Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lingkaran setan bernama macet

Kemacetan lalu lintas hal yang rutin. penyebabnya tak hanya mobil pribadi, juga sistem lampu merah. selain itu perparkiran di jakarta semrawut. kini mobil pribadi sedikitnya harus berpenumpang tiga.

2 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah salah satu sumber frustasi di jakarta: kemacetan lalulintas. Satu mobil tiga penumpang mungkin menolong di jalan tertentu. Juga pengaturan parkir bisa membantu melancarkannya Tapi soal utamanya tampaknya adalah berani tidaknya kita semua berkorban untuk kesejahteraan umum, dan bukan pribadi sebuah laporan tentang macet dan masalah perparkiran Jakarta. MACET! Berderet mobil tak berkutik. Tiba-tiba seorang di dalam mobil memasukkan jari telunjuknya ke lubang hidung. Lalu iseng di tengah kemacetan ini menular. Kamera pun menjauh dan di layar putih lalu tersaji adegan kolosal: hampir semua orang di belakang kemudi lalu memasukkan sebuah jarinya ke hidung. Inilah frustrasi para pengemudi mobil, yang oleh sutradara Prancis Jacques Tati diolah dengan kreatif dalam film Trafic. Di Jakarta, film itu diputar oleh Kineklub Dewan Kesenian Jakarta di tahun 1970-an. Dan penonton gerr, memahami frustrasi di tengah jalan itu. Meski Jakarta waktu itu boleh dikata masih longgar (becak masih ada), umumnya orang tahu apa arti macet. Seandainya film itu diputar lagi kini, penonton bisa jadi tak cuma gerr, tapi benar-benar menghayati apa makna macet. Memang belum ada seorang pun sutradara Indonesia yang memperoleh ilham menggarap kemacetan Jakarta. Yang memperoleh ilham itu baru seorang gubernur DKI Jakarta bernama Wiyogo Atmodarminto. Tentu saja ia tak membikin film. Ia membikin peraturan yang mulai berlaku Senin pekan ini. Yakni semua mobil pribadi yang melintasi jalan-jalan tertentu pada hari kerja antara pukul 06.30 dan 10.00 diharuskan membawa sedikitnya tiga penumpang. Boleh lebih, jangan kurang. Peraturan lalu lintas baru ini sudah diujicobakan sejak Senin pekan lalu dan tampaknya membawa hasil: di jalur yang dianggap utama lalu lintas lumayan lancar. Artinya, bila nanti Jakarta jadi tuan rumah Konperensi Gerakan Nonblok, yang direncanakan pada Oktober nanti, para peserta konperensi tak punya alasan datang terlambat karena macet. Tapi lebih dari kepentingan sebuah konperensi inilah upaya Pak Gubernur untuk mengurangi ruang gerak mobil pribadi. "Sebab kendaraan pribadi itu yang paling banyak menyita ruang jalan," kata Wiyogo kepada Linda Djalil dari TEMPO. Wiyogo tentu tidak sembarangan main tuding. Sebuah survei yang dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 1990 menunjukkan bahwa porsi mobil berpelat hitam itu sudah sangat kelewatan, lebih dari 80% dari jumlah kendaraan bermotor. Bus dan metromini cuma kurang dari 3%. Ironisnya, kendaraan umum berpelat kuning itu harus mengangkut 36% pemakai jalan sedangkan mobil pribadi, yang jumlahnya lebih dari 25 kali lipat kendaraan umum, hanya kebagian membawa 46% pemakai jalan. Selebihnya diangkut dengan sepeda motor, taksi, truk, atau pikup. Tak mengherankan bila penumpang berjejal di busbus dan metromini. Jadi kata orang, di tengah kemacetan, sefrustrasi-frustrasinya yang bermobil pribadi, lebih frustrasi yang di dalam bus kota. Dari seluruh mobil di jalur penting itu, sebagian besar (47%) hanya mengangkut satu penumpang yang merangkap sopir. Sekitar 38% lainnya hanya membawa dua penumpang dan 11% lagi hanya ditumpangi tiga orang. Hanya 4% yang membawa empat penumpang atau lebih. Dengan kata lain, mobil-mobil berpelat hitam itu kelebihan jok. Alhasil, pemakaian jalan jadi tidak efisien. Dominasi mobil pribadi itu terlihat di jalan-jalan penting lainnya. Survei oleh Direktorat Perhubungan Darat membuktikan kecenderungan itu: di sembilan jalur terpadat Jakarta, di antaranya Jalan Kyai Tapa, Matraman Raya, Pramuka, Gunung Sahari, rata-rata 82% hanya mengangkut satu atau dua penumpang. Hanya 8% yang membawa empat penumpang atau lebih. Tapi bila Anda bukan warga Jakarta, harap diketahui bahwa sopirsopir taksi di Jakarta mulai mengeluh sebab kemacetan tak hanya jadi monopoli urat nadi Ibu Kota seperti di Jalan Sudirman, Jalan Thamrin, Jalan Gatot Subroto, atau Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk. Hampir di semua sudut DKI Jakarta, kemacetan mudah ditemui. Seorang sopir taksi, seperti Sopardi dari armada Blue Bird sering dibikin pusing. "Saya sering bingung kalau ada penumpang yang minta lewat jalan yang bebas kemacetan," tuturnya. "Tiga tahun lalu sekitar Jalan Ragunan itu kosong, kini ikut-ikutan macet," kata Muhaimin, pengemudi taksi Kopti. Jalan Ragunan termasuk jalan yang sudah di pinggiran. Jalan-jalan di seluruh Jakarta tampaknya memang telah keteter untuk menampung 1,65 juta kendaraan bermotor yang terdiri dari 845 ribu buah mobil dan 680 ribu sepeda motor. Dari jumlah itu lebih dari 610 ribu, atau sekitar 72% dari seluruh populasi mobil adalah mobil pribadi. Selama sepuluh tahun belakangan ini pertambahan kendaraan bermotor di DKI Jakarta mencapai 12% per tahun, jauh melampaui pertambahan ruas jalan yang rata-rata 3-4% per tahun. Dengan berjejalnya kendaraan bermotor itu, lalulintas jadi terasa menjengkelkan. Tengok saja suasana pagi dan petang, ketika orang berangkat dan pulang kerja, di sejumlah pusat kemacetan. Di situ mobil harus merangkak 10 km per jam. Setiap simpul lampu merah selalu mengundang kejengkelan. Untuk lolos dari hampir semua perempatan di saat-saat itu memerlukan waktu sedikitnya setengah jam. Seperti jaringan pipa air, tersumbatnya satu pipa berpengaruh pada pipa yang lain, begitu pula dengan jalan raya. Kemacetan di jalur-jalur utama itu sering merambat ke jalan-jalan yang lebih kecil bahkan ke lorong-lorong kampung. Lalu apa makna jalan tol di tengah kota? Bagi orang Jakarta yang tiap hari pulang pergi lewat jalan yang ada jalan tolnya kini sudah terbiasa melihat jalan tol ternyata lebih macet daripada yang bukan tol pada jamjam tertentu. Jadi kenapa mobil-mobil itu masuk jalan tol? Ada yang bilang, mereka yang rela masuk jalan tol itu menyumbang pada mereka yang berada di jalan bukan tol. Bayangkan, bagaimana macetnya jalan bukan tol seandainya tak ada yang mau masuk jalan tol. Kalau ditarik ke belakang, pangkal keruwetan itu tak lepas dari soal kependudukan dan tata kota. Jakarta punya warga 8,2 juta jiwa, menurut sensus penduduk akhir 1990. Pertambahan penduduknya 2,4% per tahun. Jumlah ini sering disebut sebagai penduduk malam, warga yang memang bermukim di wilayah DKI. Tapi jangan lupa, Jakarta juga menjadi ajang pergulatan warga di sekitar DKI Jakarta, yakni Bogor, Tangerang, dan Bekasi, yang jumlah penduduknya kini hampir 17 juta jiwa, dengan pertambahannya 3,75% per tahun. Sebagian warga Bo-Ta-Bek ini ramai-ramai menyerbu Jakarta pada siang hari. Maka sering disebut-sebut bahwa "penduduk siang" Jakarta mencapai lebih dari sepuluh juta jiwa. Celakanya, daerah tujuan "penduduk siang" Jakarta itu berderet di sepanjang urat jantung Jakarta karena di situlah tempat perkantoran swasta maupun negeri dan pusat perdagangan. Lebih celaka lagi (maksudnya lebih bikin macet), sebagian besar mereka termasuk kelas yang mempunyai mobil pribadi, beli baru maupun bekas. Bekas itu pun artinya ada mobil yang keluaran tahun lalu tapi ada juga dari zaman awal Orde Baru atau pertengahan 1960an. Itulah faktor utama kemacetan berjubelnya mobil pribadi dari segala zaman dan merek. Faktor-faktor sampingan yang cukup penting ada beberapa hal. Salah satunya, kata seorang perwira polisi lalu lintas yang enggan disebut namanya, sistem lampu merah di Jakarta ikut menyumbang kemacetan. Misalnya di sebuah perempatan, lamanya lampu merah dan hijau sama rata padahal arus dari salah satu jurusan lebih padat berlipat kali daripada jurusan yang lain. "Itu gara-gara lampu merahnya tak bisa mengakomodasi problem yang ada di situ," ujar perwira polisi tadi. Lalu ada dua perempatan yang jaraknya terlalu dekat sehingga lampu hijau dari satu perempatan ke yang lain tak bisa cukup lama karena akan membuat antrean kendaraan menghalangi lalu lintas dari arah kanan dan kirinya. Lalu ada pula problem penyeberang jalan. Di beberapa jalan, kendaraan terpaksa memberi kesempatan penyeberang jalan lebih dulu. Padahal penyeberang itu bukan hanya lima atau sepuluh orang tapi mengalir terus. Pengendara mobil sering harus berhenti untuk memberi jalan para penyeberang sehingga arus lalu lintas tersendat. Hal lain yang ikut memperburuk kondisi lalu lintas Jakarta adalah pedagang kaki lima. Contoh paling baik tentang persoalan ini gampang ditengok di pertigaan dekat terminal Pasarminggu, di pinggiran selatan Jakarta. Para pedagang kaki lima menyita sebagian ruas jalan. Akibatnya jalan menyempit. Antrean panjang sering terlihat di sana. Keadaan itu kadang makin buruk gara-gara ada metromini yang ngetem menunggu muatan di samping deretan pedagang kaki lima itu. Kemacetan menjadi hal yang rutin. Satu persoalan lagi yang tak bisa diabaikan terhadap semrawutnya lalu lintas Jakarta adabh masalah parkir. Kemacetan laten terjadi di depan pertokoan, toko swalayan, rumah sakit, dan kantor-kantor yang tak mempunyai pelataran parkir. Di kawasan yang disebut kawasan elite Menteng, di sebuah jalan yang panjangnya hanya sekitar 400 meter, berjubel toko dan rumah makan plus sebuah toko swalayan. Padahal jalan ini merupakan penghubung penting antara kawasan selatan dan Jakarta Pusat. Maka lihat, di waktu jam makan siang, parkir di situ sampai rangkap tiga bahkan empat. Kendaraan yang hanya numpang lewat merangkak pelan. Betapa tersinggungnya para pemakai jasa angkutan umum bila kendaraannya lewat di situ: Ini sebenarnya jalan untuk lalu lintas atau kawasan parkir? Jadi siapa punya ide melancarkan lalu lintas Jakarta? Sebuah survei yang dilakukan Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya DKI Jakarta bersama Bank Dunia menyimpulkan, mau tak mau sikap tegas mesti diterapkan: kendaraan pribadi harus dibatasi. Menurut perhitungan tim survei DLLAJR itu, pemakaian mobil pribadi pada tahun 2005 nanti harus bisa ditekan setidaknya tinggal 75% dari jumlah sekarang. Lantas kendaraan umum harus dipaksa mengambil porsi yang lebih besar sehingga bisa mengangkut 85% pemakai jalan. Yang jadi masalah, bagaimana cara menekan agar orang lebih suka berkendaraan umum. Persoalan yang tampak secara sekilas adalah sebuah lingkaran setan: orang memakai kendaran~ pribadi karena kendaraan umum tak memadai dan karena banyaknya kendaraan pribadi, jalan macet dan sulit menambah kendaraan umum. Jadi? Hanya dengan semangat demi kesejahteraan umum tampaknya ini semua bisa diatasi. Warga Jakarta tampaknya sudah terlalu manja. Putut Tri Husodo, Ivan Harris, Indrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus