KEMACETAN lalu lintas di Bangkok mungkin yang terburuk di dunia. Berbagai media luar negeri, majalah Newsweek dan harian International Herald Tribune, misalnya, pernah ~menulis tentang "wabah macet yang melanda ibu kota Muangthai itu. Di sana ada sekitar 2 juta kendaraan bermotor atau seperempat dari jumlah penduduk -- bandingkan dengan Jakarta yang "hanya" 1,6 juta. Dari 2 juta itu, kira-kira 800 ribu adalah sepeda motor. Sisanya, 1,2 juta, berupa mobil. Dan ~jumlahnya terus bertambah. Menurut Dr. Suwat Wanisubut, Direktur Badan Nasional Pembangunan Ekonomi dan Sosial (BNPES), kira-kira 500 mobil baru digelinding~kan setiap hari. Keruan, jalur-jalur jalan yang panjangnya cuma 15 ribu kilometer menjadi sumber frust~asi bagi pengendara kendaraan bermotor. Pada hari-hari tertentu, misalnya hari Jumat di akhir bulan, saat gajian, jalan-jalan utama macet total. Kendaraan hanya bisa merayap tak lebih dari 5 kilometer per jam. Kalau sudah begitu, prat-prit sempritan polisi justru menambah pusing tujuh keliling. Dar-der bunyi pantat mobil disodok kepala mobil adalah peristiwa biasa. Apalagi bila ada yang mo~gok. Adakalanya, tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang punya sopir memilih turun dari mobil lalu jalan kaki, membiarkan sopirnya "sepi" sendiri di mobil. Tetapi, seperti kata Su~at, penduduk Bangkok umumnya lebih betah tinggal berlama-larna di kendaraannya ketimbang jalan kaki. "Maklum, jalan-jalan kami masih kotor, tak aman, dan udara kota penuh polusi karbon dioksida," kata Suwat. Sudah lama pemer~intah Muangthai dibuat kesal oleh keadaan ini. Mereka menganggap kemacetan merupakan bahaya bagi pem~ban~gunan perekonomian nasional. Bangkok merupakan pusat bisnis Muangthai. Dan menurut sejumlah pejabat, banyak pemodal asing mundur teratur setelah melihat brengseknya jalan raya kota itu. Itulah sebabnya bulan Oktober tahun lalu, ketika berlangsung konperensi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional di Bangkok, Pemerintah mengambil tindakan yang dianggap bisa menyelamatkan citra Bangkok kantor dan sekolah-sekolah diliburkan selama dua hari. "Pemerintah takut para peserta konperensi melihat betapa gawatnya lalu lintas kami," ujar Suwat. Maka, untuk sejenak, Bangkok lengang seperti hari Lebaran di Jakarta. Selesai konperensi, macet kembali bersimaharajalela. Pemerintah Bangkok, sebagaimana Pemda DKI Jakarta, tidak mungkin melarang atau membatasi pemilikan mobil. Warga setempat telanjur memandang mobil sebagai salah satu ukuran gengsi. "Melarang orang membeli atau menjualnya berarti melanggar hak asasi manusia," ujar Marsekal Udara Kaset Rojananil, salah seorang jenderal yang berkuasa setelah kudeta Februari tahun lalu. Dan Suwat pun mengatakan, "~Upaya membatasi pemakaian mobil adalah gagasan yang paling ditolak rakyat." Karena, itu tadi, banyak orang Bangkok segan berjalan kaki. Segala macam cara sudah ditempuh untuk mengatasi kemacetan tersebut. Misalnya mengubah arus lalu lintas -- terutama di jalan-jalan besar -- yang semula dua arah menjadi satu arah. Tak juga menolong. Sekitar 15 tahun silam, polisi lalu lintas Bangkok menerapkan cara yang ditempuh Jakarta sekarang, yakni membatasi jumlah penumpang mobil pribadi di kawasan tertentu. Ketika itu mobil-mobil yang melewati jembatan Chao (Sungai~ Phya, yang menghubungkan kawasan perumahan dengan wilayah daerah bisnis, harus mengangkut minimal 4 penumpang. Para pemilik mobil tak kurang akal. Mereka angkut saja para penunggu bus kota di halte-halte. Dan kemacetan jalan terus. Setahun kemudian proyek empat penumpang dihapuskan. Ada lagi langkah yang sia-sia. Suatu kali dibuatlah peraturan yang melarang parkir di jalan~-jalan utama. Pelanggarnya akan dikenai sanksi berat. Mungkin Orang enggan jalan kaki k~arena mobil terlalu banyak, ternyata warga Bangkok lebih senang dikenai sanksi setiap kali, daripada tak memarkir mobil. Polisi pun lalu kewalahan. Kini, yang baru, ada peraturan yang mewajibkan bangunan-bangunan baru di tepi jalan untuk menyediakan tempat parkir, ini pun tidak menunjukkan hasil. Walhasil, pemerintah setempat hampir kehabisan akal. Akhirnya, setelah dua puluh tahun berpikir, pemerintah mengambil langkah yang belum tentu membantu, tapi bisa menambah pemasukan uang ke kas pemda: tahun lalu, mereka mempersilakan perusahaan Hopewell Engineering (dari Hong Kong) untuk membangun jalan tol, jalan lingkar, dan jalan layang. Belakangan pemerintah juga mengoperasikan angkutan umum patas yang disebut Mass R~apid Transit System, atau singkatnya Skytrain. "Jika ini bisa jalan, baru kita akan melarang pemakaialn mobil," kata Suwat. Tapi, sekali lagi, itu baru perhitungan di kertas. Kenyataan di jalan raya mun~kin lain. Di ibu kota sebuah negara maj u macam Jepang, ternyata keadaannya lebih parah. Tokyo, berpenduduk 12 juta jiwa, menyimpan lebih dari 4 juta kendaraan roda empat plus 1,4 juta sepeda motor. Kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan hari-hari kerja di Tokyo adalah "macet cet", meski jalan layang, jalan tol, dan jalan lingkar bertebaran di mana-mana. Pelayanan kereta api, taksi, dan bus kota, dibikin senyaman mungkin. Toh sekali macet tetap macet. Itu baru masalah kemacetan. Soal lainnya menyangkut perkara parkir. Lantaran begitu banyaknya mobil dan padatnya penduduk, tempat parkir merupakan kebutuhan yang mahai. Jarang-jarang ada kantor yang menyediakan parkir khusus untuk karyawannya. Jarang-jarang ada warga yang punya tempat luang untuk menyimpan mobil di rumahnya. Mau tak mau mereka harus menyewa tempat yang memang disediakan secara khusus. Di luar tempat itu tidak boleh. Mereka yang tinggal atau bekerja di Tokyo terpaksa mengeluarkan sekitar 50.000 yen (Rp 800 ribu) per bulan hanya untuk parkir. Di pusat kota biaya parkir itu lebih tinggi, 60.000 sampai 100.000 yen. Bahkan, di kawasan dekat stasiun kereta api, ongkos parkir bisa mencapai 150.000 yen per bulan. Karena mahalnya uang sewa, mereka yang kantongnya agak kempis menempuh cara tidak sah, parkir sembarangan. L~antas saja mobil-mobil ini disebut mobil liar. Dua tahun siiam di 23 di~strik di Tokyo terdapat lebih dari 175.000 mobil liar. Makanya, tahun silam pemerintah Jepang memberlakukan undang-undang revisi parkir, yang melarang pengoperasian mobil-mobil yang tidak punya tempat parkir. Bila melan~gar, mereka akan kena denda 150.000 yen, plus 15.000 yen sebagai hukuman karena melanggar peraturan. Sistem ini akan ditiru Jakarta? Priyono B. Sumbogo, Yuli Ismartono (Bangkok), dan Seiichi Okawa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini