Ditulis Otto Soemarwoto—salah satu pakar ekologi yang berpengalaman menyusun puluhan dokumen amdal—proyek yang dikritik adalah jalan yang akan membentang dari Lautan Hindia-Gayo-Alas-Selat Malaka, yang akan memakan biaya Rp 1,2 triliun. Kata Gubernur Aceh Abdullah Puteh, proyek itu bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat dan membuka isolasi. Perusahaan konsultan yang menyusun analisis lingkungan itu adalah CV Cipta Puga, sebuah perusahaan konsultan yang berkantor di Banda Aceh.
Meskipun sifat setiap ruas jalan itu berbeda-beda, seluruh amdal dibuat seragam, begitulah Otto mengawali kritik kerasnya terhadap dokumen itu. Otto menambahkan, ketiga dokumen amdal proyek itu ternyata cuma berbeda dalam soal nama desa dan jumlah penduduk. Padahal ketiga ruas jalan ada di lokasi yang berbeda, sehingga seharusnya dibuat tiga amdal khusus.
Pada bagian lain kritik itu—disajikan dalam sebuah seminar di Kementerian Lingkungan Hidup beberapa waktu lalu—Otto mengaku kaget karena para penyusun amdal ternyata memberikan pembahasan seperempat halaman saja tentang dampak proyek itu terhadap pelestarian Leuser. "Mereka tidak tahu kenapa ekosistem Leuser perlu dilestarikan," ujarnya kepada TEMPO.
Katanya lagi, para penyusun amdal menyederhanakan dampak lingkungan Ladia Galaska yang seolah-olah dapat dengan mudah diatasi. Ia juga menanyakan kenapa tidak ada rekomendasi untuk mengatasi dampak sosial proyek tersebut—seperti pelacuran, rumah liar, dan konflik antarpenduduk.
Intinya, tidak ada analisis sosial-budaya dan ekonomi yang memadai untuk mengatakan bahwa seluruh dampak lingkungannya bisa diatasi sehingga proyeknya dapat segera dilaksanakan. Tak pelak, Otto menyimpulkan bahwa sebagian besar isi dokumen itu dangkal dan ia menyarankan agar proyek itu tak disetujui.
Kritik datang juga dari dosen Fakultas Kehutanan IPB, Hariadi Kartodihardjo—tokoh yang juga banyak terlibat dalam pembuatan analisis dampak lingkungan. Menurut dia, dokumen amdal Ladia Galaska belum cukup sebagai landasan untuk menyimpulkan bahwa proyek itu bisa dijalankan.
Misalnya, Hariadi menyebutkan bahwa akan ada jalan rawan longsor sepanjang 52 km dan pengurangan kawasan hutan hingga 279 ribu hektare. Perambahan hutan juga akan terjadi sepanjang 83 kilometer. Tentu saja ia menyebutkan juga keuntungan proyek itu: terbukanya akses jalan pada kawasan terpencil dan peningkatan pendapatan per kapita hingga 52 persen.
Tapi Hariadi menilai akses jalan sebetulnya bukan satu-satunya faktor yang bisa memakmurkan penduduk sekitar. Ia mencontohkan: petani di Jawa tidak pernah punya masalah dengan akses jalan, tapi toh tidak juga sejahtera.
Sebaliknya, Taman Nasional Krueger di Afrika, yang dibelah jalan besar, tak mendatangkan banyak masalah asalkan dipersiapkan dengan matang. "Mereka bersepakat dulu dengan masyarakat bagaimana mengelola taman tersebut," kata Hariadi. Tapi, di Taman Nasional Kutai di Kalimantan Timur, akses jalan terbukti merusak taman tersebut. Begitu juga di Jawa Barat.
Dalam gugatannya terhadap Ladia Galaska, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan bahwa pekerjaan konstruksi jalan yang kini sudah dikerjakan sebetulnya sudah dimulai kira-kira sebulan sebelum amdal dibuat. Kata Walhi, praktek itu bertentangan dengan Undang-Undang No.23/1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tapi penyusun proyek amdal Ladia Galaska tak banyak berkomentar atas berbagai kritik yang menghunjam. "Belum ada perintah untuk merevisi dokumen itu. Pekerjaan konstruksi yang sedang dilakukan saat ini adalah perbaikan jalan lama. Jalan yang melalui ekosistem Leuser belum dijamah," kata Azharuddin, penanggung jawab penyusunan amdal Ladia Galaska.
I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini