Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Arkeolog Bahas Hubungan Candi Muaro Jambi dengan Nalanda di India

Arkeolog menemukan hubungan yang lebih kuat antara candi di Muaro Jambi dan arca-arca di Sumatera, Malaysia, dan India.

28 November 2024 | 14.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Arkeolog menemukan hubungan yang kuat antara candi di Muaro Jambi dan arca di Sumatera, Malaysia, dan India.

  • Arca-arca Sumatera rusak karena dihancurkan di masa Kesultanan Palembang.

  • Sebagian misteri tentang kejayaan Sriwijaya belum terpecahkan.

ARCA perunggu berlapis emas itu rusak. Tingginya sekitar 30 sentimeter dan berdiri dengan gestur tubuh sedikit meliuk seperti huruf S yang condong ke kanan. Arca lain hampir serupa, tapi condong ke kiri. Tiap arca ini seharusnya punya empat tangan, tapi tak lagi komplet. Ada yang tinggal dua, ada yang tersisa tiga. Kedua arca Avalokitesvara ini ditemukan di Desa Rantau Kapas Tuo, Kabupaten Batanghari, Jambi, dan diperkirakan berasal dari abad ke-9 hingga ke-11. Arca sejenis tapi berlengan delapan ditemukan di Sungai Komering, Sumatera Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Naoko Ito, pakar Buddhisme Jawa-Indonesia dan arkeolog dari Hiroshima University, Jepang, memaparkan kajiannya tentang arca tersebut dalam simposium “Avalokitesvara di Sumatra dan Asia Tenggara” di Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2024 pada Kamis, 21 November 2024. Acara yang dibuka oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon ini mengeksplorasi hubungan arca-arca Avalokitesvara di Sumatera, Jawa, dan India.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panitia menganugerahkan penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan 2024 kepada (almarhum) Bambang Budi Utomo, arkeolog yang sangat peduli pada perkembangan ilmu arkeologi tentang Sriwijaya dan jalur perdagangan maritim dalam sejarah di Indonesia.

Dalam acara ini, para sejarawan dan arkeolog juga membahas topik jalur pelayaran dan pelabuhan kuno. Mereka mempresentasikan hasil ekskavasi di situs Bongal dan jaringannya di masa lalu, juga temuan arca dan artefak lain dari Bandar Kota Cina, Medan; temuan dari permukiman Rawa-rawa Masyarakat pesisir Jambi dari abad ke-11 hingga ke-13; kisah tentang bangkai kapal Intan abad ke-10; serta perdagangan antarpulau. Selain itu, topik literasi Sumatera Kuno dan penemuan prasasti baru di Sumatera belakangan ini didiskusikan.

Borobudur Writers and Cultural Festival 2024 menghadirkan sejumlah ceramah; diskusi; panggung sastra yang menampilkan penyair, di antaranya Sutardji Calzoum Bachri; pentas koreografi karya Sardono W. Kusumo; dan acara musik.

Pada 1988, dunia arkeologi kehilangan Satyawati Suleiman, arkeolog perempuan pertama Indonesia. Ilmuwan Universitas Indonesia itu juga arkeolog pertama yang meneliti candi-candi di Sumatera yang dibukukan antara lain dalam Sculptures of Ancient Sumatra (1999). Di buku itu, misalnya, peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tersebut menunjukkan, antara lain, bagaimana arca Buddha di Sri Lanka dibuat dalam “gaya Sailendra”. Wangsa Sailendra berkuasa di Jawa Tengah pada 750-850 sebelum Masehi dan raja-rajanya adalah penganut Buddha Mahayana, meskipun anggota keluarga mereka ada yang menganut Hindu dan bahkan Dapunta Selendra, leluhur mereka, adalah penganut Hindu.

Menurut Satyawati, hal itu terjadi karena para biksu Sri Lanka pernah tinggal di wihara Abhayagiri di Ratu Boko dekat Prambanan, Yogyakarta. Ada kemungkinan, menurut dia, arca di Sri Lanka dibuat mengikuti model arca Jawa pada masa itu. Satyawati mencatat bahwa gaya Sailendra ini ditemukan juga di Jawa, Sumatera (Swarnadwipa), dan Semenanjung Malaka karena ada hubungan sejarah, politik, dan agama selama kekuasaan Sailendra di kawasan itu pada abad ke-9 hingga ke-13.

Pemikiran Satyawati ini diangkat kembali dalam acara BWCF di Kota Jambi dan kompleks Cagar Budaya Nasional Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, selama 19-23 November 2024. Lokakarya para peneliti dan arkeolog ini mengangkat tema “Membaca Ulang Hubungan Muarajambi-Nalanda dan Arca-arca Sumatra”.

Kompleks percandian Muarajambi memiliki luas 3.981 hektare atau delapan kali lipat luas kompleks Candi Borobudur. Ini membuat Muarajambi menjadi percandian Buddha terbesar di Asia Tenggara dan telah diajukan sebagai warisan budaya dunia ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sejak 2009.

Naoko Ito membandingkan arca Sumatera dengan arca sejenis yang ditemukan di Jawa. Menurut dia, ukuran arca di Jawa lebih kecil. Arca yang dibuat oleh artisan Jambi ini, kata dia, boleh dikatakan sangat cantik dan materialnya perunggu berlapis emas. Hanya, sudah terjadi kerusakan. “Bisa jadi ini sebagai tanda puncak kejayaan masa itu,” ujarnya.

Arca Avalokitesvara merupakan perwujudan sifat welas asih Buddha. Ini dicirikan dengan tubuh yang bisa berdiri dan bergestur rileks seperti huruf S, ukurannya proporsional, memiliki banyak hiasan di tubuh, rambut bergelung dan ikal, tidak ada anting tapi telinganya indah, garis mata dan bibir juga jelas, serta terdapat motif singa di bagian kain. Ito melihat ciri-ciri arca dari Sumatera dan Jawa ini serupa dengan yang ia lihat pada arca Avalokitesvara di Nalanda, India. Namun bentuknya berbeda dengan yang di Thailand dan Kamboja.

Ito mengaku hanya menemukan sedikit arca Avalokitesvara di Sumatera dan Jawa di sepanjang kariernya meneliti 1.000 arca perunggu serta 600 ganta dan fajra di berbagai belahan dunia. Menurut dia, beberapa arca lain yang ditemukan di Sumatera berukuran lebih besar dibandingkan dengan yang di Jawa. Arca Avalokitesvara yang ada, kata dia, mungkin mendapat pengaruh besar dari India. Arca di Sumatera diperkirakan merupakan tahap awal perkembangan Buddha Tantra, sama dengan yang di Jawa meskipun ukurannya berbeda. Bentuk beberapa arca mirip dengan yang ditemukan di Semenanjung Melayu.

Arca yang ditunjukkan Ito itu dua contoh arca Sumatera yang rusak, yang diperkirakan karena kesengajaan, meskipun ada juga yang rusak karena faktor alam. Menurut Retno Purwanti, peneliti arkeologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional, arca yang rusak semacam ini banyak ditemukan di Palembang dan Jambi.

Di Palembang juga banyak ditemukan arca perunggu. Retno menjelaskan, beberapa arca perunggu yang ditemukan di sungai dalam kondisi rusak. Selain karena faktor alam, kerusakan terjadi lantaran faktor kesengajaan. Menurut Retno, hal itu terjadi pada masa kesultanan. Dia menemukan adanya perintah pemusnahan patung-patung. “Ada kemungkinan karena kesengajaan. Saya menemukan tulisan tentang perintah itu. Arca kecil banyak dibuang di sungai,” ujarnya.

Dalam penelitiannya, Retno menemukan ada banyak lapisan budaya dalam setiap ekskavasi atau penggalian arkeologis di Palembang. Ia mencontohkan, di kedalaman 1,5-3 meter adalah lapisan masa Sriwijaya dan di atas sekitar 3 meter adalah masa pra-Sriwijaya. Dia menemukan lapisan itu di atas bekas inskripsi, stupa, atau situs yang digunakan kembali untuk masa kesultanan dan kolonial.

Ornamen-ornamen yang ditemukan di sejumlah artefak di Sriwijaya, menurut Gauri Parimoo Krishnan, pemimpin Indian Heritage Centre di Singapura, tak luput dari pengaruh seni yang berasal dari Nalanda. Ia mencontohkan Avalokitesvara yang klasik, elegan, dan dikelilingi banyak elemen yang sangat bergaya dengan arca di Nalanda. Ada pula beberapa arca dengan fitur yang dikelilingi halo atau arca yang menggunakan jubah transparan.

Sofia Sundstrom, cendekiawan independen di Insular Southeast Asia, Stockholm, Swedia, melihat arca Avalokitesvara di Jawa dan Sumatera memiliki sedikit perbedaan tapi banyak persamaan, seperti bentuk yang fleksibel, kulit macan, bentuk gelung dan rambut, serta kain. Selain itu, situs-situs atau candi di Sumatera memang berbeda, baik secara material maupun bentuk. Candi di Sumatera kebanyakan terbuat dari batu bata.

Paparan mereka memberi perspektif yang lebih mendalam tentang hubungan, perkembangan budaya, dan penyebaran Buddha di India, Sumatera, dan Jawa. Pertemuan para pakar di BWCF ini juga membahas interaksi politik, ekonomi, budaya, agama, dan pendidikan masa lampau ketika Nalanda, Muaro Jambi, dan Sriwijaya masih hidup. Pada masa itu, Nalanda dan Muaro Jambi ramai dikunjungi biksu dan cendekiawan dari berbagai negara yang hendak mendalami Buddha.

Azad Hind Gulshan Nanda, peneliti di School of Historical Studies di Nalanda University, India, mengeksplorasi hubungan Nalanda dengan Muaro Jambi dari catatan perjalanan Yi Jing atau I-Tsing (tahun 635-713), biksu Cina, dan Atisha Dipamkara (tahun 982-1054), biksu India, ke Nusantara pada dua masa berbeda. Catatan keduanya menjadi rujukan penting mengenai sejarah Buddha di Indonesia, selain adanya situs dan Prasasti Nalanda yang tersimpan di Kolkata, India.

Nanda menegaskan peran Nalanda dan Muaro Jambi sebagai pusat pembelajaran di era pramodern di Asia serta memiliki peran kunci dalam meluasnya jaringan pertukaran intelektual di Asia, yang menjembatani kawasan Asia Selatan dengan Asia Tenggara. Catatan perjalanan Yi Jing dan Atisha serta ajaran guru-guru utama di Muaro Jambi, seperti Dharmakirti, menegaskan hubungan itu.

Wihara akbar Nalanda, yang dibangun di masa Kemaharajaan Gupta, kata Nanda, diperkirakan berjaya pada abad ke-6 hingga ke-12 sebagai pusat pembelajaran Buddha. Nalanda didatangi banyak pelajar dari Jepang, Korea, Sri Lanka, Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Indonesia. Mereka yang belajar ke sana boleh dikatakan memiliki nilai lebih untuk mendapatkan posisi serta meningkatkan hubungan intelektual, politik, dan ekonomi.

Muaro Jambi kemudian juga dipandang sebagai bagian dari intelektual Nalanda atau mazhab Nalanda. Hal ini diperkuat oleh catatan Atisha, yang tinggal di Sriwijaya dan belajar kepada guru Dharmakirti. Para biksu dan cendekiawan Buddha dunia tidak hanya datang ke Nalanda, tapi juga ke Muaro Jambi.

Untuk mencapai Nalanda, ada beberapa jalur laut dan darat. Yi Jing menempuh jalur laut, yang diperkirakan melalui rute dari Cina, Muaro Jambi, baru ke Nalanda. Sementara itu, jalur darat melalui daerah utara India yang melewati Pegunungan Himalaya. “Tapi itu juga tergantung situasi politik dan ekonomi yang berkembang saat itu,” ujar Nanda.

Banyak biksu yang belajar ke Nalanda atas dukungan dana dari saudagar atau penguasa. Yi Jing, misalnya, disponsori oleh seorang saudagar. Dari Prasasti Nalanda diketahui bahwa Raja Sriwijaya Balaputradewa menyumbang pendirian sebuah wihara untuk mereka yang belajar di Nalanda.

Penjelasan Nanda ini sejalan dengan pandangan So Tju Shinta Lee, arkeolog Universitas Indonesia dan peneliti Buddha, mengenai tiga buku catatan Yi Jing. So Tju menerjemahkan satu dari tiga buku Yi Jing itu dengan anotasi ke dua buku lain. Di situ Yi Jing mencatat kebiasaan, busana, dan tradisi masyarakat di daerah yang ia kunjungi.

Yi Jing memaparkan kondisi Shili Foshi, yang diperkirakan menjadi ibu kota Sriwijaya, sebagai kota yang dikelilingi dinding dengan ribuan biksu yang mempelajari dan mempraktikkan ajaran Buddha. Pelajaran, aturan, dan upacara yang sama juga dipelajari di Madhyadesa, India. Di kota ini, menurut Yi Jing, dua kali setahun tidak ada bayangan pada tengah hari.

Berdasarkan bukti arkeologis, diduga kuat lokasi yang digambarkan Yi Jing adalah candi di Muaro Jambi. Tapi tidak diketahui kapan pusat pembelajaran ini berdiri. Yang pasti, ketika Yi Jing datang ke sana pada abad ke-7, kegiatan pembelajaran itu sudah berjalan. Pusat pembelajaran di Shili Foshi ini mengindikasikan hal serupa dengan universitas di Nalanda. Jika hendak belajar di Nalanda, para biksu lebih baik tinggal satu-dua tahun dulu di Shili Foshi.

Saat Yi Jing belajar ke Nalanda, ada 3.000-3.500 murid dengan 1.500 pengajar dengan pembelajaran agama dan topik-topik sekuler serta kegiatan yang padat dari siang hingga malam dengan diskusi, debat, kontemplasi, dan semadi. Sementara itu, Atisha belajar dan tinggal selama 12 tahun di Swarnadwipa dan menerjemahkan ajaran Dharmakirti, mahaguru Buddha terkenal pada masanya, ke bahasa Tibet. Dharmakirti menulis Durbodhaloka, yang berarti pencerahan atas pokok-pokok yang sukar, dalam bahasa Sanskerta atas permintaan Raja Sriwijaya Cudamani Warmadewa. Dari tinggalan candi di Muaro Jambi, prasasti Nalanda, dan catatan biksu, terlihat adanya pusat pembelajaran yang berdiri di Sriwijaya setidaknya selama empat abad, dari kedatangan Yi Jing hingga kembalinya Atisha.

Ekskavasi yang dilakukan Nasha bin Rodziadi Khaw, arkeolog di Universiti Sains Malaysia, menemukan situs di Bukit Choras, Lembah Bujang, Kota Sarang Semut, Kedah, Malaysia. Dia menemukan dua gundukan dan salah satunya diekskavasi menjadi candi berbahan bata. Di situs itu ia menemukan struktur dan arca Buddha dalam posisi duduk. Ada satu arca utuh dan dua arca tidak utuh di bilik candi. Di dekat situs itu, Nasha menemukan beberapa prasasti dengan huruf yang telah berevolusi serta pecahan gerabah, keramik, dan logam.

Lapisan tanah yang diekskavasi beragam dan diperkirakan dari abad ke-9 hingga ke-12. “Jadi cocok juga dengan konteks,” kata Nasha.

Nasha menambahkan, di Semenanjung Melayu juga ditemukan sejumlah situs dan arca, yang banyak rusak, tapi tanpa konteks. Tak jelas asal, waktu, dan catatan atau keterangan saat ditemukan. Selain itu, di Semenanjung Melayu ditemukan situs-situs dengan fungsi masing-masing sebagai kota dagang dan kota produksi.

Marijke J. Klokke, sejarawan Asia Tenggara di Universiteit Leiden, Belanda, menyimpulkan adanya hubungan sejarah antara Jawa, Kamboja, dan India (Pala dan Chola), dan mungkin Sri Lanka. Menurut dia, patung dengan gaya Sailendra tersebar luas di Indonesia, Semenanjung Malaysia, dan Sri Lanka karena adanya hubungan sejarah, politik, dan agama selama pemerintahan Wangsa Sailendra di Jawa, Sumatera, dan Semenanjung Malaysia selama abad ke-9 hingga ke-13.

Sementara itu, menurut Klokke, jalur maritim pada abad ke-2 hingga ke-9 memperlihatkan bahwa Selat Malaka bukan jalur utama. Yang utama justru jalur Selat Sunda melalui pantai barat Sumatera. Rute tertua antara Cina dan India adalah dari Cina menuju Semenanjung Malaka, lalu melalui darat ke pantai barat Sumatera dan terus ke India. Sejak abad ke-5, rute berubah melalui Selat Sunda ke pantai barat Sumatera. Yi Jing mencatat bahwa perjalanan dari Sriwijaya ke daerah Melayu butuh waktu 15 hari. Ini menunjukkan posisi Sriwijaya berada jauh di selatan Malaka.

Hal ini kemudian mempengaruhi budaya dan artefak di Semenanjung Malaka. Klokke mencontohkan arca Hindu Wisnu dan lainnya dari Kota Kapur, Bangka, yang menggunakan mahkota berbentuk silinder. Penyebaran arca bermahkota silindris dianggap sebagai yang pertama di Asia Tenggara.

Ada pula arca Buddha dari Bukit Siguntang, Palembang, yang hampir setinggi orang dewasa. Arca ini disebut mirip dengan arca Buddha di Nalanda dari abad ke-10 dan ke-11.

Menurut Klokke, pengaruh Sriwijaya lebih banyak mengarah ke selatan Bangka dan Selat Sunda, bukan ke arah Selat Malaka. Ia mengatakan gaya ornamen Candi Simangambat di Mandailing Natal, Sumatera Utara, mirip dengan gaya Candi Plaosan di Klaten, Jawa Tengah, warisan Dinasti Sailendra pada abad ke-9 di zaman Mataram Kuno.

Klokke menyimpulkan beberapa hal yang sering terlewatkan dari gambaran baru Sriwijaya belakangan ini, yakni mengenai dinamika jalur pelayaran. Kedinamisan jalur maritim inilah, menurut dia, yang melatarbelakangi penyebaran tinggalan seni yang cukup pesat.

Dian Yuliastuti

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus