Norman Edwin dan Didiek Samsu, dua pendaki terbaik Mapala UI yang juga wartawan, ditemukan meninggal dunia di Gunung Aconcagua. Disaat-saat terakhir, dua sekawan ini tetap mengabadikan perjuangan mereka. Naluri hidup mengingatkan mereka untuk meninggalkan sebuah kenangan. Inilah sebagian rekaman pendakian terakhir mereka dari slide yang ditemukan tim SAR di Refugio Berlin (6.000 m) dan dilengkapi dengan gambar-gambar evakuasi jenazah. "Jangan menyerah pada nasib," kata Didiek. Hal itu ia buktikan bersama Norman. Ibarat menggenggam kehidupan, mereka lampaui batas-batas gunung, batas-batas jurang. Barangkali saat pendakian pertama yang gagal, lalu turun tersaput badai karena cedera, itulah yang mereka anggap "nasib". Nasib yang tak pantas memaksa mereka menyerah. Mereka bersiap untuk pendakian kedua. Mereka berpikir untuk membawa perbekalan lebih, menyediakan waktu cadangan. Pendakian pun berlalu saksama. Tapi kesulitan muncul. Pendaki lain bercerita tentang derita kalian. Lalu mengapa tidak turun? Masihkah kalian tidak mau menyerah? Adakah itu panggilan alam? Dan ketika jasad kalian diturunkan dari kebekuan Aconcagua, mereka yang disekeliling bertanya: untuk apa semua itu? Maka, kita selayaknya kembali pada hakikat pendakian, di mana risiko pendakian ada di antara pendaki dan sang Pencipta. Kalian agaknya menemukan itu di sana. Saat itulah hidup yang kalian genggam harus diberikan. Akhirnya, kita harus bertanya kepada Soe Hok Gie, sang filsuf Mapala UI. Ia, juga seperti kalian, telah melepaskan genggaman kehidupan. "Hidup adalah soal keberanian," katanya. "Menghadapi tanda tanya tanpa kita mengerti, Tanpa kita bisa menawar, Terimalah dan hadapilah...." Hidup harus lebih dari sekadarnya Man, Diek. Dan itu telah kalian dapatkan. Salam untuk Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Hartono Basuki, Budi Belek, dan Tom Sukaryadi. Tantyo Bangun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini