Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Melepas Kampus, Menghamba Imam

Sejumlah mahasiswa terpikat masuk kelompok yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Sebuah fenomena politikkah ini? Atau sekadar fenomena bangkitnya "sekte" eksklusif Islam di tengah krisis spiritualitas kehidupan modern?

27 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CATUR terkesiap. Di hadapannya tiba-tiba terpampang spanduk hijau bertulisan kalimat proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) dengan tulisan yang mencolok. Di bagian yang lain, dengan tulisan sama besar, naskah proklamasi Sukarno-Hatta disilang dengan tambahan tulisan "batil" di atasnya. Hari telah larut malam. Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) angkatan 1997 itu dibawa temannya ke tempat tersebut—sebuah rumah di Bandung. Ia tidak sendiri. Di sekelilingnya sekitar 30 anak muda seusianya berdiri dengan ketakziman yang sama. Lalu, seorang pria setengah baya masuk. Ia mengenakan hem rapi dan berdasi. Ketiga puluh anak muda itu menjalani proses baiat (sumpah setia) kepada Negara Islam Indonesia dengan dipimpin pria berdasi tadi. "Saya dipaksa bersumpah dengan nama Allah," kata Catur, "untuk tidak mengakui Indonesia sebagai negara kecuali Negara Islam Indonesia." Perkenalan Catur dengan gerakan itu dimulai ketika pada tahun pertama kuliah ia sering diajak berdiskusi tentang agama oleh teman sekolahnya di IPB. Catur menanggapi. Ia memang banyak ingin tahu tentang agama. Lama berdebat, ia akhirnya diajak pergi ke Bandung untuk mengikuti upacara baiat tadi. Semenjak itu, anak muda 23 tahun ini resmi menjadi anggota. Tapi hatinya berontak. Pasalnya, ia punya kewajiban merekrut anggota baru—seperti layaknya peserta multilevel marketing—dan wajib "menyumbangkan sebagian harta untuk membiayai gerakan". Ia juga merasa ganjil dengan aturan yang mengizinkan seseorang tidak salat sebelum negara Islam terbentuk. Ia desersi. Dia pindah kuliah ke Universitas Padjadjaran, Bandung, untuk "menghilangkan jejak". Meski telah bebas, ia masih sering waswas dengan ancaman pembunuhan karena "pengkhianatan" yang dilakukannya tadi. Catur tidak sendiri. Di Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB) dua pekan lalu 20 orang tua mahasiswa ITB mengeluh karena anak mereka "terjerat dalam gerakan NII". Prestasi akademis anak-anak mereka itu umumnya melorot—sekitar 200 orang kabarnya terancam putus kuliah karenanya. Anak-anak itu juga sering minta uang untuk dipakai membiayai gerakan. Mereka juga berani menghalalkan darah orang tua sendiri kalau dipandang tidak seiman dengan mereka. Seberapa banyakkah mahasiswa yang terpikat oleh kelompok seperti ini? Sulit diketahui secara pasti. Namun, gejala serupa juga dikabarkan marak di beberapa universitas lain di Jawa Tengah serta Jawa Timur. Miftah Faridl, Ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat dan dosen agama Islam ITB, menduga di Jawa Barat saja ada 500 ribu warga masyarakat yang terlibat kelompok-kelompok eksklusif seperti itu. Kelompok itu umumnya eksklusif dan membatasi diri dari pergaulan dengan pihak luar. Rekrutmen anggota dilakukan secara persuasif dengan sasaran andalan kalangan mahasiswa dan pelajar. Kalangan ini kerap disebut dengan kelompok "antena pendek", yang artinya anak muda yang pemahaman agamanya terbatas tapi semangat belajar agamanya meluap-luap. Umumnya mahasiswa yang terpikat dengan kelompok ini berasal dari keluarga berkelas ekonomi menengah hingga atas. "Setiap kali pergi ke pengajian, anak-anak itu selalu minta uang dalam jumlah besar, setengah hingga satu juta rupiah, untuk membiayai gerakan," kata Faridl. Kelompok itu memiliki fikih yang ganjil dengan dalih yang anakronistik. Mereka membolehkan anggotanya tidak salat dengan alasan—seperti diungkapkan Catur—bahwa sebelum negara Islam terbentuk, umat berada pada periode Mekah, yakni ketika Nabi Muhammad belum memperoleh perintah salat. Setelah negara Islam berdiri, periode Madinah, salat barulah diwajibkan. Jika logika ini bisa diterima, mereka sebenarnya bahkan tidak mengakui kenabian Muhammad. Para calon anggota juga dipikat dengan cara yang menarik. Betty—nama samaran untuk mahasiswi sebuah sekolah tinggi ekonomi di Bogor—mengaku ditawari cara mudah menghapus dosa masa silamnya ketika masuk kelompok itu, yakni dengan mengonversi dosanya ke dalam rupiah lalu membayarkannya kepada imam alias pimpinan. Seorang bekas anggota kelompok di Bandung yang berhasil lepas bercerita bahwa imamnya sering menjanjikan surga kepada dia dan anggota kelompok lainnya. Dengan janji itu titah pemimpin menjadi mutlak. Sebuah kelompok umumnya hanya beranggotakan puluhan orang. Setiap anggota hanya mengenal anggota kelompok lainnya dalam lingkungan terdekat. Benarkah ini merupakan "sel-sel" dari sebuah gerakan yang lebih besar? Sulit dipastikan—atau bahkan mungkin tidak berkaitan sama sekali. Selain soal loyalitas kepada pimpinan dan praktek ibadah yang ganjil tadi, tak tampak ada gejala bahwa ini merupakan gerakan besar yang memiliki agenda politik jelas. Negara Islam Indonesia adalah isu serius dalam wacana politik Indonesia. Dan Kartosuwiryo adalah tokoh legendaris dalam pusaran itu. Berawal dari kisruh dalam tubuh militer pada awal kemerdekaan, Kartosuwiryo memberontak dan memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 7 Agustus 1949. Proklamasi Kartosuwirjo mendapat dukungan dari Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan (20 Januari 1952), Abu Daud Beureueh di Aceh (21 September 1953), Ibnu Hajar dari Kalimantan Barat, dan Amir Fatah dari Jawa Tengah. Tak satu pun dari gerakan itu mampu bertahan dan berhasil mendirikan negara Islam—bahkan di daerah mereka yang terbatas (lihat N-Sebelas dalam Berbagai Wujud). Pada masa Orde Baru, Kartosuwiryo dengan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesianya (DI/TII) menjadi simbol gawat dalam wacana politik. Ideologinya dipandang sebagai ancaman ekstrem kanan yang sama haramnya dengan komunisme, ekstrem kiri. Beberapa gerakan Islam eksklusif memang muncul pada era ini, kadang dengan teror dan tindakan kriminal sebagai jalannya—seperti kelompok Imron dan Komando Jihad. Namun, sejumlah pengamat Islam melihat kelompok-kelompok itu tak lain merupakan boneka rezim militer Soeharto untuk memuluskan jalan depolitisasi pada awal Orde Baru—khususnya untuk mengebiri gerakan politik Islam, bahkan yang paling moderat pun. Seperti dalam kasus komunisme, cap "ekstrem kanan" terbukti juga menjadi alat efektif dalam mengaburkan masalah sosial-ekonomi—seperti dalam kasus Tanjungpriok serta gerakan Warsidi di Lampung. Cita-cita mendirikan negara Indonesia berbasis agama mungkin tidak pernah padam di sementara kalangan Islam. Ini bahkan bukan fenomena khas Islam dan khas Indonesia—di India, Irlandia, Israel, dan bahkan Amerika Serikat, agama tak pernah bisa benar-benar dipisahkan dari kehidupan politik. Gerakan seperti itu bahkan berpotensi kian subur di tengah ketidakberdayaan sistem sekuler dalam memecahkan krisis sosial maupun ekonomi, seperti merajalelanya kejahatan di jalanan dan korupsi di pemerintahan. Namun, sejauh ini simpatisan negara Islam—karena platformnya yang kabur dan pola organisasinya yang eksklusif—tak mampu memikat kalangan lebih luas. Gagasan itu bahkan tampak kian tidak relevan melihat antusiasme partai-partai politik Islam mengikuti pemilu 1999, dan menegaskan penerimaan mereka kepada sebuah sistem sekuler. "NII yang sekarang ramai disebut itu bukan NII versi Kartosuwiryo," kata Muslim Zaelani, mubalig yang juga dosen ITB. Kelompok-kelompok baru itu lebih mengutamakan imam dan mengecilkan arti pendidikan. Gerakan Kartosuwiryo, menurut Muslim, sebaliknya justru mengutamakan studi untuk meningkatkan kualitas. Jika begitu, fenomena apakah sebenarnya ini? Kenapa pula perguruan tinggi terkemuka seperti ITB dan IPB bisa terjangkiti? Untuk beberapa aspek, kelompok-kelompok eksklusif itu menyerupai gerakan "pemurnian dan pencarian diri"—bukan gejala yang aneh di tengah masyarakat materialistik-modern yang dahaga akan spiritualitas. Tidak selalu pencarian itu mudah. Seseorang bahkan bisa tersesat dalam penghambaan tak masuk akal kepada "para imam dan pemimpin" yang mengeduk uang dengan kedok perjuangan agama. Dalam kasus para mahasiswa itu, ini bahkan mungkin mencerminkan salah satu krisis kita yang paling memiriskan: krisis intelektualitas di satu sisi atau hilangnya pamor sistem pendidikan kita secara umum di sudut lain. Arif Zulkifli, Hani Pudjiarti, Darmawan Sepriyossa, Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus