Gerakan Darul Islam (DI), yang memperjuangkan negara Islam di bumi Indonesia, harusnya sudah pupus berbarengan dengan wafatnya sang pemimpin, Kartosuwiryo, pada 1962. Ternyata tidak. Akhir-akhir ini, meski tidak memakai lebel DI, gerakan sejenis kembali muncul. Sebagian dari mereka menyebut diri gerakan Negara Islam Indonesia (NII) atau N11 (N-Sebelas).
Alam reformasi, yang ditandai dengan kebebasan berekspresi dan mundurnya peran intelijen militer dalam kehidupan politik, telah mencabut cap-cap lama yang bernada gawat seperti sebutan ekstrem kiri maupun kanan. Atmosfer baru ini juga memberi peluang lebih baik kepada gerakan politik yang mana pun—temasuk simpatisan negara Islam—untuk bangkit kembali.
Tidak jelas benar berapa jumlah kelompok seperti itu, tidak jelas pula jumlah anggotanya secara total. Di samping sifatnya rahasia, kelompok itu umumnya eksklusif, tidak mau bergaul dengan warga lainnya. Sistem rekrutmen anggota dilakukan secara bisik-bisik.
Jawa Barat adalah salah satu daerah paling subur. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat, Miftah Faridl, mengatakan ada 500 ribu warga masyarakat yang disinyalir menjadi anggota gerakan tersebut. Agak ironis. Sebab, rakyat Jawa Baratlah yang menurut buku sejarah resmi menderita teror paling mengenaskan—pembantaian berdarah--oleh para pengikut Kartosuwiryo, yang memang berbasis di daerah Parahiyangan ini.
Seorang mantan anggota NII di Malang, Jawa Timur, mengaku kelompoknya punya 80 orang anggota dan mungkin terus bertambah. "Mereka gencar merekrut anggota secara rahasia di kampus dan masyarakat," kata sumber yang tidak mau namanya disebut itu kepada Zed Abidien dari TEMPO.
Mansur Suryanegara, sejarawan Islam Universitas Padjadjaran, menduga memang ada pasang naik gerakan mendirikan negara Islam Indonesia pada tahun 2000 ini. "Menurut anggapan kelompok-kelompok itu, akan terjadi revolusi besar-besaran pada tahun ini," katanya.
Pertanyaannya, apakah kemunculan kelompok itu menandai bangkitnya sentimen yang sama secara serentak, atau merupakan gerakan terkomando yang satu? Adakah pula kaitan antara "gelombang" sentimen baru itu dan gagasan negara Islamnya Kartosuwiryo?
Muslim Zaelani, mubalig yang juga dosen ITB, melihat perkembangan kelompok itu sangat cepat. Bahkan terlalu cepat sehingga tidak bisa ditelusuri adanya kepaduan. Ranting atau grup baru itu terkadang berbeda dengan "induk" pertamanya. Bahkan mereka tampaknya tidak punya kaitan. Hanya satu hal yang sama: "Mereka tidak mengakui pemerintah yang ada, termasuk pemerintahan Abdurrahman Wahid, karena dianggap tidak menegakkan Quran dan hadis," kata Muslim.
Dari sisi kemapanan organisasi, mereka juga berbeda. Sebagian ada yang, "Punya konsep seperti struktur sebuah negara. Ada syuro (parlemen), ada presiden yang dibantu para menteri," ujar Muslim. Namun, tidak sedikit pula kelompok NII yang radikal dan irasional tanpa memakai kaidah hukum. Sayang, karena alasan eksklusivitas dan ketertutupan gerakan tersebut, Muslim tidak bisa menyebut nama kelompok itu. Dengan alasan itu pula, ia menyangsikan keterangan yang dilansir Miftah Faridl soal jumlah anggota NII di Jawa Barat.
Menurut Al Chaidar, mantan anggota NII (1991-1996), ada 13 faksi yang muncul setelah api perjuangan NII dipadamkan pemerintah dengan dihukum matinya Kartosuwiryo. Beberapa yang masih aktif, menurut Chaedar, adalah faksi Abu Toto (pemimpin Pesantren Al Zaitun Indramayu, Jawa Barat), dan faksi Ali Hate (Sulawesi Selatan).
Faksi yang satu tidak memiliki hubungan dengan yang lain. Ibarat kapal besar yang dihantam badai, kapal NII pecah jadi perahu-perahu kecil. "Setiap kapal kecil punya komandan kecil, yang masing-masing mengklaim sebagai ahli waris sah dari Kartosuwiryo," kata M. Zainal Muttaqin, aktivis Islam yang kini adalah pemimpin redaksi majalah Sabili.
Sebagian besar "varian" itu, menurut Chaedar, telah menyimpang jauh dari misi dan falsafah gerakan yang pernah dikobarkan Kartosuwiryo. Sebab, "setelah Kartosuwiryo wafat, komandan wilayah (KW) kehilangan kontrol kekuasaan sehingga mereka bebas bergerak sendiri," tuturnya.
Dari faksi-faksi yang ada, menurut Chaidar, faksi Abu Totolah yang banyak bergiat di Jawa Barat akhir-akhir ini. Dalam bukunya yang terbit akhir tahun lalu, berjudul Sepak Terjang KW 9: Abu Toto Menyelewengkan NKA-NII Pasca SM Kartosoewirjo", Chaedar menyebut ulama yang bernama asli Syeh A.S. Panji Gumilang itu melakukan pengumpulan dana melalui sistem infak yang mengikat, selain juga perusakan akidah melalui pelanggaran aturan agama seperti pelarangan salat.
"Abu Toto itu mantan Komandan Wilayah Sembilan (KW9)," ujarnya. Kini, Abu Toto punya pesantren cukup megah di Indramayu. Bahkan, mantan presiden B.J. Habibie sendiri yang meresmikan Al Zaytun—pesantren yang menelan biaya sampai puluhan miliar rupiah.
Benarkah? Ketika TEMPO berkunjung ke Pesantren Al Zaytun, tanda-tanda gerakan NII itu tidak tampak sama sekali. Seperti layaknya sebuah pesantren, para santrinya melakukan kegiatan seperti biasa, belajar dan mengaji. Soal besarnya dana yang dimiliki, Abu Toto punya penjelasan. "Kami menerima sumbangan dari umat Islam dari berbagai negeri dan Al Zaytun tidak menerima infak harta secara paksa," katanya. Soal tuduhan terlibat dalam gerakan NII, kiai bersorban ini enggan menjawab. "Itu hanya menebar fitnah namanya," ujarnya.
Kelompok lain adalah NII pimpinan Ali Hate di Sulawesi Selatan. Tidak jelas berapa anggotanya dan bagaimana gerakan itu sejauh ini. Namun, Abdul Aziz Qahhar, anak Kahar Muzakkar, tokoh pergerakan DI di Sulawesi Selatan, menafikan keberadaan NII. "Setelah ayah saya wafat, tidak ada lagi gejolak NII di Sulawesi Selatan, dan lagi sebagian besar bekas anggota itu sudah berkiprah ke Muhammadiyah," katanya kepada TEMPO. Meski begitu, Abdul Aziz mengaku tengah berjuang untuk membentuk Dewan Syariat Islam dan meminta status khusus bagi Sul-Sel. "Kalau di Aceh bisa diberikan otonomi khusus untuk berlakunya syariat Islam, kenapa Sul-Sel tidak?" katanya.
Selain kelompok "pretelen" Kartosuwiryo, sebenarnya ada juga gerakan yang memakai jargon NII, seperti kelompok Warsidi di Lampung. Kelompok yang disebut sebagai gerombolan pengacau keamanan (GPK) oleh pemerintah itu menolak Pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup bangsa. Komunitas itu secara eksklusif membentuk masyarakat sendiri, tidak mau berinteraksi dengan masyarakat desa lainnya. Namun, ketika ada operasi militer awal Februari 1989, kelompok ini dibasmi aparat keamanan secara brutal. Dilaporkan sedikitnya 30 anggota "keluarga" Warsidi yang mendiami Desa Rajabasa, Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah, tewas diberondong peluru.
Kelompok lain yang serupa tapi tidak sama adalah yang menyebut dirinya Islam Jamaah. Meski tidak memakai nama NII, sistem rekrutmen dan tatanan organisasinya mirip. "Pengikut Islam Jamaah harus dibaiat dan diwajibkan membayar infak kepada imam," kata Debby Nasution, pemusik yang pernah aktif di organisasi tersebut selama tahun 1973 sampai 1983.
Selain itu, para jemaah tidak diperkenankan menikah dengan kelompok lain. Bahkan, salat pun harus sesama kelompok sendiri. Di luar grup mereka, semua dianggap kafir. "Islam Jamaah punya target menguasai Indonesia dengan dakwah," kata Debby. Struktur Islam Jamaah, menurut adik Keenan Nasution itu, mirip dengan organisasi di NII pada umumnya. "Ada imam tertinggi, lalu imam bagian Indonesia Timur, Barat, dan Tengah, terus sampai imam daerah seperti Jakarta," ujarnya. Imam tertinggi mereka bernama Ubaedah Lubis Amir, yang kemudian digantikan oleh Abu Kohir atau biasa dipanggi Haji Sureh.
Tak hanya kelompok-kelompok itu tercerai-berai, gagasan mereka tentang negara Islam sendiri juga kabur, bahkan sejak zaman Kartosuwiryo. Ketua Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif mengkritik NII yang pernah dicita-citakan Kartosuwiryo sebagai sistem yang tidak demokratis, karena bertujuan menghidupkan sistem keamiran. "Bila mereka berhasil, yang terjadi bukannya Islam sebagai rahmat akan terwujudkan, tetapi yang muncul adalah penguasa yang otoriter,'' katanya.
Johan Budi S.P., Hani Pudjiarti, Upiek Supriyatun (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini