Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memata-matai Ancaman Tsunami

Ilmuwan Jerman dari berbagai lembaga dan bidang penelitian membuat simulasi apa yang terjadi jika tsunami mengunjungi Padang saat gempa besar yang diramalkan itu benar-benar terjadi. Tidak hanya melihat tinggi air dan wilayah yang bakal terkena, simulasi juga memperkirakan bagaimana perbedaan reaksi warga dilihat dari tingkat sosialnya jika sirene peringatan tsunami berbunyi.

1 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gempa sepekan silam tidak terasa begitu besar di Padang, meski di titik pusat gempa di Kepulauan Mentawai kekuatannya mencapai 7,2 skala Richter. Tak urung sejumlah warga, terutama yang tinggal di pesisir ibu kota Sumatera Barat itu, memilih mengungsi. ”Saya melihat di televisi katanya berpotensi tsunami,” kata Young Ster Twin, salah satu warga yang Senin malam pekan lalu itu mengungsi.

Tsunami setinggi rumah memang terjadi, tapi di pulau terdekat pusat gempa, Pagai Utara, menyapu dan melumat belasan desa. Sampai di Padang, satu jam setelah gempa, gelombang tsunami sempat menyentuh pantai, tapi tingginya hanya beberapa sentimeter. Young Ster dan warga Padang lain saat ini memang bisa menarik napas lega, tapi tidak berarti mereka boleh bersantai-santai.

Gempa itu sebenarnya hanya ”pemanasan”, karena gempa besar di sekitar Mentawai, mungkin sampai 8,8 skala Richter, sudah diperhitungkan akan datang sewaktu-waktu. Jika ini terjadi, Padang menjadi kota paling terancam tsunami.

Sejumlah ilmuwan dari berbagai lembaga di Jerman, di bawah koordinasi Profesor Torsten Schlurmann dari Universitas Leibniz, Hannover, membuat simulasi apa yang akan terjadi di Padang jika gempa besar itu datang dan mengakibatkan tsunami besar. Hasilnya bisa dipakai warga dan pembuat keputusan memilih tempat evakuasi atau tempat perlindungan.

Posisi warga Padang memang rentan. ”Sebagai perkiraan kasar, kurang-lebih 250 ribu penduduk berada di daerah yang berpotensi terkena dampak tsunami,” kata salah satu peneliti, Neysa Jacqueline Setiadi, lulusan Institut Teknologi Bandung dan Universitas Stuttgart, yang sekarang bekerja di Institut Keamanan Lingkungan dan Kemanusiaan Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNU-EHS), Jerman.

Peta simulasi tsunami di Padang yang dibiayai Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman itu juga menemukan warga tak punya banyak waktu untuk menyelamatkan diri jika gempa besar terjadi. ”Jarak Kota Padang dari epicenter gempa (di sekitar Mentawai) yang sempit berakibat gelombang tsunami akan tiba dalam waktu yang singkat,” kata Neysa. Dalam skenario terburuk, warga Padang hanya mendapat waktu setengah jam dari saat gempa terjadi sampai tsunami tiba.

Padang menjadi perhatian utama karena kota terbesar ketiga di Sumatera, dengan penduduk sekitar 900 ribu jiwa, ini adalah kota besar di pinggir pantai terdekat dengan kawasan Mentawai. Kota lain yang mungkin juga terkena dampak tsunami adalah Bengkulu. Tapi posisi Bengkulu lebih bagus, karena lebih tinggi daripada permukaan laut dibanding Padang. ”Padang itu flat (rata),” kata Danny Hilman Natawidjaja, ahli gempa ITB, yang perhitungan posisi gempanya digunakan sebagai dasar pembuatan simulasi tsunami di Padang.

Beberapa kota di Indonesia yang posisinya terancam tsunami dari Samudra Hindia, seperti Cilacap di Jawa Tengah atau Kuta di Bali, sebenarnya juga sudah memiliki peta tsunami. ”Ada beberapa (yang memiliki peta tsunami) tapi tidak sebagus Padang,” kata Danny Hilman. Di dua kota ini petanya baru dibuat satu kelompok. ”Belum konsensus (disepakati semua).”

Dalam laporan yang dirilis awal bulan lalu disebutkan para peneliti membuat konsensus pada 2008—dalam satu lokakarya di Padang—untuk menggunakan model gempa yang menjadi sumber tsunami dari Danny. ”Ini untuk menghasilkan peta banjir dan bencana tsunami yang tepercaya,” tulis laporan ini.

Setelah titik pusat gempa diperhitungkan, soal lain adalah bentuk dasar permukaan laut dan bangunan-bangunan di Padang yang berpengaruh terhadap aliran gelombang tsunami. Tim peneliti dari Jerman itu tahun lalu sudah menghasilkan laporan bagaimana membuat peta topografi Padang yang lengkap.

Foto dari Ikonos—satelit yang menjual foto dari antariksa dengan presisi satu meter untuk hitam-putih dan empat meter berwarna—tidak cukup bagus karena tidak bisa membedakan gedung setinggi lima lantai dengan gedung setinggi lima meter, misalnya. Karena itu, mereka menambahkan data dari kamera multifungsional (MFC). Kamera ini bisa menghasilkan data yang memperlihatkan beda satu gedung dengan gedung lain.

Dalam perhitungan gelombang tsunami, beda gedung itu sangat berpengaruh. Laporan awal bulan ini menyebutkan, jika gedung-gedung itu dimasukkan dalam perhitungan, wilayah yang terendam tsunami mencapai 38,8 kilometer persegi. Adapun jika gedung itu diperhitungkan akan mengganggu aliran air bah, yang terendam jauh berkurang, yakni 24,6 kilometer persegi.

Tim juga menggunakan satu perahu nelayan untuk dipasangi sonar dan digunakan dalam membuat peta kedalaman laut. Peta ini nantinya dimasukkan ke perhitungan untuk memperkirakan datangnya tsunami. Danny mengatakan yang lama dalam proses membuat simulasi seperti ini adalah pengumpulan datanya. ”Kalau proses membuat simulasinya cepat,” katanya.

Simulasi itu tak hanya mencoba menggambarkan bagaimana air bah akan menelan Padang, tapi juga reaksi warga. Apalagi Padang padat penduduknya. ”Kurang-lebih 40 persen penduduk Padang tinggal di daerah kurang dari lima meter di atas permukaan laut,” Neysa menambahkan. Ini membuat evakuasi harus dilakukan cepat dan dalam jumlah besar.

Dalam penelitian itu, Neysa mendapat tanggung jawab mengamati sisi sosial jika tsunami datang. Di wilayah permukiman padat, pada pagi dan sore, para perempuan, orang tua, dan anak-anak berkumpul. Mereka ini bagian paling rentan jika terjadi tsunami. Sebaliknya, yang dianggap paling tidak rentan adalah pria dalam usia produktif dan jumlah mereka berkurang di wilayah permukiman padat pada pagi dan sore hari.

Kelompok masyarakat mana yang paling rentan terhadap bahaya dan kelompok mana yang paling sigap menyelamatkan diri saat sirene tsunami berbunyi juga diperhatikan. Pada 2008, mereka mensurvei penduduk untuk mengetahui hal ini. Ternyata, reaksi warga terhadap peringatan tsunami berbeda jika latar belakang sosialnya juga berbeda. ”Semakin kecil pendapatan rumah tangga,” kata Neysa, ”semakin besar tidak berevakuasi.” Begitu pula dengan jenis kelamin. Perempuan cenderung lebih cepat lari ke tempat aman dibanding pria.

Tidak mengherankan bila warga seperti Young Ster Twin tak langsung mengungsi saat gempa pekan lalu. ”Awalnya saya ingin di rumah saja karena gempanya kecil,” katanya. ”Namun, saat nonton televisi, katanya gempanya berpotensi tsunami, akhirnya saya ikut mengungsi.”

Nur Khoiri, Febrianti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus