NEGARA Islam Indonesia berawal dari Gerakan Darul Islam yang timbul karena perpecahan dalam tubuh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), setelah pendirinya, H.O.S. Tjokroaminoto, meninggal pada 1963. Konflik dalam tubuh PSII, karena ada dua kepentingan yang berbeda soal kerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda, memunculkan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Wakil Ketua PSII ini menolak berhubungan dengan penjajah. Akibatnya, dia dipecat dari PSII pada 1939, dan membentuk Komite Pembela Kebenaran PSII. Inilah akar Darul Islam yang berkembang pada 1940-an.
Setelah merdeka, di bawah Sukarno, Indonesia mengadakan perjanjian dengan Belanda pada 1948, yang isinya penyerahan wilayah Jawa Barat kepada Belanda dan penarikan mundur pasukan militer. Kartosuwiryo, yang saat itu memimpin pasukan Hizbullah dan Sabilillah, melarang anggotanya pergi dari tanah Pasundan. Pada tahun itu juga diselenggarakan pertemuan pemimpin-pemimpin pasukan Islam di Tasikmalaya. Pertemuan itu menghasilkan Majelis Islam (MI) serta mengubah laskar Hizbullah dan Sabilillah menjadi Tentara Islam Indonesia (TII).
Dua bulan kemudian, diadakan pertemuan lagi. Embrio NII dilengkapi dengan perlengkapan pemerintahan. MI dibubarkan, diganti dengan Dewan Imamah dan Dewan Fatwa. Pada saat itu, Kartosuwiryo diangkat sebagai imam, Ketua Dewan Imamah. Tepat pada 7 Agustus 1949, NII diproklamasikan—setelah Belanda melancarkan aksi militer kedua. Imam Kartosuwiryo mengubah struktur NII, meninggalkan sistem pemerintahan sipil dan membentuk sayap militer. Dewan Imamah dibubarkan, diganti dengan Komandemen Tertinggi, dan Imam Kartosuwiryo disebut panglima tertinggi, membawahkan lima komandan wilayah: tiga di Jawa serta di Sulawesi Selatan dan Aceh.
Adanya perubahan ini memicu konflik antarpemimpin Darul Islam (DI). Daud Beureueh, ulama Aceh yang bergabung dengan DI, pada 1953 membentuk NII Aceh. Ia mulai tidak cocok dengan gaya DI Jawa Barat. Pada akhir 1954, Daud Beureueh menolak mengikuti petunjuk-petunjuk NII pusat karena Kartosuwiryo dianggap gagal mengambil satu kebijakan untuk DI di Aceh. Akhirnya, pada awal 1955, dibentuklah kabinet NII. Kartosuwiryo diangkat sebagai presiden dan Daud Beureueh wakilnya. Pembentukan secara sepihak ini diharapkan bisa memperbaiki hubungan. Namun, gayung tak bersambut. Pada akhir 1955, Aceh dinyatakan sebagai negara bagian NII, Negara Bagian Aceh (NBA). Langkah ini menimbulkan ketegangan. Pemimpin NII Jawa Barat menolak model negara bagian karena NII adalah negara kesatuan yang tunduk pada satu imam.
Tindakan Aceh didukung Abdul Kahar Muzakkar dari Sulawesi Selatan, yang memproklamasikan berdirinya NII Sulawesi Selatan. Kahar bersedia ditunjuk sebagai Wakil Menteri Pertahanan I Kabinet NII bentukan NII Aceh. Dukungan Kahar didasarkan pada keyakinan bahwa NII tidak akan dapat hidup hanya dengan mengandalkan senjata dan kekerasan. Akhirnya, Kahar Muzakkar meninggalkan Kartosuwiryo dan bersama Daud Beureueh bergabung dalam Republik Persatuan Indonesia (RPI) pada 1959. Tujuan RPI, yang merupakan kerja sama PRRI/Permesta dengan NBA/NII yang ditandatangani di Jenewa, adalah menghancurkan Sukarno.
Namun, RPI digempur habis-habisan tentara Indonesia, dan akhirnya tunduk pada 1961. Pemerintah meminta Daud Beureueh kembali ke pangkuan Republik Indonesia, seraya menawarkan provinsi khusus yang bisa menerapkan syariat-syariat Islam. Setelah terjadi tarik-ulur, akhirnya tawaran pemerintah Indonesia diterima Daud, dan Aceh kembali ke pangkuan ibu pertiwi pada Mei 1962. Berakhirnya perjuangan NII Aceh tak mengendurkan perlawanan Kartosuwiryo, bahkan rakyat juga diteror, sampai tentara menangkapnya pada 4 Juni 1962.
Begitu juga di Sulawesi Selatan. Pasukan NII pimpinan Kahar Muzakkar masih bertahan, sampai pada Maret 1965, Kolonel Yogie S. Memet, komandan pasukan Kujang Batalyon 303, menembaknya.
Setelah Kartosuwiryo dihukum mati, praktis gerakan NII kehilangan penopang kuatnya. Bahkan, sebelum tertangkapnya sang Imam, sebenarnya pendukung NII telah mulai meninggalkannya. Mereka tak kuat bertahan dari serangan lapar dan penderitaan akibat operasi pagar betis. Adah Djaelani, murid sang Imam yang menjadi salah satu komandan wilayah di sana, menyerahkan diri pada Mei 1962 di Gunung Cibitung.
NII pecah. Setiap penerus merasa bahwa dirinyalah yang paling sah melanjutkan perjuangan NII. Pada 1963, seusai menjalani hukuman, Abdul Fatah Wirananggapati datang dan mengklaim diri menerima wasiat Imam Kartosuwiryo yang menyebutnya sebagai pengganti—karena, saat ditangkap, kedudukannya adalah Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi. Abdul Fatah berusaha melakukan konsolidasi NII, tapi gagal.
Apalagi, pada zaman Orde Baru, intelijen Opsus di bawah Ali Moertopo masuk ke tubuh NII lewat Danu Muhammad Hassan. Pada 1971, terjadi reuni atas undangan Danu di Bandung. Pertemuan yang berlangsung tiga hari tiga malam itu dihadiri tokoh-tokoh NII, antara lain Hispran, Djaja Sudjadi, dan Kadar Solihat. Dari sana disusun lagi kekuatan NII. Pada 1973, terbentuk susunan komando, dengan Daud Beureueh sebagai pemimpinnya. Akibatnya, NII kembali pecah. Ajengan Masduki keluar karena beranggapan komando tidak bisa dilakukan dengan penetapan seperti itu, lalu lahir NII-Fillah, diikuti beberapa kader NII lainnya.
Perpecahan terus berlangsung. Pada 1975, muncul nama Adah Djaelani dalam susunan struktur. Padahal, Adah pada 1962 dianggap berkhianat karena menyerahkan diri. Pada 1978, terjadi Musyawarah Mahoni, di Tangerang, yang mengangkat Adah Djaelani sebagai imam. Saat itulah Abdul Fatah, yang mengaku memegang amanat Imam Kartosuwiryo, muncul dan menyatakan Adah imam yang tidak sah.
Pada akhir 1970-an hingga akhir 1980-an, pemerintah menuduh para aktivis NII melakukan sejumlah kegiatan makar: dari Peristiwa Cicendo, Gerakan Imron, Peristiwa Tanjungpriok, pengeboman BCA dan Candi Borobudur, Gerakan Teror Warman, Gerakan Usroh Abdullah Sungkar, serta Peristiwa Lampung dan Bima, Nusatenggara Barat. Kalangan Islam menuduh sebaliknya: pemerintah mendalangi peristiwa itu untuk memojokkan gerakan politik mereka.
Pada masa itu, sejumlah tokoh gerakan Islam, dai, dan jemaah pengajian meringkuk dalam penjara atau lari ke luar negeri. NII dan gerakan Islam bergerak di bawah tanah, dari masjid ke masjid, dari musala ke musala, di kampus, sekolah, dan permukiman penduduk.
Belakangan, di masa akhir pemerintahan rezim Orde Baru, Soeharto mencoba merangkul kekuatan Islam. Kebetulan, para aktivis gerakan Islam yang mampu keluar dari tekanan dan belajar di luar negeri kembali ke Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan diakomodasikan dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sikap pemerintah yang terlalu keras kepada umat Islam memang dengan mudah membenihkan "radikalisme" di mana-mana. Namun, sikap keras itu mulai tunduk, apalagi terjadi Islamisasi di kantor-kantor pemerintah, malah ada yang menjadi pendukung Soeharto karena menganggapnya sudah tobat.
Pada era baru Abdurrahman Wahid, cita-cita mendirikan negara Islam mungkin tak pupus sama sekali di kalangan ahli waris gagasan Kartosuwiryo. Mereka menganggap pemerintahan Gus Dur ini sebagai pemerintahan sekuler yang tidak tunduk kepada Alquran dan hadis. Namun, gagasan itu kian kehilangan popularitas, bahkan di kalangan luas masyarakat Islam sendiri.
Ahmad Taufik, Oman S., Darmawan Sepriyossa, dan Hani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini