Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Membangunkan arajang

Rekonstruksi upacara palili, upacara yang menandai dimulainya musim tanam di segeri, pangkep.

16 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Upacara palili diselenggarakan ketika musim barat tiba. Puang Matowa telah menentukan harinya, pada malam kesembilan terbitnya bulan hingga malam kesembilan sebelum tenggelamnya bulan. Dalam waktu sekitar tujuh hari itu para bissu memainkan berbagai kegiatan. Mula-mula untuk upacara matteddu arajang atau membangunkan alat-alat kerajaan yang dikeramatkan, antara lain bajak. Arajang perlu dibangunkan dulu, karena menurut kepercayaan adat, setahun sebelumnya ia tidur. Selama tiga hari tiga malam para bissu tak memicingkan mata. Setiap tengah hari dan sore hari, sekitar 40 orang berjejer menghadap ke arajang. Dipimpin puang matowa mereka melagukan nyanyian suci Pattedu Arajang. Mula-mula puang matowa menyanyi: Tedduka denra maningo Gojengnga denra malettung Malettung rialle Luwu Maningo riwatang Pare (Bangunkan mereka yang tidur Kubuai mereka yang rebah Rebah di Tanah Luwu Tidur di negeri kelahiran) Para bissu menyambutnya dengan koor: Tokkokko mutulle-tulle Mutulle-tulle tinaju Kusisaeng-saeng kenang nucilafo (Bangunlah menampakkan wajah Nampakkan muka berseri Menari-nari bersama kami) Koor itu masih panjang. Sesudah itu, puang matowa menyanyi solo sebagai penutup. Dan arajang pun diyakini telah bangun. Puang matowa mencabut pedangnya, diikuti kepala kampung setempat dengan raut muka menyeramkan. Puang matowa melantunkan tembang lagi: Ooo... rue' essoe Takanoe belanaoi jowe Rincung-rincungi langii jowe Nalusekiye Batara Sialae pada baiseng Makkatu pada walanna Ooo . . . rue'essoe (Oh ... Dewa Keindahan bahasaku dalam janji Menjulang-julang ke langit janjiku Didampingi biasan pelangi Yang mertua damai sama mertua Sealir dalam aliran sungai damai Oh ... Dewa) Nyanyian itu ia ulang sampai tiga kali. Esoknya, arajang diturunkan dari tempatnya bergantung, lalu diusung ke balai depan. Perkakas kerajaan itu diselubungi kain putih dan dialasi gedebok pisang. Petani, pedagang, dan masyarakat lainnya sudah memenuhi ruangan rumah panggung itu. Mereka ingin turut memandikan benda-benda keramat itu, supaya mendapatkan berkahnya. Sementara itu puang matowa dan anak buahnya pergi mengambil air ke sungai. Bunyi-bunyian gendang, becing, lea-lea, pui-pui, semarak mengiringi mereka. Kembali ke rumah arajang, air diletakkan di dekat kepala dan kaki arajang. Perlahan kain kafan disibak. Mula-mula puang matowa mengucurkan airnya, lalu beramai-ramai masyarakat memandikan arajang itu, sampai mereka turut kuyup. Banyak juga yang menadahi cucuran air yang mengalir, yang mereka percayai punya khasiat. Mereka pun berebut mendapatkan air cucuran itu, biarpun harus berdesakan dan kecipratan air. Selesai itu, arajang dibungkus kembali dengan daun pisang. Puang matowa bersama rombongannya pergi mengambil lau lalle, yakni batang pisang lengkap berdaun yang digantungi buah nangka ranum, dua butir kelapa, dan lainnya, yang disimbolkan sebagai saudara tertua arajang. Lau lalle yang diibaratkan orang tua yang tengah sekarat itu disandingkan dekat arajang. Puang matowa bersama ke- 40 bissu-nya menyanyi untuk mengantar lau lalle, agar nyawanya keluar dengan mulus tanpa merasa tersiksa. Maka, berdirilah puang matowa. Sekejap ia mencabut pedangnya, dan ''crak'', lau lalle ia tebang sekali ayun. Keesokan harinya, orang-orang berangkat ke sungai mengambil air, sembari diiringi musik. Mereka membawa dua piring sirih, dua piring telur, dua piring pisang, beras empat warna (hitam, merah, putih, kuning). Sesampai di sungai, sembari menginjakkan kaki kanannya ke sungai, Puang Matowa membagi-bagi sajen tadi sepiring-sepiring, lalu ia masukkan ke dalam buli-buli. Musik riuh bagai tiada hentinya. Hari berikutnya, pagi-pagi sekali arajang diusung ke sawah kerajaan dengan perangkat kebesaraan seperti payung bernama Bessi Banranga dan bendera empat warna. Puang lolo, wakil puang matowa, mengiringinya dengan mantera-mantera. Selubung arajang dibuka, maka orang pun beramai-ramai sambil bersorak-sorak mengusungnya ke sawah. Arajang dihadapkan ke timur. Kemudian puang lolo meminyaki arajang. Ia menyembelih seekor ayam, dan darahnya pun dibasuhkan pada tiga tempat itu. Mantera diucapkan. Dan mulailah para bissu menarikan maggirik, menusuk-nusuk tubuh dengan keris. Rampung keramaian di sawah, arajang dimandikan di sungai, lalu dibawa ke pasar. Di tempat yang penuh manusia itu para bissu menari lagi sembari maggirik, diiringi bunyi-bunyian yang menggaung-gaung. Selesai di pasar, arajang diusung lagi, kini kembali ke rumah arajang. Di sepanjang jalan penduduk sudah menyiapkan air. Ketika rombongan pembawa arajang lewat, ''byur ... byur ...,'' terjadilah siram-siraman air. Upacara berakhir di rumah arajang. Arajang dibungkus kembali dan digantung di tempat semula. Bissu-bissu terus mengiringinya dengan ber-maggirik. Itulah prosesi panjang yang mengawali musim tanam di Kerajaan Bugis dahulu kala. Upacara seperti itu kini tak semeriah dan selengkap dulu. Makin menguatnya nilai-nilai agama (Islam) di kawasan ini dan beralihnya pemerintahan ke republik makin mendesak keberadaan bissu berikut tradisinya. ATG

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus