Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hutan Nimbokrang dihuni berbagai jenis burung cenderawasih.
Cenderawasih tergolong satwa langka yang hampir punah.
Tempo menyaksikan beragam burung cenderawasih yang sedang bermain di hutannya.
POSTER-POSTER seukuran A3 bergambar berbagai jenis burung cenderawasih tertempel pada dinding-dinding warung di sepanjang perjalanan saya ke Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, pada 9 September 2024. Poster yang diterbitkan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua itu menampilkan berbagai jenis burung cenderawasih berwarna-warni yang dilindungi negara. Saya pertama kali melihatnya saat mencicipi semangkuk bakso di sebuah warung di pinggir jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nimbokrang adalah distrik yang terkenal sebagai tempat wisata pengamatan burung cenderawasih, satwa yang dijuluki burung surga karena keindahannya. Letaknya sekitar dua jam bermobil dari Kota Jayapura melewati Danau Sentani dan Bukit Salib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terdapat 25 jenis cenderawasih (Paradisaeidae) yang dipajang di poster itu. Ada cenderawasih botak (Cicinnurus respublica) yang memiliki bulu punggung merah menyala dan kuning. Ada cenderawasih kuning besar (Paradisaea apoda) yang berbulu kuning dan hijau di leher. Ada pula manukodia trompet (Phonygammus keraudrenii) dengan bulu hijau di sekujur tubuhnya. Poster itu disertai peringatan bahwa cenderawasih adalah burung Indonesia yang dilindungi undang-undang dan terlarang ditangkap, dipelihara, atau diperjualbelikan dalam keadaan hidup ataupun mati.
Cenderawasih adalah burung pekicau berukuran kecil sampai besar berwarna cerah yang merupakan satwa endemis Papua, Papua Nugini, dan Australia bagian timur. Keberadaan cenderawasih dicatat oleh René Primevère Lesson, naturalis Prancis, pada 1824 saat ia berkunjung ke barat Papua Nugini. Alfred Russel Wallace, antropolog Inggris, bahkan mengklaim sebagai orang Inggris pertama yang menyaksikan cenderawasih di habitat aslinya saat menemukan burung itu di Papua dan Papua Nugini dalam perjalanannya pada 1854-1862.
Mobil yang saya tumpangi bergerak menuju lokasi ekowisata Birdwatching Isyo Hills di Kampung Rhepang Muaif di Nimbokrang. Kawasan pemantauan burung ini dikelola Alex Waisimon, warga setempat. Alex pernah bekerja di Palang Merah Asia Pasifik dan menjadi koki di sebuah restoran Italia di Hamburg, Jerman, sebelum kembali ke Papua pada 2014 untuk menyelamatkan hutan adatnya. Pada 2016, dia mendapat dukungan dari sembilan kepala suku untuk mengelola hutan adat seluas 98 ribu hektare. Alex pula yang memprakarsai wisata pemantauan burung yang ramah lingkungan di sana untuk membantu meningkatkan pendapatan penduduk hingga dia dianugerahi gelar Pahlawan Keanekaragaman Hayati ASEAN pada 2018.
Menurut survei Universitas Cenderawasih dan World Wildlife Fund pada 2016, hutan Rhepang Muaif dihuni 84 jenis burung dari 31 famili. Hutan itu juga menjadi rumah bagi enam jenis cenderawasih yang dilindungi, yakni Cicinnurus regius, Manucodia ater, Paradisaea minor, Ptiloris magnificus, Seleucidis melanoleuca, dan Drepanornis bruijnii.
Wisata susur Kali Biru dengan perahu di Kampung Berap, Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, Japaura. Deta Widyananda
Sudah banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung ke kampung ini. Di buku tamu Alex, para pengunjung itu antara lain tercatat berasal dari Amerika Serikat, Kanada, Jerman, dan Jepang. Mereka menyampaikan rasa kagum terhadap hutan tersebut. Menurut Alex, lokasi pemantauan burung itu tidak jauh dari kampung. “Dari sini kita hanya jalan 15 menit masuk ke hutan untuk lihat cenderawasih,” kata Alex.
Tujuan saya bukan Kampung Rhepang Muaif yang sudah terkenal, melainkan Kampung Berap, lokasi baru pemantauan burung yang belum resmi dibuka. Letaknya sekitar 45 menit perjalanan dari Isyo Hills.
Manajer Ekowisata Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Octovianus Manggo mengatakan timnya berencana membuka tempat pemantauan burung baru itu agar wisatawan punya banyak pilihan untuk menengok burung-burung cenderawasih. Harapannya, pengembangan ekowisata baru ini akan memberikan lebih banyak manfaat bagi masyarakat sekitar.
Karena lokasinya masih baru, infrastruktur di sana belum lengkap. Tapi Octovianus memastikan kawasan itu tetap bisa dikunjungi. “Dari turun mobil di jalan utama, hanya perlu jalan 200 meter masuk ke hutan,” tuturnya.
Di Kampung Berap, kami memutuskan bermalam di halaman rumah Nico Wamafma, General Manager BUMMA dan penduduk kampung itu. Menurut dia, untuk bertemu dengan cenderawasih, saya harus sudah berangkat pada pukul 05.00. Artinya, saya harus bangun pada pukul 04.00 untuk menyiapkan diri. Bila menginap di Isyo Hills, saya mesti bangun jauh lebih pagi.
General Manager BUMMA, Nico Wamafma. Deta Widyananda
Ketika saya menginap di sana, warga sekitar berdatangan. Mereka menimbrung berbagi cerita. Suasana makin hangat ketika guyonan-guyonan dilontarkan. Apalagi rekan saya, Rifqy Faiza Rahman dan Deta Widyananda dari tim TelusuRI, organisasi di bawah naungan Tempo yang mendorong wisata lestari, menyuguhkan kopi dan tembakau sebagai “bahan kontak”—alat diplomasi kami, para pendatang, agar diterima warga lokal ketika berkunjung ke daerah. Obrolan pun mengalir sampai larut malam, padahal kami harus bangun pagi sekali.
Dengan mata masih mengantuk, saya berangkat bersama delapan orang lain dengan truk beratap pada pukul 05.00. Jalan masih sepi dan gelap. Hanya ada suara kokok ayam yang menyambut matahari terbit. Ishak, sopir truk, membunyikan klakson dengan keras. Tak lama kemudian, Mesak Manggo, warga kampung yang paling tahu soal hutan di Kampung Berap, keluar dari rumahnya yang berjarak sekitar 15 meter dari jalan utama. Pria 54 tahun itu sudah siap dengan sepatu bot dan parang di tangan. Dialah penunjuk jalan kami untuk menjumpai cenderawasih.
Setelah 20 menit berjalan, kami diturunkan di pinggir jalan. Tidak ada pintu masuk atau gapura yang menandai tempat ini sebagai lokasi wisata. Hanya ada celah di antara semak-semak yang tampaknya pernah dilewati orang yang masuk ke hutan itu.
Dari delapan orang yang masuk ke hutan, hanya dua yang tidak mengenakan sepatu bot setinggi betis. Saya salah satunya. Saya hanya mengenakan sepatu olahraga lari. Ternyata itu adalah keputusan yang keliru. Sepatu lari itu tak cukup kuat mencengkeram tanah yang lembap. Apalagi hujan yang turun rintik-rintik malam sebelumnya membuat beberapa bagian jalan tanah itu berlumpur. Apa boleh buat, sesekali saya pun terpeleset dan terjatuh.
Tiga warga kampung berjalan di depan. Mereka menebas semak-semak atau ranting pohon yang menghalangi jalan. Jalan ke titik pengamatan burung itu naik-turun. Ini tantangan lain. Sebagai orang yang memiliki tubuh tambun, saya harus berhati-hati agar tidak celaka.
Sering saya mencengkeram rerumputan atau tanaman di kanan-kiri untuk menarik badan saat naik. Saya khawatir akan terjatuh dan terkilir, seperti yang saya alami ketika mendaki Gunung Lawu di Jawa Tengah, 15 tahun lalu. Saat turun pun saya berpegangan pada pohon agar tidak terjerembap. Saking bersemangatnya saya bergelantungan, pohon setinggi 3,5 meter itu patah. “Wuih, kuat juga, ya,” ucap Rifqy, menahan tawa.
Foto milky way yang terlihat dari teras kamar Isyo Lodge, dengan latar depan hutan dan kolam teratai di Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, Jayapura. Deta Widyananda
Kami juga harus melewati kolong atau melompati batang-batang pohon yang tumbang dan melintang setinggi pinggang orang dewasa. Kami pun menyeberangi sebuah sungai yang airnya setinggi betis.
Makin dekat kami ke tempat burung cenderawasih bermain, makin terdengar jelas kicauan mereka. Suara burung-burung itu cukup keras. Salah satu kicauan lantang yang bisa dikenali berasal dari toowa cemerlang (Ptiloris magnificus). Burung yang disebut magnificent riflebird itu salah satu spesies burung pekicau dalam keluarga Paradisaeidae. Saya tidak bisa melihat keberadaan mereka saat kami berjalan. Pohon-pohon berdaun lebat menutupi pandangan kami.
Zet Manggo, pemandu kami, mengungkapkan, wisatawan asing yang ia antar ke hutan selalu membawa “alat perang”, yakni kamera berlensa panjang yang dapat digunakan untuk memotret burung di kejauhan. Mereka juga kadang membawa perekam suara untuk menangkap kicauan burung-burung itu. Bahkan, Zet menambahkan, para peneliti bisa menginap berhari-hari di dalam hutan demi mendapatkan suara-suara itu.
Ketika suara burung makin terdengar jelas, para pemandu mengingatkan kami agar tidak terlalu berisik baik dalam melangkah maupun berbicara. Burung-burung itu akan segera pergi bila mendengar suara berisik.
Setelah melewati berbagai rintangan selama hampir satu jam, saya akhirnya dapat melihat setidaknya 15 cenderawasih yang mengepakkan sayap mengelilingi sebuah pohon sambil berkicau keras. Menurut Mesak Manggo, pohon itu adalah merbau, pohon unggulan di hutan Papua. Karena kayunya keras, masyarakat Papua menyebutnya kayu besi. “Pemandangan ini luar biasa,” ujar Deta Widyananda.
Tinggi pohon merbau itu beberapa puluh meter. Kami harus menengadah ketika melihat burung-burung itu. Akan jauh lebih baik kalau kami membawa teropong binokular atau kamera berlensa panjang. Kami juga diminta berlindung di balik flora rimbun untuk mengelabui burung-burung itu. Harapannya, fauna-fauna tersebut tidak akan merasa terganggu oleh kehadiran kami.
Mesak mengatakan seharusnya kami mengenakan pakaian sewarna tanah agar lebih menyatu dengan lingkungan sekitar. Kenyataannya, saya mengenakan atasan berwarna merah. Adapun Mauren Fitri, rekan saya yang lain dari TelusuRI, mengenakan kaus jambon.
Saya pernah memantau orang utan saat berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Saat itu saya duduk berjam-jam di bangku-bangku kayu buatan untuk mengamati orang utan yang makan pisang yang disediakan petugas taman. Ada pula orang utan yang bergelantungan di atas pohon sambil mendatangi tempat duduk kami tanpa rasa takut.
Kini kami harus memantau cenderawasih diam-diam dari balik pohon-pohon berdaun lebar setinggi sekitar 2 meter. Masyarakat setempat menamai daerah itu Ktutu, dari nama jenis sagu berduri. Di sepanjang jalan menuju tempat ini memang banyak ditemukan pohon sagu berduri.
Kepala kami menengadah memandang burung-burung yang melompat-lompat dari satu dahan ke dahan lain. Bila letih berdiri, kami dapat duduk di akar-akar pohon sambil terus menyaksikan burung-burung itu dan menikmati kicauan mereka yang lantang.
Kadang ada cenderawasih yang terbang agak jauh dari pohon utama. “Perhatikan, itu yang betina. Sebentar lagi yang jantan akan mendatangi si betina,” kata Mesak seraya menunjuk sebuah pohon yang berjarak sekitar 20 meter dari pohon utama. Benar saja, tak berapa lama kemudian ada burung lain yang mendatangi cenderawasih betina itu.
Seekor burung cenderawasih yang terlihat di Kampung Berap, Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, Japaura. Deta Widyananda
Pengamatan burung memerlukan kesabaran dan ketenangan. Kita tidak bisa berjalan-jalan di sekitar pohon dengan bersemangat hanya demi mendapatkan pemandangan terbaik. Kerisik daun yang terinjak kaki atau daun yang bergoyang sudah cukup membuat burung-burung itu berhamburan pergi. Kami juga tidak boleh menggunakan parfum karena aroma yang menusuk bisa membuat manusia cepat dikenali binatang.
Mesak menuturkan, ada jenis cenderawasih berbulu hitam berukuran segenggaman tangan orang dewasa yang biasa terbang rendah. Masyarakat menyebutnya burung pemantau karena biasanya dapat lebih cepat melihat bila ada orang yang memantau atau hendak menangkap cenderawasih. Bila itu terjadi, ia dengan cepat akan memperingatkan burung-burung lain agar terbang menjauh.
Menjaga ketenangan menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Selagi memantau burung, saya berusaha tidak berteriak mengetahui ada pacet yang masuk ke celana. Hutan yang lembap karena sisa hujan semalam itu sepertinya telah memanggil hewan pengisap darah tersebut keluar. Celana kulot panjang longgar yang saya kenakan justru membuat mereka dengan mudah masuk. “Aku pikir kamu kesurupan,” tutur Deta melihat saya meliuk-liuk tak karuan dalam diam.
Insiden itu, untungnya, tidak membuat pemantauan kami gagal. Banyak jenis cenderawasih yang bisa kami lihat. Beberapa yang kami kenali adalah cenderawasih kuning besar, cenderawasih kuning kecil, dan cenderawasih merah. Kami bahkan melihat rangkong Papua yang terbang rendah. Satwa yang juga disebut burung taun-taun itu memiliki sayap yang sangat lebar. Saking lebarnya, kepakannya mirip suara helikopter yang sedang melintas.
Mesak bercerita, dia menemukan lokasi ini pada 2000-an. Saat itu dia sedang mencari kayu untuk kebutuhan rumah tangganya. Tiba-tiba ada suara tembakan di kawasan Ktutu. Petani kopi itu pun mencari asal suara tersebut dan menemukan sepasang suami-istri yang memegang senjata api. Mereka rupanya sedang berburu cenderawasih untuk dijual. Di lain waktu, Mesak melihat pemburu yang memasang jaring-jaring di dekat pohon utama tempat cenderawasih bermain.
Cenderawasih adalah burung yang terancam punah. Tinggal beberapa saja yang masih dapat ditemukan di sejumlah lokasi di Papua. Penelitian Maya Pattiwael dan Amatus Turot yang dipublikasikan di jurnal Daun pada 2020, misalnya, hanya menemukan 5 cenderawasih kuning kecil (Paradisaea minor), 3 cenderawasih raja (Cicinnurus regius), dan 2 toowaa cemerlang (Ptiloris magnificus) saat mengamati hutan di Kampung Malagufuk, tempat ekowisata pengamatan burung di Distrik Klayili, Kabupaten Sorong. Menurut penduduk, di sana ada pula cenderawasih dua belas antena atau cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleucus) dan cenderawasih belah rotan (Cicinnurus magnificus). Peneliti tak menemukan jenis burung itu, tapi masih mendengar suara cenderawasih mati kawat di lokasi pengamatan.
Bandingkan dengan pengalaman Daniel Giraud Elliot, ahli zoologi Amerika Serikat dan pendiri American Ornithologist Union, yang masih menemukan banyak jenis cenderawasih saat meneliti di Papua dan Papua Nugini. Dalam A Monograph of the Paradisaeidae or Birds of Paradise (1873), Elliot mencatat 35 jenis cenderawasih yang ditemukan di banyak tempat di dua kawasan itu, termasuk di Biak, Sorong, dan Kepulauan Aru.
Populasi cenderawasih saat ini sedikit antara lain karena perburuan liar. Burung-burung itu ditangkap dan diselundupkan ke luar Papua. Ada pula tradisi beberapa masyarakat yang menggunakan bulu cenderawasih sebagai hiasan kepala suku sebagai tanda penghormatan tertinggi di komunitas. Pembalakan liar dan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit juga telah merusak habitat cenderawasih dan pada akhirnya bisa memusnahkan satwa langka itu.
Untuk menangani masalah perburuan liar, Mesak dan masyarakat kampungnya mengadakan patroli mengelilingi hutan di kawasan tempat cenderawasih bermain. Biasanya warga yang pergi ke hutan untuk berburu babi hutan atau burung mambruk untuk santapan akan melintas sambil melihat apakah ada pemburu cenderawasih di Ktutu. Namun jumlah awak patroli yang terbatas dan hutan yang luas menjadi hambatan dalam upaya melindungi habitat cenderawasih.
Hari pun beranjak siang. Sekitar pukul 08.00, burung-burung sudah makin jarang terlihat di Ktutu. Menurut Mesak, pukul 08.00 ke atas memang waktu bagi burung itu untuk mencari makan. Cenderawasih, seperti kebanyakan hewan lain, memiliki pola hidup tertentu. Pada pukul 06.00-08.00, mereka biasanya bermain di Ktutu sambil menikmati sinar matahari pagi. Mereka juga biasanya menyapa lawan jenis di waktu itu sebelum akhirnya mencari makan di sekitar hutan.
Pengamatan burung berakhir sampai di sini. Kami kemudian menyantap bekal sarapan sebentar, lalu mulai berjalan pulang. Tantangan dalam perjalanan pulang sama dengan saat berangkat. Saya harus berkutat dengan jalan hutan yang licin serta kontur tanah yang menanjak dan menurun. Celana kulot saya bahkan tersangkut di berbagai ranting dan duri hingga bolong.
Di tengah jalan, kami menemukan sebuah kubangan berbentuk bulat. “Kubangan ini biasanya tempat berendam babi hutan,” kata Bernard Yewi, warga Kampung Berap. Menurut dia, daerah ini memang habitat babi hutan.
Tak jauh dari sana, kami menemukan gundukan bulat yang kami kira tanah. “Itu bukan tanah, itu kotoran burung kasuari,” ucap Bernard.
Setelah menapaki jalan yang berliku, akhirnya kami tiba di tepi jalan raya. Tapi tak ada truk Ishak yang tadi terparkir di sana. Beberapa anggota rombongan hanya duduk-duduk di tepi jalan.
Tak ada sinyal telepon seluler sejak dari hutan sehingga kami tak bisa menghubungi Ishak. Beberapa mobil besar lewat, tapi kami tidak mengenal mereka. Akhirnya kami memutuskan berjalan kaki menyusuri jalan aspal menuju kampung terdekat. Namun, baru 15 menit kami melangkah, truk Ishak datang menjemput kami. Ia ternyata mengopi di kampung terdekat karena terlalu lama menunggu kami. “Katanya jarak ke dalam 200 meter saja. Saya panggil-panggil tidak ada yang menyahut,” ujar Ishak, yang memang belum pernah ke Ktutu. Ia mengira jarak yang dekat seharusnya membuat waktu perjalanan lebih cepat juga.
Informasi Octovianus Manggo memang menyesatkan. Sejak awal kami percaya informasinya bahwa Ktutu terletak tak jauh dari jalan raya, tapi ternyata mencapai sekitar 3 kilometer. “Wah, maaf, saya juga belum pernah masuk ke Ktutu,” katanya, menjelaskan.
Saya kira, meski sepatu berlepotan lumpur dan celana bolong, perjalanan ini pantas dicatat. Petualangan ini menjadi hadiah ulang tahun yang sangat mengesankan bagi “anak Virgo” seperti saya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Mitra Tarigan
Artikel ini terbit di bawah judul Burung Surga di Hutan Nimbokrang