Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Biang Kerok Pajak Sawit

Realisasi penerimaan pajak dari sektor usaha sawit tak optimal. Buah tata kelola industri sawit yang buruk dan kapasitas otoritas yang lemah. 

16 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK semua ambruk selama pagebluk. Khusus dalam hal sawit, wabah Covid-19 menjadi berkah. Sejak Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan pandemi pada Maret 2020, hingga saat ini, harga minyak sawit mentah (CPO) terus melonjak. Per Senin, 11 Oktober 2021, angkanya telah mencapai US$ 1.375 per ton, tertinggi sepanjang sejarah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenaikan harga ini dipicu meningkatnya permintaan global terhadap minyak sawit. Pasokan minyak nabati lain, seperti minyak kedelai, minyak rapa, dan minyak bunga matahari, sedang seret di pasar global. Hukum ekonomi berlaku: pasokan yang langka mendongkrak harga minyak nabati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berkahnya sampai ke hulu industri. Harga tandan buah segar melejit. Di Riau, provinsi dengan kebun sawit terluas di Indonesia, harga tandan dari tanaman berumur 10-20 tahun juga mencetak rekor, tembus Rp 3.000 per kilogram. Saat ini adalah masa paling manis bagi pemilik kebun, apalagi yang bisnisnya terintegrasi dengan pengolahan dan perdagangan CPO.

Tapi kenaikan harga tersebut belum tentu menjadi berkah juga bagi penerimaan pajak. Asumsi bahwa pertumbuhan sektor usaha secara agregat akan memompa penerimaan pajak tidak berlaku di industri ini. Tak lazim memang, tapi itulah faktanya. Pemerintah sukses besar membawa negara ini menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia, tapi gagal mengoptimalkan potensinya untuk menambah penerimaan negara.

Pada 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menyoroti paradoks itu. Penyebab utamanya juga sudah lama diketahui: tata kelola sawit nasional amburadul. Penerimaan negara hanya satu dari sederet korban sengkarut ini. Di deretan itu juga ada hutan dan masyarakat adat yang sedekade terakhir diterabas ekspansi sawit besar-besaran.  

Biang masalah rendahnya penerimaan pajak sawit bermula dari hulu industri. Data produksi, dari tandan buah segar hingga minyak sawit, tak pernah akur. Data pemerintah tentang luas tutupan sawit di Indonesia juga berbeda-beda. Kementerian Pertanian, lewat Keputusan Menteri Nomor 833/KPTS/SR.020/2019, menetapkan luas tutupan sawit Indonesia pada 2019 mencapai 16,38 juta hektare. Sedangkan Badan Pusat Statistik mencatat, hingga 2020, luas kebun sawit hanya 14,85 juta hektare.

Di sisi lain, sistem perizinan perkebunan sawit tak terintegrasi, tak akuntabel, dan tak transparan. Sampai saat ini, jangankan publik, otoritas pajak tak mengetahui pasti berapa banyak izin perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan pelaku usahanya.

Di tengah bisnis besar yang serba gelap itu, tingkat kepatuhan pemilik kebun dalam melaporkan dengan benar dan lengkap kegiatan usahanya kepada kantor pajak ditengarai amat rendah. Di Riau, kantor pajak hanya punya laporan kebun sawit seluas kurang dari 1,2 juta hektare sebagai basis pajak terutang. Padahal luas tutupan sawit di provinsi itu ditaksir mencapai 3,28 juta hektare.

Buruknya data basis pajak di hulu industri tak hanya berimbas pada realisasi pajak bumi dan bangunan perkebunan sawit yang rendah, tapi juga pos penerimaan pajak lain yang berhubungan dengan seluruh proses bisnis industri sawit. Pendek kata, jika hulunya berantakan, hilirnya bakal ruwet. Walhasil, kebenaran angka transaksi dalam pengolahan dan perdagangan produk minyak sawit, juga keuntungan pelaku usaha yang dilaporkan ke kantor pajak selama ini, menjadi amat pantas diragukan.

Pembenahan tata kelola industri sawit mutlak diperlukan untuk mengakhiri sengkarut pajak sawit. Buruknya tata kelola selama ini telah menyebabkan kendali ekonomi di sektor tersebut justru dikuasai oleh pelaku pasar. Industri sawit, kita tahu, dikendalikan oleh segelintir pemodal besar. Mereka adalah raksasa bisnis sawit yang menguasai seluruh rantai bisnis dari kebun, pabrik, kilang, hingga dermaga ekspor minyak sawit dan turunannya.

Sebenarnya inilah yang lebih mengancam bagi penerimaan pajak. Struktur pasar oligopoli dan industri yang terintegrasi dari hulu ke hilir memudahkan raksasa-raksasa sawit itu melakukan praktik-praktik penghindaran pajak yang lebih tak kasatmata. Mereka mungkin saja terlihat patuh melaporkan kegiatan usaha kepada kantor pajak, tapi isinya telah dirancang sedemikian rupa agar nilai kewajiban pajak rendah. Bahkan bisa juga mereka tak perlu membayar pajak.

Skemanya dikenal sebagai transfer harga (transfer pricing) atau pengalihan keuntungan (profit shifting). Meski tak bisa serta-merta dianggap sebagai pelanggaran, metode penghindaran pajak ini menjadi momok yang tengah diperangi banyak negara. Bahaya transfer pricing dipercaya lebih besar lantaran tak hanya menggerus potensi penerimaan negara, tapi juga mencederai keadilan ekonomi antarnegara. 

Indikasi praktik transfer pricing marak di industri sawit Indonesia bisa dibaca dengan mudah. Lihat saja grup-grup sawit yang kebanyakan membangun induk usaha baru, atau perusahaan patungan, dengan nama yang mirip baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti di Singapura dan negara surga pajak lain. Skema penghindaran pajak ini membutuhkan rantai transaksi yang panjang antar-perusahaan terafiliasi. 

Biasanya, perusahaan-perusahaan itu hanya menjadi kendaraan untuk melakukan transaksi-transaksi bayangan (shadow trading). Dalam praktiknya, skema ini akan mengurangi harga penjualan dalam transaksi afiliasi, menambahkan biaya produksi atau pemasaran, hingga beban pendanaan. Semuanya dilakukan demi mengurangi keuntungan unit bisnis di Indonesia sehingga terhindar dari kewajiban perpajakan. Sedangkan keuntungan terbesarnya akan dipanen di negara lain yang menawarkan tarif pajak lebih rendah.

Persoalan di hulu hingga hilir industri sawit itu berkelindan, menyebabkan penerimaan pajak di sektor tersebut terus menurun. Walau begitu, harus diakui, rumitnya sistem administrasi perpajakan di Indonesia dan lemahnya kapasitas Direktorat Jenderal Pajak ikut memperburuk keadaan.

Sayangnya, upaya memperbaiki dua masalah kronis ini tak kunjung datang. Di Indonesia, kegagalan mengoptimalkan potensi dan merealisasi target penerimaan pajak seakan-akan malah sudah menjadi hal yang lumrah. Pelan-pelan, inilah negara suaka pajak yang sebenarnya.  

WIKO SAPUTRA
Peneliti Kebijakan Publik dan Pendiri Kuala Institute
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus