernama Ladia Galaska, yang menghubungkan Lautan Hindia, Gayo, Alas, dan Selat Malaka (lihat infografik). Sejak tiga tahun lalu, Pemerintah Daerah Aceh dan Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah berkeras membangun jalan itu untuk membuka kawasan sekitar dari isolasi alam.
Kini sebagian ruas itu telah selesai dibangun. Orang-orang "memanfaatkan" jalan itu, dan jip Hardtop yang mengejan itu adalah, "Satu-satunya angkutan umum yang bisa dipakai," kata Zainal, seorang penduduk lokal yang menemani saya berkendara siang itu. Sekali jalan, sopir jip memungut Rp 3.500 per orang.
Menyebut ruas Blangkejeren-Pinding tak membuka isolasi sebetulnya tak tepat benar. Setelah dibuka, jalan itu banyak dimanfaatkan oleh penduduk di Kecamatan Pinding yang akan berbelanja ke Blangkejeren, ibu kota Kabupaten Alas Gayo. Di sana mereka membeli beras, gula, dan bahan pokok lainnya. Dulu jalan itu hanya bisa dilewati pejalan kaki, pengendara sepeda, atau penunggang kuda.
Tapi ambisi untuk membuka daerah isolasi juga terasa kurang sebanding dengan biaya yang dikeluarkan (total proyek ini menghabiskan Rp 1,2 triliun). Di wilayah Blangkejeren, Pinding, dan Lokop—kecamatan lain yang tak jauh dari Pinding—misalnya, hanya terdapat lima desa dengan penduduk tak lebih dari 300 jiwa. Dengan kata lain, ini proyek besar yang belum jelas khasiatnya.
Karena itulah di jalan itu belum banyak kendaraan yang lewat. Jip kuning kusam hanya melintas beberapa kali sehari. Pendatang, yang diharapkan membawa uang dan kemakmuran, belum ada yang tiba. Keadaan alam ditambah kondisi keamanan yang buruk akibat perang antara Gerakan Aceh Merdeka dan TNI membuat ruas itu terasa mencekam. "Jangan bepergian malam hari," kata seorang penduduk. "Naiklah kendaraan umum karena lebih aman."
Lebih aman? Malam sebelumnya, ketika melewati ruas Kutacane-Blangkejeren, saya menumpang mobil pribadi milik penduduk lokal di sana. Di rute sepanjang beberapa puluh kilometer itu kami dihadang sekitar 10 pos pemeriksaan TNI. Di tiap pos, aparat militer bersenjata lengkap memeriksa tanda pengenal, menanyakan maksud bepergian, dan menyorotkan lampu yang menyilaukan langsung ke bola mata. Tak ada yang terluka, memang. Tapi bentakan aparat selalu membuat tidur tak nyenyak.
Keamanan memang salah satu kendala dalam membuka kawasan Ladia Galaska dari isolasi. Tapi kalangan pencinta lingkungan menilai, nilai ekonomis pembukaan isolasi itu sesungguhnya tak sebanding dengan hancurnya ekosistem hutan Leuser yang dilewati jalan itu. Lebih dari 4.500 spesies tanaman ditambah ratusan hewan langka, serangga, ikan, dan kupu-kupu diperkirakan akan hancur akibat pembangunan jalan itu (lihat, Bau Pinus di Hutan Leuser).
Pemerintah Daerah Aceh mengklaim Ladia Galaska tidak akan merusak lingkungan karena bukan merupakan jalan baru. Jalur itu adalah jalan-jalan yang telah ada sejak masa pemerintahan Belanda, berupa jalan setapak dan jalan ekspedisi penggalian sumber mineral. Tapi, anehnya, dalam perkembangannya, perencanaan jalur itu selalu berubah-ubah dan tak selalu mengikuti jalan setapak peninggalan penjajah tersebut.
Misalnya, semula proyek itu terbagi atas Ladia Galaska Utama (Meulaboh-Beutong Ateuh-Takengon-Blangkejeren-Lokop-Peureulak) sepanjang sekitar 500 kilometer dan jalur pengembangan—berupa jalan-jalan kecil menuju jalan utama—sepanjang 700 kilometer.
Pada awal 2002, Ladia Galaska berubah menjadi tiga jalur: utama, pengembangan, dan pendukung. Ruas yang terakhir panjangnya 300 kilometer, sehingga panjang total jalan itu 1.500 kilometer. Dalam peta yang dibagikan Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi Aceh pada 10 Oktober 2002, total panjang Ladia Galaska berubah menjadi 1.600 kilometer. Tak jelas untuk apa penambahan 100 kilometer berikutnya itu. Yang pasti, jalan pengembangan dan pendukung merupakan jalan baru yang tak ada hubungannya dengan jalur peninggalan Belanda.
Tali-temali jalan yang menggarisi hutan Leuser itulah yang menurut para ahli lingkungan akan menciptakan neraka di Leuser. Menurut analisis Unit Manajemen Leuser (UML), sebuah lembaga kerja sama pemerintah Indonesia dan Uni Eropa dalam konservasi kawasan hutan lindung itu, Ladia Galaska Utama akan membabat 94 kilometer hutan lindung dan 1,7 kilometer kawasan konservasi selebar badan jalan (6 meter). Lalu, 42 kilometer ruas jalan utama itu juga akan melewati daerah dengan kemiringan lebih dari 45 derajat yang sangat peka longsor. Efek longsoran itulah yang akan menghancurkan ekosistem Leuser lebih gawat lagi. Ruas yang sangat kentara memotong hutan lindung dengan kemiringan tinggi adalah Jeuram-Beutong Ateuh dan Blangkejeren-Pinding-Lokop. Di sana 20 persen ruas jalan berada pada kemiringan lebih dari 60 derajat.
Menurut Project Manager UML, Yarrow Robertson, kemiringan tanah di atas 45 derajat membahayakan jika dibangun jalan. Apalagi karakteristik tanah di kawasan itu rawan longsor. "Mereka membangun jalan di punggung bukit yang sangat rawan erosi," ujar Robertson kepada Dinda Jouhana dari Tempo News Room.
Selain itu, Robertson menambahkan, ruas jalan Ladia Galaska juga akan memotong habitat hewan yang dilindungi. Ruas Jeuram-Beutong Ateuh-Takengon, misalnya, akan memotong habitat utama dan wilayah orangutan. Jalur Blangkejeren-Pinding-Lokop akan membelah habitat gajah.
Bukan itu saja. Ladia Galaska juga akan mencabik-cabik hutan perawan di Leuser. Padahal Leuser saat ini adalah satu-satunya hutan alami yang tersisa di Pulau Sumatera. Selain itu, pembukaan jalan tembus akan membuka pintu bagi pembalakan liar (illegal logging). "Jika pembangunan jalan tetap dilanjutkan, keutuhan Leuser akan terancam dan tidak akan bisa lagi mempertahankan fungsi alaminya," Robertson menambahkan.
Bekas Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, mengkhawatirkan pembangunan Ladia Galaska akan mendatangkan bencana banjir bandang. Selain itu, penduduk kawasan Leuser juga akan kehilangan air di masa depan. "Lebih dari empat juta penduduk di sana sangat menggantungkan suplai air Leuser untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika kawasan itu rusak, dampaknya dirasakan tidak hanya oleh empat juta penduduk, tapi juga ribuan industri skala kecil dan menengah yang beroperasi di Aceh dan Sumatera Utara," kata Emil (lihat, Mengapa Ladia Galaska Merusak Lingkungan).
Leuser yang malang. Berasal dari kata leusoh yang dalam bahasa Gayo berarti "diselubungi awan", ia memiliki gunung yang paling tinggi di Sumatera (3.404 meter). Sebagian masyarakat Gayo menyatakan Leuser berarti "nirwana bagi para satwa".
Di kawasan seluas sekitar 2,6 juta hektare itu tercakup Taman Nasional Gunung Leuser, suaka margasatwa, dan bentangan hutan lindung yang sangat lebat. Sejak lima tahun lalu, Kawasan Ekosistem Leuser diusulkan menjadi warisan alam dunia karena keelokan dan keajaibannya. "Leuser adalah kawasan yang langka karena memiliki kekayaan flora dan fauna luar biasa, sekaligus menjadi penyangga bagi kehidupan jutaan penduduk di sekitarnya," kata Robertson, doktor bidang konservasi lingkungan. Tak berlebihan jika mitologi suku Gayo menyebutkan para hewan pergi ke Leuser untuk beristirahat abadi. Gunung Leuser dipercaya sebagai penghubung antara surga dan bumi.
Para pemerhati lingkungan bukan semata apriori terhadap rencana membuka isolasi ala Pemda Aceh tersebut. UML, misalnya, telah menyodorkan alternatif solusi. Pertama, membuka jalur Meulaboh-Geumpang-Tutut-Pameuh-Takengon-Simpang Tiga Radelon-Krueng Geukeuh sepanjang sekitar 271 kilometer. Kedua, ruas Meulaboh-Geumpang-Tutut-Pameuh-Takengon-Simpang Tiga Radelon-Alue Le Mudek-Peureulak sejauh kira-kira 372 kilometer (lihat infografik).
Kedua alternatif jalur yang ditawarkan itu, menurut Robertson, memang masih melintasi hutan lindung. Tapi, setidaknya lebih sedikit dan risikonya lebih rendah. Jalur alternatif UML itu hanya melintasi hutan lindung sepanjang 75 kilometer. Ruas itu juga tak akan memotong kawasan konservasi dan tak melewati daerah yang kemiringannya di atas 45 derajat.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim, juga mengajukan alternatif pengganti Ladia Galaska. Menurut dia, daripada membangun jalan Ladia Galaska dari timur ke barat, lebih baik meningkatkan dua jalan yang sudah ada, yakni ruas jalan Meulaboh-Banda Aceh dan Meulaboh-Geumpang-Takengon-Blangkejeren. Jarak kedua ruas jalan itu lebih pendek dari Ladia Galaska.
Alternatif lain adalah mengembangkan jalur laut yang mampu menghubungkan pusat-pusat permukiman di sepanjang pantai Lautan Hindia, Sabang, dan pantai Selat Malaka. Pengembangan itu akan meningkatkan potensi pelabuhan internasional Sabang di bagian utara Provinsi Aceh sehingga bisa memacu pertumbuhan ekonomi di sana. Dampak jalan Ladia Galaska justru akan mendorong kegiatan penduduk ke Medan di Sumatera Utara, bukan ke Banda Aceh. "Akibatnya, kawasan barat Lhok Seumawe dan Bireuen termasuk Banda Aceh dan Pelabuhan Sabang akan terisolasi serta sulit berkembang," ujar Nabiel.
Meski menuai protes, pemerintah tampaknya tak mau mundur. Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Soenarno, menegaskan bahwa pembangunan jalan itu akan tetap diteruskan. Menurut dia, selain diinginkan masyarakat setempat, proyek itu juga sudah diundangkan dan dianggarkan dalam pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2003. "Proyek ini tak akan dihentikan karena sudah ada undang-undangnya dan dianggarkan," ujarnya kepada Danto dari Tempo News Room.
Tapi, Soenarno mengaku pihaknya telah membentuk tim yang akan mengkaji lagi proyek raksasa itu. Nah, jika memang ruas jalan Ladia Galaska menerobos wilayah hutan lindung, akan dilakukan relokasi ke luar kawasan lindung. "Yang pasti," kata Soenarno, "proyek itu bukan merupakan jalan baru, melainkan peningkatan kualitas dan sarana jalan yang telah ada." Hal senada disampaikan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh. "Tak akan ada pembalakan hutan secara liar (illegal logging) sebagai dampak pembangunan jalan Ladia Galaska," tuturnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR, pertengahan Desember 2003 lalu.
Silang pendapat mungkin tak akan berakhir hingga ekosistem Leuser benar-benar remuk akibat pembangunan jalan raya. Di Leuser, sesungguhnya kerusakan sudah terjadi. Awal Desember 2003 lalu badan jalan Jeuram-Beutong Ateuh, yang merupakan bagian dari ruas Ladia Galaska Utama, longsor sepanjang 20 meter. Akibatnya, hubungan transportasi dari dan ke Beutong Ateuh terputus total.
Sebuah pertanyaan kini layak kita ajukan: tak bisakah kita setia menjaga hutan-hutan yang selama berabad-abad telah setia menjaga kehidupan kita?
AZ/Nurdin Kalim (Leuser)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini