Kritikus film Jeremy Pascal menyebut Elizabeth Taylor bintang film wanita terpopuler di dunia. Dan bulan ini The Sunday Times Magazine menobatkan nenek itu sebagai "Wanita Abad Ini". Liz memang telah menjadi tokoh pilihan media, seperti Monroe dan Jackie Onassis. Hidupnya penuh sensasi, petualangan asmaranya paling banyak dibicarakan. Pernah bergelimang alkohol. Dan belakangan, mengurus perang menaklukkan AIDS. KETIKA RATU Inggris Elizabeth berkunjung ke Turki, 1971, sebuah koran kecil setempat menulis di halaman muka "Ratu Inggris Elizabeth Taylor mengunjungi Turki". Ini boleh jadi cuma sebuah anekdot, tapi memang kebangetan. Langsung menunjukkan bahwa di belahan bumi itu ketenaran aktris Elizabeth Taylor sudah melangkahi sang ratu Inggris. Tahun 1960-an, Elizabeth Taylor memang ratu di kerajaan yang lain, kerajaan film Hollywood. Ia sebuah legenda di balik dinding pabrik film wah itu. Ia adalah potret hitam putih kehidupan artis: tukang kawin cerai, bergaya hidup gemerlapan, dan tukang sensasi. Di masa muda, sensasi pertamanya adalah kecantikan wajah. Namanya kerap diganti dengan kata "Si Wanita Tercantik Sejagat". Bermata biru cemerlang, besar, dan simetris. Alisnya adalah bulan sabit yang hitam-legam. Dahi menonjol bagai bocah. Dan akhirnya sebuah hidung sempurna di atas bibir yang halus merekah. Sosok Elizabeth atau Liz Taylor sebagai aktris tak bisa mewakili salah satu periode atau gaya dalam sejarah film Hollywood. Ia bukan Rita Hayworth, yang mampu menggambarkan aktris zaman neoklasik perfilman AS dengan pakaian satin ketat, rambut pirang berombak, dan tubuh menggiurkan. Ia juga bukan, katakanlah, Marilyn Monroe, yang hanya meledak pada era Eisenhower dan Kennedy. Keunikan Liz Taylor seperti tak keropos dimakan zaman. Ia mulanya cantik, lalu laris dan menjadi termahal. Ketika Liz Sang Cleopatra kawin dengan Mark Antony, Richard Burton, pasangan ini menjadi duet artis terpopuler, selain menjadi jaminan untuk menarik penonton. Kisah cintanya pun tak habis-habisnya digunjingkan, dengan rekor tujuh kali kawin. Masih ada saja pria tersohor atau bujang-bujang ingusan yang menggandengnya sampai ia punya lima cucu. Liz pula yang sanggup membuat kalangan film menilai subyektif permainannya, hingga ia memperoleh Oscar untuk permainannya yang sebetulnya tak layak. Tapi enam tahun kemudian tak ada lagi yang menggugat kepiawaian aktingnya untuk dinobatkan sebagai aktris terbaik. Ketika pamornya di layar perak kempis, ia muncul dengan pernyataan perang terhadap AIDS. Antara lain ia pergi ke parlemen AS, meneriakkan tuntutannya dan mengumpulan dana dengan berbagai cara. Penulis dan kritikus film Jeremy Pascal menyebut Elizabeth Taylor bintang film wanita terpopuler di dunia. Dan bulan ini, The Sunday Times Magazine menobatkan Liz sebagai "Wanita Abad Ini". Liz memang telah menjadi tokoh pilihan media, seperti Monroe dan Jackie Onassis. Itu sebabnya, rencana pernikahannya yang kedelapan, awal Agustus lalu, terpajang disejumlah media cetak. Liz Taylor adalah sebuah legenda yang masih hidup. MASUK KE HOLLYWOOD Orangtua Liz asli Arkansas City, Kansas, Amerika Serikat. Sara Warmbrodt, ibunya, adalah seorang artis panggung. Sebelum kawin dengan ayah Liz, nama panggungnya Sara Sothern. Liz lahir di ibu kota Inggris pada Februari 1932. Ayahnya, Francis Taylor, pedagang barang antik, membuka galeri seni di Old Bond Street, London. Sara amat berambisi agar putrinya mengambil karier film. Ia merintisnya sejak dini. Begitu Liz kecil mulai bisa jalan, ibunya segera mendaftarkannya masuk ke sekolah tari balet Madame Vacani, di London. Pada umur tiga tahun, kemahiran dansa Liz, bersama teman sekelasnya, dipertontonkan untuk sebuah resital bagi anggota keluarga kerajaan Inggris. Ketika Liz berusia tujuh tahun, Francis memboyong istri dan dua anaknya -- Liz punya seorang abang, Howard Taylor -- ke Amerika. Mereka menetap di Pasadena, California, sebelum pindah ke Beverly Hills. Entahlah, bagaimana cara sang ibu memperkenalkannya pada kalangan perfilman. Tapi, dalam catatan sejumlah wartawan film, wajah cantik Liz bagaikan magnet. Para pembuat film bergantian mengajaknya tampil di layar perak. Penari cilik itu, yang juga sudah mulai mahir menunggang kuda, kemudian dikontrak Universal Pictures pada usia sembilan tahun. There's One Born Every Minute (1942) menjadi film pertama Liz kecil, dengan peran kecil. Berikutnya, Lassie Comes Home. Ketika itu, teman ayahnya, produser Metro Goldwyn Mayer (MGM) Sam Marx, mencari peran cucu seorang bangsawan Inggris untuk Lassie. Liz salah satu calonnya. Setelah para calon diuji Marx tak terpikir lagi untuk menyerahkan peran itu pada orang lain kecuali Liz. Bukan karena ia teman ayah Liz (ayah Liz sendiri sebenarnya tak begitu setuju anaknya main film), tapi katanya karena Liz paling pintar dibanding calon lain. Sejak dikontrak main film, Liz pindah ke sekolah milik perusahaan film MGM. Ia lulus dari SMA di lingkungan industri film itu delapan tahun kemudian. Ketika berusia 12 tahun, ia ditawari main sebagai Velvet Brown, gadis yang mendapat hadiah lotere seekor kuda, dan berlatih untuk memenangkan kejuaraan menunggang kuda nasional di Inggris. Ia dianggap memenuhi kriteria, terutama karena prestasinya menunggang kuda. Tapi sayang, tubuhnya terlalu kecil. Karena begitu inginnya memerankan Velvet, Liz menjanjikan akan mengubah penampilannya dalam empat bulan. Untuk itu, ia mati-matian mengatur pola makan dan berolahraga agar tubuhnya naik tujuh setengah sentimeter dalam kurun waktu itu. Produser Pandro S. Bergman pun rela menunda shootinnya sampai Liz cukup tinggi. Hasilnya? Setelah film itu diputar, seorang kritikus yang terkenal galak, James Agee, memujinya sebagai anak sekolah yang mempesonakan. "Saya pikir dia dan filmnya menawan. Saya hampir tidak tahu atau tidak peduli apakah ia bisa berakting atau tidak." Tak seperti aktris anak-anak lainnya, Liz beruntung mendapat transisi yang mulus dari bintang anak-anak menjadi pemain dewasa. Dimulai dari satu ciuman hingga akhirnya mendapat peran penuh sebagai istri mata-mata Soviet (Robert Taylor) dalam Conspirator. Umurnya 18 tahun, ketika itu. Namun, sampai di situ Liz merasa ia lebih banyak dituntut pamer wajah tok. "Film pertama yang meminta saya untuk berakting adalah A Place in the Sun," katanya mengenang. Film itu diedarkan Paramount pada 1951. Dibintangi oleh Monty Clift yang konon salah seorang yang mencintai dan dicintainya secara rahasia. Menanjaknya karier Liz kemudian tak lepas dari "hikmah tersembunyi". Umpamanya ketika Vivien Leigh "Si Gone With The Win" terpaksa meninggalkan layar perak karena ganguan saraf, tempatnya dalam Elephant Walk (1954) diisi Si Mata Biru itu. Ketika membintangi Giant (1956), ia terbawa nama besar James Dean. Apalagi film itu kemudian menjadi pembicaraan karena menjadi film terakhir James Dean, yang tewas akibat kecelakaan mobil persis setelah shooting film bubar. Liz sendiri menganggap lonjakan besar dalam kariernya pada saat ia berpasangan dengan Paul Newman dalam kisah drama keluarga Cat on a Hot Tin Roof (1958). Saat itu nama Liz Taylor masuk dalam daftar artis yang paling mendatangkan uang. Sejak 1961 ia tercatat sebagai Si Nomor Satu dan melaju dalam daftar 10 besar sampai 1968. PENGHANCUR RUMAH TANGGA ORANG Cat on a Hot Tin Roof amat berkesan dalam perjalanan hidup Liz. Bukan saja karena film itu akhirnya menempatkan Liz sebagai nominator Oscar untuk aktris terbaik, tapi ia menganggapnya sebagai titik balik dalam semangat kariernya. Ketika pembuatan filmnya baru berlangsung beberapa hari Liz diserang flu. Padahal, saat itu ia sudah minta izin cuti lima hari untuk mengantar suami ketiganya, Michael Todd -- pengusaha showbiz, pemain teater tersohor dan 25 tahun lebih tua dari Liz -- menerima penghargaan di New York. Tapi sakit Liz bertambah parah, panasnya 39 derajat karena paru-parunya meradang. Ditunggu dua hari, belum ada tanda-tanda kesembuhan. Liz meyakinkan suaminya agar berangkat sendiri. Ini aneh, mengingat pasangan yang menikah pada Februari 1957 itu lengket ke mana pun pergi. Memang putusan harus diambil karena ada sekitar 3.000 orang diperkirakan akan hadir pada upacara yang diselenggarakan "Friars Club" itu. Sebelum berangkat, Mike naik ke kamar Liz di lantai atas. Ia mengucapkan selamat tinggal sampai lima kali, dan berangkat dengan pesawat terbang pribadi Lucky Liz, ditemani kawannya, penulis biografi Art Cohn. Ucapan selamat tinggal yang berkali-kali itu akhirnya benar-benar menjadi salam perpisahan selama-lamanya dari Mike Todd. Kapal Lucky Liz mendapat nahas dan menewaskan penumpangnya. Liz mengaku jiwanya ikut terbang selepas pemakaman Todd. "Saya tak dapat berpikir, tak mau makan, dan tidak bisa tidur," katanya. Satu minggu kemudian berat badannya susut enam kilogram. Mike, katanya, tipe suami yang diimpikan setiap wanita karena perhatian dan kecintaannya yang begitu subur terhadap pasangannya. Perkawinannya dengan Mike Todd, kata Liz, menjadi satu di antara dua pernikahannya yang paling berkesan. Yang satu lagi ikatan cintanya dengan Richard Burton. Sebelum menjadi Nyonya Todd, Liz menikah dengan Nicholas Hilton, anak pengusaha hotel ternama Conrad Hilton. Usianya baru 18 tahun, ketika itu. Mereka berbulan madu di atas kapal Queen Mary menuju Prancis selatan. Tapi begitu kembali, Liz berkata, "Bulan madu dan hubungan kami telah berakhir." Perkawinannya hanya seumur jagung. Dalam versi Liz, Nicholas Hilton atau Nicky tak tahan pada ketenarannya. Ia menjadi pemarah dan kasar. "Ia mulai minum dan mencela saya di muka umum," ujar Liz. Mereka resmi bercerai tak sampai enam bulan setelah berikrar sehidup-semati. Lelaki kedua dalam hidup Liz adalah Michael Wilding, aktor dan sutradara yang lebih tua 20 tahun dari Liz. Mereka dikaruniai dua anak laki: Michael dan Christopher. Lima tahun kemudian, mereka mulai membicarakan perpisahan. Tapi baru benar-benar bercerai setelah Mike Todd masuk dalam kehidupan perkawinan mereka. Yang mengesankan Liz dalam perjumpaan pertama dengan Todd adalah karena Todd menyebutnya "seorang yang punya kepintaran tersembunyi". Sebutan yang belum pernah didengarnya. Sebelumnya, yang ada hanya pujian kemolekan. Ketika hubungan Liz dan Wilding retak, Todd mengundang Liz ke studio MGM. Pikir Liz, Todd akan mengajaknya main film. Ternyata, di sana, Todd mengeluarkan isi hatinya. Ia mencintai Liz. Dan sebelum Liz membuka mulutnya, Todd mengatakan lagi bahwa ia akan mengawini Liz. "Ia bukan meminta saya tapi memberi tahu bahwa ia akan mengawini saya. Betul-betul menarik," ujar Liz mengenang. Mereka kawin pada Februari 1957. Liz beralih iman menjadi penganut agama Yahudi. Mereka punya seorang putri Liza, yang dikandung Liz dengan susah payah karena bersamaan dengan sakit tulang punggungnya. Kalangan film menilai Todd berhasil memberi pengaruh besar bagi kematangan Liz sebagai seorang perempuan maupun artis. Liz sendiri mengaku, kepercayaan diri dan cita-citanya membubung bersama maraknya kasih Todd. Bisa dimengerti bila Liz menjadi begitu putus asa atas kematian Todd. Melihat keadaannya yang seperti tak tertolong lagi, penata rambut MGM, Sidney Guilaroff, kerap menunggui Liz di kamarnya. Ia ngeri meninggalkan Liz sendirian. Sedikit demi sedikit, Sidney mulai menyuntikkan semangat. Ia mulai bicara soal shooting film Cat on a Hot Tin Roof yang masih tertunda. Sidney meyakinkan bagaimana sebenarnya Mike Todd menyokong Liz untuk main di film yang dibikin berdasarkan tulisan pengarang masyhur AS, Tennesse Williams, itu. "Kalau kamu kembali ke studio dan menyelesaikan film itu, tepatlah kebanggaan Mike padamu," begitu Sidney membujuk. Bujukan Sidney mengena. Suatu pagi pada minggu ketiga setelah kematian Todd, Liz berangkat ke studio MGM. Kepada sutradara Richard Brooks, Liz mengatakan bahwa ia siap menghadap kamera saat itu juga. Ia mengambil kostumnya, minta rambut dan wajahnya didandani, lalu kembali menjadi Maggie The Cat. Namun, di antara jemarinya, sampai beberapa waktu kemudian, Liz tetap mengenakan cincin kawin milik Todd. Cincin itu dapat diselamatkan dari reruntuhan pesawat, meski sebagian melumer. Liz memperbaiki kembali untuk dikenakannya sambil bersumpah, "Saya akan memakainya setiap hari sampai seseorang yang mencintaiku meminta untuk melepaskannya." Cincin itu akhirnya bisa dilepas oleh penyanyi Eddie Fisher, sahabat Mike Todd yang menjadi pria pendamping pada perkawinan Liz dan Todd. Publik sempat memboikot Liz Taylor ketika akhirnya ia kawin dengan Eddie Fisher, 1959. Sebabnya, Liz dianggap mengganggu rumah tangga ideal Fisher dan istrinya, Debbie Reynolds. Dari hari ke hari, koran memuat foto Liz Taylor dengan keterangan di bawahnya: "penghancur rumah tangga orang". ASMARA TERPANAS DI DUNIA Simpati publik baru kembali awal 1960-an ketika Liz, yang telah main di 27 film, dikabarkan hampir tewas karena penyakit menahunnya, pneumonia, radang paru-paru, saat pembuatan film di London. Tahun itu, ia memperoleh "Academy Award", Piala Oscar untuk pemain wanita terbaik, dalam perannya sebagai pelacur di film Butterflied 8. Liz sendiri mengaku bahwa penilaian itu tidak murni. Ia percaya bahwa penghargaan itu diberikan karena gelombang simpati masyarakat yang mengira Liz di ambang kematian, sebelum pengumuman hadiah itu. Nyatanya, nama Elizabeth Taylor belum masuk museum. Malah ia membuat sejarah baru. Primadona bermata besar itu terpilih memerankan Cleopatra, Ratu Mesir. Untuk itu ia mencapai rekor honor tertinggi 1 juta dolar, angka tertinggi untuk seorang pemain film saat itu, 1962. Film Cleopatra sendiri pun menjadi sejarah karena dibuat bertahun-tahun dan dengan ongkos sampai US$ 44 juta. Itulah film pertama Hollywood yang dibuat dengan biaya begitu besar dan waktu begitu molor. Cleopatra dengan tinggi 160 cm itu makin jadi pembicaraan saat ia, yang bersuami, dan lawan mainnya, Richard Burton -- yang beristri -- sama-sama terbakar asmara. Skandal cinta mereka menjadi "asmara yang paling banyak dipublikasikan saat itu". "Ketika saya melihatnya pada pembuatan Cleopatra, saya jatuh cinta seketika. Saya mencintainya sejak itu, dan hampir-hampir sepanjang masa dewasa saya," kata Liz dengan suara lembutnya. Suasana semakin menghangat ketika istri Burton, Sybil Williams --ibu dua anak -- yang begitu sabar menghadapi sejumlah penyelewengan suaminya, akhirnya mendapat "hukuman mati" dari Burton: cerai. Menyusul perceraian Liz dan Eddie Fisher. Ketika Liz dan Burton meresmikan perkawinan mereka 1964, keduanya menjadi pasangan pemain film paling tersohor dalam sejarah layar perak sejak Mary "Cinderella" Pickford dan Douglas Fairbanks tahun 1920-an. Setelah menikah, pasangan ini menyewa beberapa lantai Hotel Lancaster di Paris -- untuk bermukim. Sampai di sini, nama Elizabeth belum pudar. Sebab, ia memberikan kejutan lagi dalam Who's Afraid of Virginia Woolf. Kalangan film benar-benar mengangkat topi menyaksikan Liz memerankan istri yang jahat, pemabuk, dan sering bertengkar karena bosan dengan suaminya (diperankan Richard Burton), hampir tanpa cacat. Sejumlah penghargaan membanjir untuk itu, dari perkumpulan pers asing di Amerika, perkumpulan orang-orang film Italia, Akademi Film Inggris, kritikus film New York, sampai "Academy Award" alias Piala Oscar untuk aktris terbaik 1966. Perkawinan mereka sendiri terus menarik untuk diteropong pers. Tengok saja, ketika Burton menghujani Liz dengan hadiah spektakuler. Tahun 1968, perkawinan mereka dijuluki tahun berlian. Cincin bermata berlian 33,19 karat bikinan Krupp berharga US$ 305.000 paling banyak diberitakan. Pernah suatu kali, ketika menghadiri pesta perkawinan yang juga dihadiri adik Ratu Inggris, Putri Margaret, anggota kerajaan Inggris itu memohon kepada Liz mau mencoba cincin itu di jarinya. Menyusul mutiara La Peregrina berharga US$ 37.000 dari abad ke-16, lalu berlian berbentuk hati berharga US$ 100.000. Dan termahal adalah berlian -- astaga -- 69,42 karat, koleksi Cartier seharga US$ 11 juta. Berlian berumur lebih dari 350 tahun itu adalah bekas milik Mumtaz Mahal, istri Raja Mogul Syah Jeihan. Dan Burton mendapat kebanggaan ekstra sebab bisa mengalahkan multimilyuner Ari Onassis, yang hanya berani menawar berlian terbesar itu US$ 700.000. Menurut Burton, pembelian berlian raksasa itu adalah tebusan rasa bersalahnya sebagai suami pemabuk. Burton bisa menenggak tiga botol vodka sehari. Ceritanya, suatu hari Burton dan Liz makan di restoran Italia. Selain kenyang, Burton mabuk berat. Maka, ketika usai makan dan Liz berkata dengan manja, "Richard peganglah tanganku," sang suami malah mengigau, "Saya tidak mau menyentuh tanganmu. Tanganmu besar, jelek, merah, dan seperti tangan cowok!" Esoknya, Elizabeth membalas sakit hatinya, "Kalau begitu, saya harus mendapat cincin 69 karat agar tangan besarku kelihatan lebih kecil dan menarik." Akibat harta-harta berharga ini, ketika suatu saat Liz hendak menyaksikan sebuah opera, ia terpaksa dikawal delapan bodyguard dan menjadi tontonan ketika keluar dari kamar hotel. Maklumlah, ia mengenakan giwang, kalung, dan gelang yang totalnya berharga US$ 1,5 juta. Hobi mengumpulkan permata itu diteruskan Liz sampai tua. Empat tahun lalu, umpamanya, ia memenangkan lelang bros emas bertatahkan berlian -- peninggalan "Duchess of Windsor" -- seharga US$ 623.000. Kalau ditanya tentang istrinya, Burton, aktor kelahiran Inggris, selalu berlebihan memuji. "Di antara banyak keberuntungan dalam hidup saya," kata Burton, yang hafal sejumlah dialog naskah Shakespeare, "yang terbesar adalah memiliki Elizabeth." Karena Liz, "sanggup menyihir saya menjadi manusia bermoral, bisa menerima kegemaran mabuk dan sifat gila-gilaan saya. Saya akan sakit perut kalau berjauhan dengan dia." Liz sendiri punya keyakinan "hanya bisa cocok dengan lelaki yang agak sinting". Tapi, kalau ditanya lebih jauh tentang Burton, Liz punya serangan pujian balik. Burton, yang tujuh kali nominator Oscar, kata Liz, memperluas wawasannya dengan bermacam cara, mengajarinya sastra, puisi, dan memperkenalkan gaya hidup kelas atas. "Meskipun ini dilihat masyarakat lebih sebagai mencari kesenangan semata-mata," kata Liz. Tapi, bagaimana tidak jadi pembicaraan? Suatu kali ketika pindah dari Jenewa ke Paris, Liz naik kereta api membawa empat anak, dua baby sitter, lima anjing, dua sekretaris, konsultan keuangan, kucing, kura-kura dalam baskom berisi air, dan kopor 140. Dan kalau sudah punya mau, Liz bisa memesan makanan -- hanya makanan -- dari lain benua. Umpamanya ia minta dikirimi fastfood, dari toko Chasen di London, ke Roma. Mengorder sosis Inggris dari Leningrad. AKIBAT TERLALU BANYAK CINTA Setelah sembilan tahun berumah tangga dan main dalam film yang sama, antara lain Doctor Faustus, The Comedians, dan Boom!, rumah tangga mereka pecah. Rusaknya perkawinan mereka, kata Liz ketika itu, akibat terlalu banyak cinta. "Kami terlalu berlebih-lebihan dalam saling mencintai. Yang jelas, tak ada orang ketiga." Namun, Burton pernah mengeluh bagaimana ia cemburu. Bukan pada saingan sesungguhnya, tapi pada Dick Hanley, sekretaris tua yang homoseksual, pada anjing dan kucing-kucing peliharaan Liz yang begitu dikasihi majikannya. Dan lebih dari itu, yang paling dibenci Burton: Liz terlalu ingin menguasainya. Tak lama setelah pasangan ini mengumumkan perceraiannya, Burton berkata, "Kalau Elizabeth mencintaimu, dia tak akan bahagia sebelum ia memiliki duniamu. Suasana seperti itu tidak memberi ketenangan pribadi." Yang menyedihkan, Elizabeth memutuskan bercerai, sebulan setelah Burton diberi tahu dokter kemungkinan hidupnya tinggal dua atau tiga minggu lagi. Tak disebutkan penyakitnya (Burton meninggal pada 1984 karena perdarahan otak), setelah enam minggu berobat, napas Burton masih panjang, kendati dokter mengatakan fisik dan mentalnya tak akan serupa dengan sebelumnya. Dalam proses sembuh itu, Juni 1974 Elizabeth minta cerai. Enam belas bulan kemudian, Oktober 1975, Burton dan Liz rujuk. Mereka kawin kedua kali di Botswana, Afrika, Oktober 1975. Tapi perkawinan kedua ini tak bertahan sampai setahun. Janda Richard Burton itu, pada akhir 1976, menikah untuk ketujuh kalinya hanya lewat masa pacaran lima bulan dengan John Warner. Kali ini suaminya bukan orang film, melainkan politikus asal Virginia. Liz kemudian memainkan peran yang lain, berkampanye untuk suaminya, calon anggota senat AS. Ia ikut dalam berbagai jamuan makan hingga badannya bengkak 20 kilogram. Setelah suaminya duduk sebagai anggota parlemen, Liz masih sering menyertai suaminya dalam berbagai diskusi. Sepak terjang Liz menjadi pembicaraan lagi. Sebabnya, entah sandiwara atau sungguhan, Liz sering mendebat suaminya di muka umum. Umpamanya dalam topik wajib militer. Liz ngotot agar wanita disertakan angkat senjata. Sedangkan menurut Warner itu tidak perlu, angkatan perang Amerika tidak memerlukan perempuan. "Saya punya pengetahuan tentang itu, sebagai anggota komite pertahanan dan menteri angkatan laut," kata Warner. "Ya, tapi saya juga sudah bekerja sejak umur sepuluh tahun," ujar Liz tak mau kalah. Entah karena sering berbeda pendapat atau karena lama tak berhadapan dengan kamera, diam-diam Liz merasa bosan dan tidak bahagia sebagai istri senator. Untunglah, ia mendapat tawaran lain, untuk naik pentas sandiwara di Broadway. Debut pertamanya di panggung adalah The Little Foxes, melodrama tentang keluarga Selatan yang rakus. Liz memerankan tokoh utama, Regina Giddens, perempuan ambisius yang menghalalkan segala cara. "Sejak awal ia selalu kebagian peran sebagai perempuan yang mampu berlaku jahat," kata Austin Pendleton, sutradara Foxes. Banyak yang meragukan kemampuan Liz bermain drama. Namun, Pendleton yakin. "Dia pasti bisa berakting di panggung. Karena kebanyakan ia bermain baik dalam film yang skenarionya berasal dari naskah drama," kata Pendleton, menyebut contoh A Place in The Sun, Reflectionina Golden Eyedan Virginia Woolf. Film-film yang menuntut pemainnya berdialog panjang dengan gebrakan kata-kata dan emosi yang lebih rumit. Liz ternyata bisa menampilkan adegan-adegan yang bertenaga. Kalau partnernya berimprovisasi ia tak mau kalah memain-mainkan kalimat dan aktingnya. Sambutan penonton tidak buruk. Austin Pendleton sempat membawa rombongannya keliling, ke Washington, New York, London. Sebelum berangkat ke New York Liz menghadapi krisis perkawinannya dengan John Warner. Yang membuatnya meledak, setelah tahu bahwa diam-diam Warner menjual rumah mereka di Georgetown dan membeli sebuah apartemen di Watergate. Di rumah baru itu, pesan Warner, Liz harus mengenyahkan semua binatang peliharaannya. Liz merasa perasaannya disepelekan. Padahal, ia sudah berbuat banyak untuk menyelamatkan rumah tangganya. Misalnya dengan menjual sejumlah perhiasan dari bekas-bekas teman hidupnya untuk terus mengepulkan asap dapur. "Setelah itu, saya tak diizinkan memelihara binatang?" protesnya. Ibu beranak empat ini -- tiga dari Mike Wilding dan Todd, seorang lagi anak angkat berdarah Jerman yang cacat, Maria -- melupakan kepahitan dengan menggelandang lagi di teater. Ia terakhir main dalam film The Mirror Crack'd (1980), filmnya yang ke-38. Pentas kedua Liz adalah drama komedi Inggris Private Lines (1983). Di sana ia dijodohkan lagi dengan Richard Burton. Belakangan, bekas suami-istri ini dianggap menimbulkan bencana. Private Lines gagal, kata para kritikus, karena dua bintang itu lebih banyak mengeluarkan energi untuk berbusa-busa pada pers soal hubungan mereka sebagai mantan. Tapi, menurut Liz, itu karena ia dan Burton tak cocok untuk drama komedi. Di tengah hari-hari pementasan itu, Burton kawin dengan produser TV Inggris, Sally Hay. Konon, karena itu Liz menjadi binasa. Kebiasaan buruknya muncul lagi. Ia mulai makan, makan, dan makan, menenggak minuman keras dan obat tidur. Tiap, selesai manggung, baik di Boston, Philadelpia, atau Washington, Liz bikin acara tetap. Makan dan mengobrol-ngobrol sampai subuh. Ia cuma menambah-nambah penyakit yang sudah bersarang di tubuhnya. Liz memang terkenal penyakitan. Selama pembuatan film atau pementasan drama kerap kali kerja terpaksa ditunda karena sang primadona gering. Sakitnya mulai dari borok, radang lutut, bronkitis akut, sampai gangguan tulang punggung. Selama hidupnya, sedikitnya Liz pernah 30 kali operasi, antara lain pengangkatan rahim, memasukkan ganjalan logam untuk punggungnya, dan tersedak tulang ayam. Sebulan setelah Private Lines tutup layar, Liz ambruk. Abangnya, anak-anaknya, dan rekan-rekannya mendorongnya masuk pusat rehabilitasi "Betty Ford Centre" untuk memutuskan ketergantungannya pada alkohol, pil tidur, dan obat penahan sakit. Bagusnya, kata Liz, di tempat perawatan itu ia tidak dihukum untuk sekaligus melepas "sahabat-sahabatnya". Sebagai gantinya, Liz kecanduan gula-gula. Badannya jadi melar. Tak mengapa, kata Liz, karena mental dan emosinya fit. Baru setelah itu ia mengatur menu tinggi protein, sedikit lemak. Tiap kali terpikir, sepiring es krim banana split, Liz mengambil buku bacaan, pergi ke museum atau berajojing. LAMARAN MICHAEL JACKSON Dengan sisa keayuan, popularitas, dan status janda, Liz masih diburu pers. Bergandengan atau berdampingan saja dengan seorang cowok, esoknya hubungan mereka dipertanyakan. Apalagi kalau muncul dengan pria yang sama lebih dari satu-dua kali apakah ini calon suami kedelapan? Liz menyambutnya dengan beberapa kali pengumuman. Umpamanya pada 1984, dalam usia 52 tahun, Liz bilang akan kawin dengan pengacara duda asal Meksiko, Victor Gonzalez Luna. Tahu-tahu, empat bulan kemudian Liz mengumumkan pertunangannya dengan Denis Stein, eksekutif film Hollywood. Sensasi itu ditambah dengan menunjukkan sebentuk cincin bermata safir yang diterbangkan dari Manhattan ke rumah sang bintang di Los Angeles. Dan kata-kata gombal dari kedua belah pihak berhamburan. Perkawinan itu sendiri tak pernah berlangsung. Tapi Liz enggan menghentikan kebiasaan mengumumkan nama-nama calon itu. "Menurut perasaan saya, sampai 65 tahun nanti, saya masih akan aktif berkencan," kata Liz suatu kali. Maka, pada Februari tiga tahun lalu, disebutnya nama George Hamilton, yang tujuh tahun lebih muda darinya, sebagai bakal suami. Kendati waktu ia berdua-duaan dengan Hamilton, terselip juga gosip hubungannya dengan bos majalah Malcolm Forbes. Itu setelah Forbes menghadiahi Liz sebuah motor Harley Davidson pada ulang tahun ke-70 majalah Forbes. Paling akhir, awal bulan Agustus, Liz mejeng dengan seorang cowok muda di muka wartawan. "Aku kan selalu bilang akan menikah sekali lagi," ujar Nenek Liz. Sekali ini kandidat suaminya Larry Fortensky, kuli bangunan yang 20 tahun lebih muda dan ganteng. Mereka bertemu di Klinik Betty Ford, empat tahun lalu. Rencananya, pesta perkawinan itu akan diselenggarakan di rumah Michael Jackson. Jackson, penyanyi rock kondang itu sendiri pun, kendati sering disebut sebagai sahabat Liz, didesas-desuskan mendewikan Liz. Di salah satu dari 50 kamar di rumah mewahnya di Malibu, California, kabarnya, Jackson membikin kamar khusus untuk idolanya, Elizabeth Taylor. Konon, di kamar yang dibikin dengan puluhan ribu dolar itu, terpampang gambar aktris legendaris itu di semua sudut dinding. Ada video berukuran gajah menayangkan film-film yang pernah dibintangi Liz. Lalu sejumlah foto dan buku tentang Liz. Penyanyi rock yang masih bujangan itu juga, kabarnya, suatu kali mengirimkan proposal pada Liz. Isinya mengajak Liz kawin. Tapi berita ini dibantah oleh juru bicara Michael Jackson -- yang terkenal pelit wawancara itu. Katanya, Liz dan Jackson hanya teman baik. Mereka kerap makan malam bersama dan mengobrol-ngobrol. Sebagai anggota masyarakat, Elizabeth Taylor beberapa kali mendapat anugerah atas jasa sosialnya. Pada 1984 ia dinobatkan sebagai "Woman of The Year" oleh USO (United Service Organizations). Penghargaan itu diberikan atas keberhasilan Liz mengumpulkan dana ke seluruh Eropa dan AS untuk bermacam organisasi yang merawat korban perang. Ia pernah juga menggondol piala aktris berpakaian paling slebor dalam kurun 15 tahun (1960-1975). Menyusul kemudian penyematan bintang "Legion of Honour" dari Presiden Prancis Mitterrand. Anugerah itu diberikan, selain karena prestasinya di layar perak, juga karena jasanya mengumpulkan dana bagi penelitian AIDS. Liz memang tergugah un tuk mengurusi penderita AIDS setelah karibnya, Rock Hudson, lawan mainnya dalam Giant (1956) dan The Mirror Crack'd (1980), meninggal akibat wabah itu 1985. "Saya semakin akrab dengan tragedi AIDS setelah itu," katanya Setahun setelah kematian Hudson, Liz mendatangi subkomite kesehatan Kongres AS. Penerima "Piala Cecil B. Demille" atas sumbangan istimewanya pada dunia film itu mendesak agar anggaran kesehatan untuk AIDS ditingkatkan. Ia juga mendirikan dan menjalankan "Am-Far" (American Foundation for AIDS Research). Lewat ketenaran Liz, orang tampaknya tak segan membuka kantung. Desember lalu, dalam satu malam dana ia bisa mengumpulkan US$ 1 juta. Liz juga menyisihkan hasil penjualan kosmetik parfum, bedak, body-spray bermerek Elizabeth Taylor's Passion untuk riset pengobatan AIDS. Parfum itu laku keras, dan memberi keuntungan produsennya lebih dari US$ 100 juta. Konon, kelarisan itu akibat Liz mengiklankannya sebagai "parfum untuk dipakai di bagian tubuh mana pun yang ingin disentuh lelaki". Kini Liz tinggal di rumah seluas 1.000 m2 di kawasan Bel Air, ditemani calon suaminya Larry Fortensky, yang pendiam. Di meja ruang tamu, terpampang foto Liz bersama Ratu Inggris, Presiden Ford, Jenderal Tito, Richard Burton, dan Noel Coward. Di dinding tergantung lukisan Renoir, Monet, dan Van Gogh yang dibeli Burton, dulu, untuk menghias kapal pesiarnya. Liz mengaku, kini, lebih banyak mengurusi anak-anaknya daripada wartawan. Ia, umpamanya, kerap mengobrol dengan putri yang diperolehnya dari Michael Wilding. Topiknya? "Cowok," ujar venus tua itu sambil tertawa. Setelah melewati sekarat akibat pneumonia, ginjal, dan liver -- tahun lalu -- Liz menyatakan sudah siap menghadap Tuhan sewaktu-waktu. Bunga Surawijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini