BISSU tua itu sudah lumpuh. Untunglah ada seorang perempuan, cucu adiknya, yang mau menemaninya pada usianya yang uzur. Perempuan itulah, janda tanpa anak, yang menanak nasi, membersihkan rumah, dan membantu keperluan sehari-hari puang-nya tersebut. Kelihatannya bissu tua yang tidak tahu berapa umurnya itu tak lagi sakti. Tapi ia tetap mengesankan sebagai orang yang pantas dihormati. Sorot matanya lembut, tenang, dan tutur katanya halus tapi tegas. Orang tua yang selalu mengenakan sarung dan bersongkok dengan baju model perempuan itulah sesepuh para bissu di tanah Bugis. Di kampungnya, Lepangeng, Kabupaten Pangkep, ia dikenal dengan julukan Puang Towa Haji. Ia memang telah naik haji. ''Saya naik haji 13 tahun lalu, setelah menjual emas milik saya,'' katanya. Nama lengkapnya Haji Puang Towa Lepangeng, juga dikenal sebagai Sanro Sekke (sanro artinya dukun). Setiap harinya tak kurang dari 15 orang yang menemui Puang Towa Haji dengan berbagai keperluan. Dari menanyakan soal jodoh, mencari hari baik untuk suatu hajatan, sampai minta pelaris. Di dinding rumah panggungnya yang sederhana tergantung rumusan- rumusan nujum bertulisan huruf Arab dan Lontara. Mungkin Puang Towa Haji inilah yang masih menyimpan kitab ilmu bissu yang asli. Kitab yang terdiri dari beberapa lembar kertas tua dan lusuh, yang pinggir-pinggirnya sudah koyak itu sumber semua ilmu bissu berikut mantera-manteranya. ''Kitab ini dibuat oleh leluhur para bissu, La Siapa Senna,'' katanya. ''Untuk menjadi puang matowa, harus hafal betul isi kitab ini.'' Entah kenapa ia belum mau menyerahkan wasiat itu kepada bissu lainnya. Kalau ada bissu yang berguru kepadanya, ia hanya memberikannya secara lisan. Kitab yang memuat mantera-mantera pun tak pernah ia tunjukkan kepada bissu lain. ''Saya kan hafal di luar kepala. Jadi, biarlah saya ajarkan secara lisan saja,'' katanya. Ilmu perdukunan dan ilmu bissu, menurut Puang Towa Haji, ia dapatkan dari Sanro Barisi yang bergelar Puang Matowa Ariolo. Dari sang guru ia mendapatkan ilmu menari, baca tulis, dan semua ilmu bissu, seperti ilmu menghormati arajang, mencari hari baik, dan sebagainya. Murid Puang Matowa Ariolo ini semuanya enam orang. ''Ternyata sayalah yang dipilihnya untuk menggantikannya sebagai puang matowa,'' katanya. Puang Towa Haji ini memang bekas puang matowa di rumah arajang Segeri. Katanya, ia menjadi imam para bissu pada zaman NICA, dilantik oleh penguasa Kerajaan Segeri Andi Towo yang bergelar Petatoa Karaeng Segeri. Sepulang dari haji pun, jabatan itu masih disandangnya. Tapi, sejak tujuh tahun lalu, ia terpaksa melepaskan jabatan puang matowa. Gara-garanya, suatu hari ia terjatuh dari tangga di rumahnya, lalu kakinya pun menjadi kaku dan lumpuh. Kursi puang matowa ia serahkan kepada Barlian. ''Ia memang anak didik yang saya persiapkan menggantikan saya,'' ujarnya. Sayang, Puang Matowa Barlian ini rupanya sakit-sakitan. Setelah terbaring selama setahun, Barlian pun meninggal lima bulan lalu. Jabatan puang matowa kosong hingga sekarang. Padahal, ada seorang bissu yang kini dianggap paling senior: Puang Lolo Daeng Baji. Tapi banyak bissu yang tak setuju kalau Daeng Baji naik pangkat menjadi puang matowa, termasuk Puang Towa Haji. ''Baji itu orangnya sombong, terlalu banyak bicara. Padahal, ilmunya tak seberapa,'' kata Puang Towa Haji. Daeng Baji sendiri, umurnya 70-an tahun, sadar bahwa jabatannya mentok sebagai wakil alias puang lolo. Meskipun setelah Puang Matowa Barlian meninggal, Daeng Bajilah yang menjalankan tugas sehari-hari sebagai imam. Ia tahu, bissu-bissu senior termasuk Puang Towa Haji tak suka padanya. Makanya ia pun tak pernah lagi berkunjung ke rumah kediaman Puang Towa Haji. Ia sudah puas dengan apa yang dimiliknya sekarang. ''Yang penting, saya selalu menjadi pusat perhatian kalau ada upacara,'' katanya. Itu benar. Bissu yang berkepala botak itu boleh dibilang paling piawai dalam soal menari. Tubuhnya kecil dan agak bungkuk, tapi geraknya masih lincah. Bila dalam suatu upacara bissu melibatkan Daeng Baji, ia bisa tampil paling dominan, dan sering menjadi puncak acara. Ada ciri khasnya yang membuat namanya terkenal: sewaktu menari ia suka mengungkat-ungkit dan mengkilik-kilikkan keris di lubang telinganya. Itulah ilmu yang katanya didapat dari gurunya, Puang Kuru Tanete alias Sanro Pamula, yang meninggal sebelas tahun silam. Makanya Daeng Baji termasuk bissu yang laris. ''Saya senang sekali bila diundang menari. Bisa naik mobil bagus. Dan di jalan- jalan orang memberi hormat,'' ujarnya. Sering, katanya, gara -gara banyaknya panggilan, ia tak sempat mandi, dan langsung main. ''Kadang jengkel juga, tapi senang,'' ia tersenyum. Baji kini tinggal bersama seorang ''cucu''-nya, seorang pemuda 20-an tahun, di rumahnya yang reot di Kampung Mangkacak, Segeri, Pangkep. Ia memang bisa dibilang miskin. ''Saya tak punya pekerjaan,'' tuturnya. ''Cucu''-nya yang bernama Bahri itulah yang bekerja menghidupi mereka berdua, menjadi buruh tani. Sebagai puang lolo, Daeng Baji mendapat sawah garapan sekitar satu hektare. Tapi, beberapa tahun lalu, sawah itu dijual oleh Puang Towa Haji. Kabarnya, dia akan memperoleh gantinya. Tapi sampai sekarang ia tak juga diberi sawah garapan yang baru. ''Saya agak jengkel juga. Tapi saya tak bakal menuntut beliau,''ujarnya. Untungnya, masyarakat sekitar tempat tinggalnya masih menghormatinya sebagai bissu. Tiap kali panen, masyarakat senantiasa memberikan sebagian hasil panenan terbaik mereka kepadanya. Walau tentunya tak bisa dibandingkan dengan zaman dulu, sebelum zaman republik. ''Dulu ada 30 kerajaan kecil di wilayah Segeri yang selalu rajin memberikan sebagian hasil panen kepada para bissu,'' ceritanya. Daeng Baji menjadi bissu gara-gara sering bermain ke rumah arajang, tempat penyimpanan pusaka kerajaan, di Segeri. Sulung dari sembilan bersaudara ini bisa menemukan keasyikan dunianya setelah bergaul dengan orang-orang senasib. ''Sewaktu masih muda, saya ini cantik sekali. Rambut saya panjang tergerai sampai pantat. Kulit saya halus. Hampir tak ada yang mengira saya calabai,'' tuturnya. Ia lalu dikenal oleh Puang Matowa Ariolo, yang bahkan lalu diminta membantu membersihkan rumah arajang, dan rumah puang matowa itu. Lima tahun kemudian, ia ditahbiskan menjadi bissu. Selama lima hari lima malam, Baji ditidurkan mirip orang mati, disangga batang pisang empat lapis. Tubuhnya dimandikan, diurut- urut, dan dikafani. Setelah bangun, jadilah ia bissu. ''Semenjak memutuskan untuk menjadi bissu, betul-betul cuma kepada para dewalah hidup saya tertuju,'' katanya. Bukan berarti ia menolak hasrat birahi. Cuma, berlainan dengan banci biasa, seorang bissu harus pandai-pandai meredam nafsu. ''Saya heran, banci-banci sekarang ini cuma birahi yang dicarinya. Sampai-sampai ada yang membeli pemuda untuk mencari pemuasan nafsu,'' katanya. Adapun yang sehari-hari menjaga rumah arajang adalah Jenang (sekretaris) La Masse, yang orangnya pendiam. Mase tinggal di rumahnya yang kecil, lusuh, dan tampak agak miring, di seberang rumah arajang Segeri, Pangkep. Sebagai jenang, dialah yang bertugas menjaga rumah adat yang berisi alat-alat upacara itu. Sewaktu mendiang Puang Matowa Bralian masih ada, mereka berdua yang menjaga dan merawat rumah arajang. ''Dulunya saya tinggal di rumah arajang itu. Tapi beberapa tahun lalu saya dibelikan rumah oleh pemerintah di sini, maka saya pun tinggal di sini,'' tutur Mase. Tak ada kegiatan di luar urusan bissu yang dikerjakan Mase. Ia juga tak menjadi perias pengantin seperti halnya bissu lainnya. ''Saya kan sudah dibayar pemerintah, yakni dari hasil sawah jenang yang luasnya sepertiga hektare,'' ujarnya. Kalau ada yang memanggil para bissu untuk suatu upacara, Mase inilah yang menjadi koordinatornya. Setelah menerima uang transpor, ia akan mengumpulkan para bissu di rumah arajang, lalu mereka bersama-sama berangkat ke tempat si pengundang. ''Biasanya seorang bissu mendapat uang saku Rp 25.000 sekali main,'' ujarnya. ''Besar uang saku itu sama, baik untuk bissu maupun tukang gendangnya.'' Tentu saja, pada zaman musik rock ini panggilan itu tak tentu datangnya. Untung masih ada Haji Zaenuddin, bekas bissu yang menjadi pengusaha di Parepare, yang masih menaruh perhatian pada para bissu. Misalnya, sewaktu wali kota Parepare menyambut tamu agung dari Johor, Haji Zaenuddin dihubungi untuk mengadakan pertunjukan tari bissu. Jenang Mase asli dari Mandale, Pangkep. Sejak kecil, anak nomor tujuh dari 12 bersaudara ini sudah kepingin menjadi bissu. Orang tuanya -- guru madrasah -- marah besar. Tapi ia nekat, minggat dari keluarganya. ''Biar mau dibunuh sekalipun, seorang calon bissu tetap memilih jadi bissu. Bissu itu tak bakalan berubah. Seandainya orang yang dibunuh bisa hidup lagi, bissu yang dibunuh itu sesudah hidup tetap menjadi bissu,'' ujarnya. Mula-mula ia menjadi perias pengantin (induk boting), pada usia 15 tahun. Sampai ketika puang matowa waktu itu, Puang Matowa Ariolo, memanggil Mase agar berhenti menjadi induk boting dan hidup sebagai bissu saja. Itulah saat yang ia tunggu-tunggu. ''Saya dimandikan dan dikafani seperti orang mati, selama tiga hari tiga malam. Begitu bangun, saya tiba-tiba langsung berdiri dan menyanyikan lagu dewata. Sesudah itu, maggirik,'' Mase mengenang. Untunglah, hubungan Mase dengan orang tuanya belakangan membaik. ''Saya kadang kala menengok mereka di Mandale,'' katanya. Begitupun keluarganya, kadang membesuk Mase yang sendirian tinggal di Segeri. Kini Mase mengelola tujuh orang bissu yang masih tersisa di wilayah Pangkep. Ia prihatin, sulit sekali mencari penerus bissu. ''Banyak banci di Pangkep ini, tapi kebanyakan mereka memilih jadi induk boting. Tidak tahu kenapa. Mungkin pada takut. Soalnya, untuk jadi bissu kan tidak sembarangan. Belajar macam- macam, menari, banyak baca-bacanya,'' ujar Mase. Menurut Haji Zaenuddin, 67 tahun, menjadi bissu adalah sudah suratan takdir. Ia mengambil contoh dirinya sendiri. ''Saya pernah sekolah di zaman Belanda, sampai tamat HIS. Lalu saya bekerja di kejaksaan. Tapi saya tetap memilih jadi bissu. Saya sudah pergi haji 14 kali, dan berumrah sampai 12 kali. Tapi saya tetap seorang bissu,'' tuturnya. Sejak kecil, Zaenuddin sudah merasa bakal jadi bissu. ''Mulai saya jadi manusia, saya memang sudah begini,'' katanya. Ia rajin bertandang ke Istana Soppeng, waktu itu ia baru 9 tahun, dan kebetulan ia memang keluarga istana itu. Ia suka berkumpul dengan para bissu Istana Sopeng. Orang tuanya marah sekali. ''Sampai saya dibujuk untuk kawin, disodori harta, tapi saya bilang, ambil sajalah, saya tak mau. Makanya sampai umur 68 tahun ini saya tak pernah kawin, dan tetap jadi bissu,'' ia tertawa. Kalau melihat sekilas penampilannya, orang bakal tak menyangka Zaenuddin adalah bissu. Di kepalanya selalu bertengger songkok haji. Bajunya yang resik berwarna putih tipis hingga tembus ke singlet. Sehari-hari ia mengenakan sarung. Tapi coba amati matanya. Ada goresan celak hitam. Perhatikan juga lipatan kain sarungnya, yang lebih mirip lipatan kain panjang yang biasanya dipakai oleh wanita. Haji Zaenuddin, 67 tahun, barangkali bissu terkaya saat ini. Ia punya sebuah hotel yang ia bangun di tahun 1970, Hotel Gandaria, yang termasuk lumayan untuk Parepare. Masih di bidang penginapan, ia kini sedang membangun vila di tanah seluas 1 hektare. Ia juga punya usaha rias pengantin, perkebunan, juga perusahaan kayu. Kini ia sedang menjajaki ekspor tegel kayu ke Italia. Haji Zaenuddin yang punya beberapa anak asuh ini cukup terpandang di Parepare, sering dikenal sebagai Haji Gandaria. Tapi jangan coba- coba memanggilnya Haji Gandaria. Ia bakal tersinggung: itu nama hotel, bukan nama dia. Ia tak akan menjawab panggilan itu. Haji Zaenuddin inilah yang paling sering menggelar upacara bissu. Asal ada yang mau menyediakan dana minimal Rp 700.000, Haji Zaenuddin bisa menyiapkan atraksi yang langka itu selama tiga hari tiga malam. ''Saya punya peralatan lengkap. Keris macam apa saja, gong apa saja, pakaian, semua asli. Pilih yang serba emas juga ada,'' ujarnya setengah promosi. Untuk tempat upacara, tak ada masalah. Ia cukup akrab dengan pemerintah setempat. Jadi, sewaktu-waktu ia bisa menggunakan jalan raya di muka hotelnya sebagai ajang upacara. Beberapa bulan lalu ia menggelar upacara besar-besaran menyambut para tamu dari Eropa, yang katanya mereka itu para kepala museum. Haji Zaenuddin mengumpulkan iring-iringan sebanyak 170 orang dengan sembilan bissu yang ber-maggirik. Tapi Haji Zaenuddin pun menyadari, kelompok bissu makin lemah kekuatan dan perananannya dalam masyarakat Bugis-Makassar. Para bissu sendiri pun kini tinggal memencar, dan memburu kehidupan sehari-hari masing-masing. Ada juga bissu yang kini tak mau tampil lagi. ''Bissu itu dulunya naik pentas hanya atas perintah raja dan puang matowa. Sebab, tari-tarian itu sakral, hanya untuk upacara keagamaan, tak bisa dimainkan sembarangan,'' kata Iparengnga Daeng Tekne, bissu yang tak mau tampil itu. Iparengnga Daeng Tekne adalah sisa-sisa bissu dari Kerajaan Gowa. Ia tampak kecewa berat ketika bekas kerajaan yang berubah menjadi Kabupaten Gowa itu tak lagi memperhatikan nasib para bissu. Maka, bissu-bissu di bekas istana itu pun pada bubar. Mereka mencari mata pencaharian sendiri-sendiri. Umumnya menjadi perias pengantin (berikut jadi dukun pengantin), termasuk halnya Iparengnga. Bekas penari kerajaan itu kini tinggal di perkampungan kumuh di Jalan Andi Tonro, Ujungpandang. Rumahnya yang mungil penuh dengan barang tradisional. Ada lemari kayu kuno yang penuh berisi peralatan pengantin. Tampak seonggok ranjang antik yang berkelambu sutera warna-warni. Ada juga televisi berwarna dan seperangkat audio. Semua itu dibelinya dari imbalan merias pengantin. Kalau lagi musim, sebulan bisa 4-5 kali ada panggilan, dengan tarif Rp 400.000. Untuk soal ini, ia dibantu seorang asisten, Nurdin Daeng Ngai, juga seorang bissu. Menurut Iparengnga, meski tak menjalankan upacara bissu lagi, ia masih punya ilmu bissu. Misalnya, ia sanggup membuat pengantin semalaman bisa menahan kentut, kencing, berak, rasa haus, lapar, ataupun keinginan meludah. ''Saya juga punya ilmu yang bisa melumpuhkan pencuri. Umpamanya dia buka pintu, dia akan kaku dengan tetap memegang kunci,'' kata Iparengnga. Mungkin tradisi bissu memang harus menyingkir. Tapi bisakah ilmu bissu dilestarikan? Siapa tahu banyak manfaatnya. ATG
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini