Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Merangkul Kembali Bung Kecil

Setelah berseberangan sikap, Soedirman belakangan mengagumi diplomasi Sjahrir. Tak benar-benar bermusuhan.

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMAT pagi itu, 1 November 1946, ribuan warga Jakarta memadati stasiun kereta api Manggarai, Jakarta Selatan. Dengan sabar mereka menanti kedatangan kereta api dari Yogyakarta. Begitu kereta tiba, pekik kemerdekaan membahana di sekujur stasiun.

Salah satu penumpangnya adalah Panglima Besar Soedirman. Inilah pertama kali Soedirman datang ke Jakarta.

Konvoi kendaraan yang mengangkut rombongan Soedirman melintasi Jalan Tambak, Matraman, Salemba, Senen, dan berhenti di Hotel Shutte Raff di depan Stasiun Gambir. Jika saja kereta berhenti di Stasiun Gambir, tak perlu ada konvoi. Tapi Soedirman sengaja diarak agar warga Jakarta dapat melihatnya dari dekat. "Sambutan rakyat begitu meriah," ujar sejarawan Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein, Oktober lalu.

Adalah Perdana Menteri Sjahrir yang sengaja mengatur perjalanan itu. Ia ingin pemimpin tentara rakyat yang biasa bergerilya di Yogyakarta itu disambut massa Ibu Kota. Soedirman datang ke Jakarta untuk menandatangani perjanjian gencatan senjata antara tentara Indonesia dan Belanda.

Hubungan Soedirman dengan Sjahrir sempat menegang. Sjahrir bercita-cita tentara Indonesia bebas dari unsur fasisme Jepang. Dalam risalah politik Sjahrir, Perdjoeangan Kita cetakan pertama (November 1945), ia menggunakan kata "anjing-anjing yang berlari" kepada kaum yang bekerja sama dengan Jepang.

Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka berhubungan dekat dengan Soedirman pada masa awal kepemimpinannya. Menurut S.I. Poeradisastra dalam Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman, orang-orang dekat Tan Malaka, yakni Ahmad Soebardjo dan Iwa Koesoema Soemantri, merupakan penasihat politik Soedirman.

Antara kubu Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin dengan Persatuan Perjuangan terdapat perbedaan sudut pandang. Persatuan Perjuangan yang memilih jalan konfrontasi menganggap diplomasi Sjahrir merupakan strategi putus asa. Sebaliknya, kubu Amir dan Sjahrir menilai Tan dkk merusak strategi perjuangan.

Pemerintah menolak usul Persatuan Perjuangan yang meminta Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen. Agar tak mengganggu jalannya diplomasi, Tan dan kawan-kawan ditangkap pada 17 Maret 1946. Pertentangan itu memuncak pada 25 Juni 1946, ketika Hatta berpidato mendukung konsesi dengan Belanda. Dia menyebutkan pemerintah menuntut pengakuan de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatera.

"Semua yang hadir kaget dan tak mengerti akan pidato itu. Panglima Soedirman tampak menunjukkan sikap tak setuju dan geleng-geleng kepala," kata Iwa K. Soemantri, yang dikutip oleh Poeradisastra.

Pidato pemerintah itu dinilai sebagai sikap menyerah terhadap Belanda. Akibatnya, pada 27 Juni, Perdana Menteri Sjahrir diculik Abdul Kadir Jusuf, perwira yang ditugasi Soedarsono. Mereka dibebaskan setelah Sukarno meminta Soedirman melepaskan Sjahrir. Suhu politik kedua kubu terus membara hingga peristiwa "kudeta" 3 Juli 1946. Setelah peristiwa ini, hubungan Soedirman dengan Sjahrir perlahan membaik.

Soedirman bersedia memenuhi undangan pertemuan dengan Sjahrir di Jalan Pegangsaan Timur 56, rumah dinas Sjahrir, pada November 1946. Dalam perbincangan 30 menit itu, Sjahrir menjelaskan soal jalur diplomasi yang lebih tepat sasaran ketimbang konfrontasi.

Sjahrir menjelaskan, kekuatan tentara Indonesia saat itu tak cukup untuk melawan Belanda. Setelah mendengar penjelasan itu, Soedirman maklum. Dugaan selama ini bahwa Sjahrir bersekongkol dengan Sekutu ternyata tak terbukti.

Tokoh pers Indonesia, Rosihan Anwar (almarhum), dalam perbincangan dengan Tempo tiga tahun lalu, mengatakan Soedirman berbalik mengagumi Sjahrir setelah pertemuan di Jakarta itu. Ini diperkuat dengan pernyataan Soedirman kepada Sultan Hamengku Buwono IX pada Januari 1950. Ia menyebut Sjahrir sebagai pemimpin besar yang pantas memimpin Republik. "Sjahrir adalah tokoh besar," ujar Rosihan Anwar, menirukan kesaksian Sultan atas sikap Soedirman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus