Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada gembar-gembor seperti layaknya tayangan berita kriminalitas di televisi swasta, Senin pekan lalu Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia mengirim satu tim ke Bangkok, Thailand. Tak tanggung-tanggung, tim yang berangkat terdiri dari dua perwira tinggi: Komisaris Jenderal Erwin Mappaseng, Kepala Badan Reserse dan Kriminologi Mabes Polri, sebagai ketua, dan Brigadir Jenderal Gorries Mere sebagai wakilnya, serta tiga perwira menengah, yakni Komisaris Besar Iskandar Hasan, Komisaris Besar Sitanggang, dan Komisaris Rahmad Wibowo.
Buruan polisi kali ini juga bukan orang sembarangan. Dialah Zakaria Zaman bin Kaman, tokoh yang disebut-sebut sebagai atasan langsung Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf. Zakaria, atau lebih dikenal dengan nama Karim Bangkok, disebut-sebut sebagai Menteri Pertahanan GAM di luar negeri. Zakaria pulalah yang mengatur strategi perang di Aceh, mengangkat seseorang menjadi panglima di lapangan, dan memasok senjata dari luar negeri lewat Thailand ke Aceh.
Nasib Zakaria tampaknya bisa berabe. Ia kabarnya telah dicegah dan ditangkal oleh pemerintah Thailand. Artinya, kalau masih berada di Thailand, ia tak bakal bisa keluar dari Negeri Gajah Putih itu, tetapi kalau mau masuk ke sana juga segera ditangkap. Beberapa hari sebelumnya polisi telah mengirim red notice atau daftar pencarian orang di luar negeri kepada pusat Interpol untuk menangkap tujuh pentolan GAM di luar negeri, termasuk Zakaria. ”Dukungan dari kepolisian Thailand sangat besar, dan mereka sedang dicari,” kata Jenderal Da’i.
Tak mudah mencari Zakaria di Thailand. Ia cukup hafal seluk-beluk negeri durian itu. Ia punya banyak kenalan, mulai dari kalangan aktivis hak asasi manusia sampai mafia penjualan senjata. ”Ia (Zakaria) rupanya mendengar informasi akan adanya tindakan. Sekarang sudah bergeser-geser tempat. Namun, ia masih bersembunyi di Thailand,” ujar Jenderal Da’i. Dalam proses pencarian pentolan gerakan separatis bersenjata itu, polisi Indonesia hanya ikut mendampingi aparat setempat. Yang berhak menangkap Zakaria adalah kepolisian Thailand. ”Kami hanya sebatas memberikan informasi,” kata Da’i.
Jika tertangkap, bisakah Zakaria dikirim ke Indonesia? Itulah masalahnya, karena si Karim Bangkok yang sering berkeliaran di negeri Raja Bhumibol itu ke mana-mana selalu menenteng paspor asal Swedia. Menurut juru bicara kepolisian, Brigadir Jenderal Edward Aritonang, markas besar di Jakarta berupaya agar pemasok senjata GAM tersebut bisa diekstradisi dan diadili di Indonesia. ”Karena sampai saat ini dia bukan warga negara Thailand dan belum ada kasus di sana,” kata Brigjen Edward kepada Dimas Adityo dari Tempo News Room.
Zakaria bisa saja diekstradisi ke Indonesia. Guru besar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, termasuk yang berpendapat demikian. Tak jadi soal meski tak ada perjanjian ekstradisi antarkedua negara. ”Ini tergantung willingness negara itu dan pendekatan Indonesia. Sebab, yang dicari orang yang berbuat kejahatan di sini (Indonesia),” ujarnya kepada TEMPO. Hikmahanto termasuk dalam anggota tim diplomasi pimpinan bekas Menteri Luar Negeri Ali Alatas yang berangkat ke Swedia akhir pekan silam.
Bidikan polisi bisa jadi tepat sasaran. Zakaria sengaja hendak diciduk untuk memutus jalur pengiriman senjata ke Aceh. Dari Karim Bangkok ini, para anggota ”Teuntara Nanggroe Atjeh”—begitu GAM menyebut angkatan bersenjata mereka—mendapat logistik senjata dan amunisi yang mudah diperoleh di kawasan Indocina. Karim menyelundupkan senjata ke perairan Aceh dari Phuket, Thailand, lewat tongkang-tongkang nelayan. Kepiawaiannya mencari senjata sudah dikenal dan dihormati di dunia kang aw mafia senjata.
Selain Zakaria, enam orang lain yang sudah dilaporkan dan masuk daftar Interpol adalah sang Wali Nanggroe, Hasan Tiro, Armea, Malik Mahmud, Menteri Luar Negeri Zaini Abdullah, Teuku Muhammad Syafei, dan Muhammad Nur Jali bin Ibrahim. Yang belakangan disebut ini diduga berada di Malaysia. Untuk pentolan GAM di Malaysia, Jakarta hanya sebatas memberikan informasi kepada kepolisian Malaysia dan belum mengirimkan tim ke negeri jiran itu.
Skenario penangkapan besar-besaran itu terungkap di Senayan. Dalam rapat kerja Kapolri dengan Komisi II DPR di Senayan, Senin pekan lalu, Jenderal Da’i melaporkan telah mengirimkan red notice tersebut ke markas besar International Crime Police Organisation (ICPO) atau Interpol, di Lyon, Prancis. Namun, Da’i tak bisa menjamin bahwa Interpol akan menyeret paksa para pentolan GAM yang tinggal di Swedia dan negara lainnya untuk diserahkan kepada Indonesia. Sebab, Interpol dibentuk hanya berdasarkan semangat kerja sama antar-negara anggotanya. ”Tetapi pelaksanaannya kembali pada hukum nasional tiap-tiap negara,” ujar Kapolri.
Contohnya bisa ditilik di Australia. Polisi pernah memburu Hendra Raharja, taipan bankir yang menilep uang negara triliunan rupiah. Red notice terhadap tersangka Hendra Raharja sudah dikirimkan. Walaupun akhirnya bekas bos Bank BHS itu ditangkap dan ditahan oleh kepolisian Australia sampai akhir hayatnya, saat dia singgah di negara lain tak ada tindakan. ”Padahal, sebelum masuk ke Australia, dia juga masuk ke negara-negara lain yang juga menerima red notice dari Indonesia. Tetapi tidak dilakukan tindakan apa-apa terhadap yang bersangkutan,” kata Kapolri.
Untuk bisa menyeret para tokoh GAM yang di luar negeri, polisi menambahkan informasi kepada Interpol dan negara-negara tempat sejumlah pentolan GAM berada tentang keterlibatan mereka dalam kasus terorisme di Indonesia. Mereka disangka polisi melakukan pelbagai tindakan teror. Di antaranya pengeboman Bursa Efek Jakarta, peledakan bom di Mal Cijantung, dan di Medan. ”Itu sudah jelas perbuatan anggota GAM, dan mereka mengakuinya karena merupakan instruksi dari atasan,” kata Jenderal Da’i (lihat Pasal Teroris untuk Tiro).
Perburuan juga ditempuh lewat jalur diplomatik. Dipimpin bekas Menteri Luar Negeri Ali Alatas, akhir pekan lalu mereka berangkat ke Stockholm. Tujuannya agar negeri asal Nobel itu menindak Hasan Tiro dan kawan-kawannya yang tinggal di sana. Jakarta menuntut agar Swedia melakukan action. ”Minimal, Hasan Tiro bisa dituntut sebagai pelaku kriminal karena sudah melakukan tindakan pelanggaran teritorial. Prosesnya terserah hukum mereka,” kata Ali Alatas kepada Adi Prasetya dari TEMPO. Tim Ali dilengkapi serombongan polisi dan utusan khusus dari Badan Intelijen Negara, yang berangkat mendahului.
Target Tim Ali Alatas tidaklah mudah. Membidik Hasan Tiro, menurut dosen sosiologi Universitas Syiah Kuala, Otto Syamsudin Ishak, tentu salah sasaran. ”Sebab, sejak tahun 1990-an Hasan Tiro sudah tak mengatur GAM,” kata Otto. Penulis buku tentang Aceh ini menyebut, bukan saja GAM punya setidaknya dua faksi, tapi antara Hasan Tiro dan para panglima segerakan separatis bersenjata yang bergerilya di Aceh itu juga tak ada garis komando.
Muhammad Hasan, atau lebih dikenal dengan nama Hasan Tiro, memproklamasikan negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Proklamasi yang lengkap dengan susunan kabinet itu dianggap Jakarta sebagai perbuatan makar. Mereka diperangi. Sejumlah menteri dan tokoh GAM ditangkapi dan dihukum.
Hasan Tiro dan 50 orang rombongannya lalu hengkang ke luar negeri pada 1981. Menurut Menteri Luar Negeri GAM, Zaini Abdullah, mereka keluar dari Aceh menuju Singapura karena di negeri yang hanya sepulau itu terdapat perwakilan Badan PBB Urusan Pengungsi (UNHCR). Mereka memilih Swedia sebagai tempat pelarian karena negara itu menyumbang pendirian sekolah di Aceh. Lalu, UNHCR mengatur segalanya. ”Akhirnya mereka bilang yes, kami diperkenankan menuju Swedia. Sejak itu kami berada di sini (Swedia),” kata Zaini kepada Wuragil dari Tempo News Room. Dari pengasingan itulah mereka melawan, hingga bisa bertahan selama 27 tahun.
Kaki tangan Hasan Tiro bertebaran di mana-mana. Di Swedia, Malik Mahmud mengklaim punya 50-an anggota. Amir Rasyid, Menteri Perdagangan, membangun basis perjuangannya di Geylang Road, Singapura. Bersama Malik Mahmud, ia menjadi utusan GAM di pelbagai forum internasional. Di Jenewa, Swiss, mereka berkampanye soal kemerdekaan Aceh. Mereka juga buka kantor di kota tempat markas PBB di New York, Amerika Serikat.
Jika dihitung dengan aktivis di Skandinavia, Amerika, dan Australia, total jenderal mereka sedikitnya berjumlah seribu orang. ”Kami punya pertemuan rutin dan rapat besar setahun sekali,” kata Malik (lihat Jejaring GAM di Mancanegara).
GAM sempat terpecah saat Hasan Tiro sakit keras. Putra Hasan, Karim Tiro, mendapat mandat menggantikan ayahnya bila Tiro wafat. Husaini Hasan, yang saat itu menjabat Menteri Pendidikan GAM, menentang wasiat itu. Ia lalu membentuk sayap baru yang bernama Majelis Pemerintahan GAM atau MP GAM. Selain di Swedia, Husaini juga membangun basis di Malaysia. Ia bahkan sempat merekrut sejumlah Panglima GAM yang dekat dengan militer Indonesia, seperti Arjuna—belum lama ini ditemukan tewas terbunuh di Aceh—dan Robert.
Namun, para pentolan GAM di luar negeri dan pejuangnya di Aceh lebih percaya pada Hasan Tiro. Begitu Hasan Tiro sehat, kekuasaan kembali ke kubunya. Bahkan dua tahun lalu Sekretaris MP GAM, Don Zulfahri, tewas. Ia diduga dibunuh simpatisan GAM pimpinan Hasan Tiro. Tapi, dalam praktek keseharian, kekuasaan eksekutif berada di tangan Perdana Menteri Malik Mahmud dan Menteri Kesehatan yang merangkap Menteri Luar Negeri, Zaini Abdullah. ”Hasan Tiro kini dianggap hanya sebagai bapak pejuang bangsa Aceh,” kata Otto.
Zaini Abdullah dan Malik Mahmud, dua nama inilah yang dianggap Otto paling banyak berperan. Termasuk mengendalikan para serdadu di lapangan yang kini bertempur melawan TNI. ”Panglima GAM hanyalah Muzakir Manaf, dan ia tunduk di bawah kekuasaan sipil yang diatur Zaini dan Mahmud dari luar negeri,” kata Ketua LSM Cordoba itu. Malik, 64 tahun, sang Perdana Menteri, mengakui peran pentingnya itu. ”Karena kami di luar negeri, lebih mudah bagi kami menjadi wakil dalam perundingan,” kata Malik kepada Faisal Asegaf dari Tempo News Room (lihat, Yang Tewas Bukan Anggota GAM).
Malik tak khawatir dengan pelbagai siasat Indonesia yang berusaha membungkam para pejuang GAM di luar negeri. ”Saya kira sulit bagi Indonesia untuk menundukkan Swedia,” katanya saat diinterviu melalui sambungan internasional. Persoalan domestik Swedia tak mudah diintervensi. Apalagi jika serentetan tudingan itu tak disertai bukti kuat sehingga bisa jadi pegangan bagi pengadilan setempat. Inilah tantangan berat bagi polisi dan tim Ali Alatas—yang belum pasti bisa diterima orang pertama di Swedia. Salah-salah, mereka cuma membentur angin.
Wahyu Muryadi, Ahmad Taufik, Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo