Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bukti Baru Visum Lama

Polisi membuka kembali penyelidikan dugaan pemerkosaan anak oleh ayahnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Polisi tak punya perspektif hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual.

 

16 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tulisan tentang kasus pemerkosaan anak di Luwu Timur yang diterbitkan Project Multatuli./TEMPO/Nita Dian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polisi dianggap melakukan pelanggaran serius karena membagkan foto ibu korban kekerasan seksual di Luwu Timur.

  • Ada hasil visum yang menyebutkan ketiga korban mengalami kekerasan seksual.

  • Hasil ini bertolak belakang dengan visum yang dikantongi penyidik.

RUMAH Lydia—bukan nama sebenarnya—di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, mendadak ramai pada Jumat, 8 Oktober lalu. Ia kedatangan rombongan Kepala Kepolisian Resor Luwu Timur Ajun Komisaris Besar Silvester Mangombo Marusaha Simamora bersama tim reserse pada hari itu. Dua hari sebelumnya, dugaan pemerkosaan anak oleh mantan suaminya ramai menjadi perbincangan di media sosial.

Mengenakan pakaian seragam lengkap, Silvester bersama wakilnya, Komisaris Muhammad Rifai, meminta penjelasan ihwal penanganan kasus kekerasan seksual itu kepada Lydia, 51 tahun. Di akhir pertemuan, mereka berfoto bersama.

Dua hari kemudian, foto itu menghiasi sejumlah media massa di Makassar dan Luwu Timur. Kepada wartawan, Silvester beralasan menemui Lydia untuk menyampaikan komitmen akan membuka lagi kasus ini jika menemukan bukti baru. Ia tak bisa menjelaskan dari mana media mendapatkan foto-foto mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keterangan pers terkait penghentian penyelidikan kasus pemerkosaan anak di Luwu Timur, di kantor LBH Makassar, Sulawesi Selatan, 9 Oktober 2021./TEMPO/Didit Hariyadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar Muhamad Haedir mengecam pertemuan dan foto itu. “Publikasi itu menunjukkan polisi tidak memiliki perspektif dalam menangani kasus kekerasan seksual,” ujarnya.

Menurut Haedir, penyebaran wajah ibu korban kekerasan seksual merupakan pelanggaran serius. Undang-Undang tentang Perlindungan Anak melarang siapa pun membuka petunjuk yang secara spesifik bisa mengungkap jati diri anak, termasuk identitas orang tua korban. “Asas kerahasiaan identitas itu harus dilindungi agar kasus kekerasan seksual tidak menimbulkan dampak sosial bagi korban ataupun keluarganya,” ujarnya.

Kasus yang menimpa tiga anak Lydia dua tahun lalu itu mencuat lewat artikel berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa. Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” di situs projectmultatuli.org pada Rabu, 6 Oktober lalu. Lydia melaporkan kasus ini pada 9 Oktober 2019 ke polisi. Pelakunya diduga ayah kandung anaknya.

Dua bulan setelah dilaporkan, polisi menghentikan penyelidikan karena menilai laporan itu tak cukup didukung bukti. Lydia lantas membawa kasus ini ke Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan pada April 2020. Hasilnya tak jauh berbeda: penyidik menganggap penghentian kasus kekerasan seksual anak Lydia sudah memenuhi syarat.

Artikel yang berisi curahan hati Lydia itu lantas viral di media sosial. Perbincangan di jagat maya kian hangat dengan menyertakan tanda pagar #PercumaLaporPolisi. Lewat akun Instagram @humasreslutim, Polres Luwu Timur mengklarifikasi artikel tersebut ke sejumlah akun yang mengunggah artikel kasus Lydia.

Dalam klarifikasinya, Polres Luwu Timur menjelaskan penghentian perkara ini sudah berdasarkan aturan. Mereka bahkan melampirkan penjelasan dengan menampilkan nama asli Lydia.

Mereka juga mengecap artikel yang tayang dalam laman projectmultatuli.org sebagai informasi palsu alias hoaks. Perbincangan netizen makin ramai karena menganggap upaya ini sebagai intimidasi polisi kepada masyarakat.

Percakapan di media sosial itu turut menyebutkan Lydia memiliki alat bukti baru. Kepada wartawan di Luwu Timur, Ajun Komisaris Besar Silvester mengaku mendapatkan informasi tentang bukti baru itu dari media sosial. Itu sebabnya, ia berdalih, sejumlah polisi mendatangi rumah Lydia.

Silvester enggan meladeni permohonan wawancara tentang pertemuan itu dan perkembangan kasus anak Lydia. Ia tak kunjung merespons panggilan telepon dan permintaan wawancara Tempo lewat WhatsApp.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Komisaris Besar Endra Zulpan mengatakan Silvester datang untuk mendalami penjelasan ibu korban. “Karena saat kasus ini dilaporkan dia belum menjabat Kepala Polres Luwu Timur,” ucapnya.

Zulpan mengatakan tim asesmen dari Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI sudah datang ke Luwu Timur untuk mengkaji ulang penanganan perkara dan memberikan asistensi penyelidikan. Hasilnya, perkara itu akan dibuka lagi. “Kalau ingin kasus ini diteruskan, kami memerlukan kerja sama dengan ibu korban,” tuturnya. “Tapi kami masih kesulitan menemui ibu korban.”

Ketua Divisi Perempuan, Anak , dan Disabilitas LBH Makassar Rezky Pratiwi./ANTARA/Darwin Fatir

Wakil Direktur Bidang Internal Lembaga Bantuan Hukum Makassar Abdul Aziz Dumpa menjelaskan, Lydia dan ketiga anaknya dievakuasi dari rumah lantaran polisi datang hampir setiap hari. Menurut dia, kedatangan polisi menyalahi prosedur lantaran tanpa pemberitahuan kepada tim kuasa hukum. “Saat ini mereka sudah berada di rumah perlindungan,” ucapnya.

Proses evakuasi, ujar Azis, diperlukan agar kondisi psikologis Lydia dan ketiga anaknya tidak terganggu. Sehari menjelang kunjungan Silvester, menurut dia, polisi juga mendatangi sejumlah sanak-famili Lydia hanya untuk bercerita bahwa pemberitaan seputar kasus itu tidak berimbang. “Untuk apa obrolan itu jika tidak ditujukan untuk keperluan penyelidikan?” ujarnya.

•••

HASIL visum et repertum dari Rumah Sakit Awal Bros Inco Sorowako, Luwu Timur, menjadi pintu masuk untuk membuka kembali penyelidikan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap tiga anak Lydia. Dokumen itu menjelaskan hasil diagnosis berupa internal thromboses hemorrhoid + child abuse yang bermakna kerusakan pada bagian anus yang diduga terjadi akibat kekerasan seksual.

Dokumen itu juga menyebutkan adanya temuan abdominal and pelvic pain. Dalam dunia medis, istilah itu merujuk pada keluhan rasa nyeri pada perut bagian bawah yang bisa dipicu oleh hubungan seksual.

Ada pula kondisi vaginitis atau peradangan pada organ vagina dan konstipasi atau susah buang air besar. “Dokumen itu pernah diabaikan polisi,” ujar Ketua Divisi Perempuan, Anak, dan Disabilitas LBH Makassar Rezky Pratiwi.

Hasil visum itu terbit pada 31 Oktober 2019, setelah Lydia mendapat surat rujukan dari Pusat Kesehatan Masyarakat Malili. Ketika itu, ia mengajak ketiga anaknya yang mengeluhkan rasa sakit di bagian dubur dan organ vital agar diperiksa di fasilitas kesehatan yang lebih baik. “Pemeriksaan itu lahir atas inisiatifnya sendiri, bukan atas permintaan penyelidik polisi,” ucap Rezky.

Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan/www.humas.polri.go.id

Dokter berinisial IM yang melakukan visum juga meresepkan obat kepada ketiga anak Lydia yang masih berusia 7 tahun, 5 tahun, dan 3 tahun. Hasil pemeriksaan juga merujuk agar ketiganya menjalani rawat jalan.

Tempo berusaha menghubungi dokter IM dan pihak rumah sakit untuk meminta konfirmasi tentang dokumen tersebut. Namun IM dan pengurus rumah sakit tak merespons permintaan wawancara hingga Sabtu, 16 Oktober lalu.

Rezky mengatakan Lydia pernah berupaya menyerahkan hasil visum tersebut kepada polisi. Lydia juga menyerahkan barang bukti lain berupa dua celana dalam dan celana legging milik ketiga anaknya yang terdapat bercak darah. Namun polisi disebutkan menolak semua bukti itu.


•••

RENCANA polisi membuka kembali kasus dugaan pemerkosaan anak di Luwu Timur pertama kali dilontarkan Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan pada Kamis, 14 Oktober lalu. “Penanganan kasus ini tidak dilakukan dengan membuka kembali perkara yang sudah mendapatkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), tapi berjalan setelah polisi membuat laporan tipe A (laporan dari lingkungan internal polisi),” katanya.

Menurut Ahmad, laporan ini dibuat untuk menelusuri duduk perkara dugaan kekerasan seksual terhadap ketiga anak Lydia. Rencananya, petugas akan mendalami peristiwa yang terjadi pada 25-31 Oktober 2019 tersebut.

Di masa itu, ketiga anak Lydia menjalani pemeriksaan visum di Rumah Sakit Awal Bros Inco Sorowako. “Hasil asistensi tim Mabes Polri menemukan ada dokumen pemeriksaan yang perlu didalami,” ucap Ahmad.

Polisi berdalih tergerak mendalami penyelidikan kasus itu lantaran keterangan dokter RS Inco Sorowako berbeda dengan hasil visum Pusat Kesehatan Masyarakat Malili dan RS Bhayangkara, Makassar. Hasil visum Puskesmas Malili dan RS Bhayangkara menyebutkan tidak ada kerusakan pada bagian organ vital para korban. Kedua hasil visum ini yang melatari penghentian perkara tersebut.

Dokumen yang diperoleh Tempo menyebutkan pemeriksaan visum et repertum Puskesmas Malili terbit pada 15 Oktober 2019, atau sekitar sepuluh hari sebelum keluarnya hasil visum di RS Inco Sorowako.



Kesimpulan puskesmas itu juga diperkuat hasil pemeriksaan visum et repertum dan visum et repertum psikiatrikum dari RS Bhayangkara, Makassar. Hasil visum terbit pada 15 November 2019 atas pemeriksaan pada 11 November 2019. Adapun hasil pemeriksaan visum et repertum psikiatrikum terbit pada 11 November 2019 atas pemeriksaan pada 6 November 2019.

Ketua Divisi Perempuan, Anak, dan Disabilitas LBH Makassar Rezky Pratiwi membenarkan bahwa korban menjalani pemeriksaan pada 6 November 2019. Namun ia membantah kabar bahwa ada pemeriksaan pada 11 November 2019 di RS Bhayangkara. Menurut dia, pemeriksaan Lydia dan ketiga anaknya hanya dilakukan satu kali. Itu sebabnya ia mempertanyakan surat hasil visum pada 11 November 2019. “Kejanggalan dokumen itu mestinya mudah dilacak,” ujarnya.

Visum itu dilakukan setelah Lydia melaporkan SA, 43 tahun, mantan suaminya, ke polisi. SA dituding melakukan kekerasan seksual kepada tiga anaknya pada 9 Oktober 2019. Lydia sempat membawa ketiga anaknya ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Dinas Sosial Luwu Timur sepekan setelah melapor ke polisi.

Mereka mencurahkan pengakuan di sana. Alih-alih memberikan pendampingan kepada para korban, Kepala Bidang Pusat Pelayanan Firawati malah mempertemukan Lydia dan ketiga anaknya dengan SA. Dalam pertemuan itu, SA mendamprat Lydia. Ia pun membantah tuduhan Lydia.

Kuasa hukum RA, Agus Melas, menilai tuduhan kekerasan seksual tidak bisa mengandalkan pengakuan korban. Penyidik harus menemukan alat bukti pendukung berupa hasil visum. Keputusan polisi menghentikan penyelidikan kasus itu dianggap tepat. “Faktanya, tidak ada luka pada organ intim korban,” ucapnya.

Firawati mengaku berinisiatif mempertemukan kedua pihak lantaran mengenal SA dan bertujuan mempelajari apakah ketiga anak Lydia mengalami trauma akibat perkara itu. Dalam kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah kandung korban, menurut dia, seorang anak biasanya terlihat takut saat bertemu dengan sang ayah. “Rupanya si anak berhamburan mendekati ayahnya. Ada yang di pangkuan dan naik ke bahu ayahnya,” katanya.

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi, menilai kesimpulan Firawati janggal. Dalam banyak kasus kekerasan seksual yang dilakukan orang tua, menurut dia, hubungan anak dengan ayahnya bisa terlihat normal.

Itu terjadi karena seorang anak belum memahami benar-tidaknya sebuah tindakan. “Hasil asesmen seperti itu tidak bisa dijadikan alat untuk mengukur ada-tidaknya peristiwa kekerasan seksual,” ujarnya.

Aminah mengatakan Komnas Perempuan sudah merespons aduan Lydia yang dibuat pada Juli 2020 dengan menyurati Kepolisian Resor Luwu Timur dan Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Namun surat tanggapan yang mereka terima tidak bisa menganulir SP3 polisi. “Penyelidikan kasus ini kami anggap belum maksimal karena polisi belum sungguh-sungguh mencari bukti,” tuturnya.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ternyata pernah menangani perkara ini. Komisioner LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, menjelaskan, lembaganya sudah merespons kasus ini pada 29 Januari 2020. Ia bahkan mengaku sudah membicarakan kasus ini dengan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan kala itu, Andi Sudirman Sulaiman, dan Wakil Kepala Polda Sulawesi Selatan Brigadir Jenderal Halim Pagarra.

LPSK bahkan melakukan asesmen psikologis terhadap ketiga korban kekerasan seksual di Luwu Timur dengan menggandeng Biro Psikologi. Mereka diduga menjadi korban kekerasan seksual. “Pengakuan korban saat asesmen di P2TP2A Luwu Timur konsisten dengan pengakuan kepada kami,” ujar Edwin.

DIDIT HARYADI (MAKASSAR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus