Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“INDONESIA merdeka! Sekarang juga!” Mohammad Hoesni Thamrin berseru lantang. Ia mengkritik keras isi petisi yang diajukan Soetardjo Kartohadikoesoemo dalam sidang Volksraad atau Dewan Rakyat (setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat) pada 15 Juli 1936.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petisi Soetardjo itu berisi permohonan menggelar musyawarah antara wakil Indonesia dan Belanda. Konferensi ini bertujuan membahas rencana pemberian status pemerintah Indonesia yang otonom secara bertahap dalam waktu 10 tahun di bawah Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku Sepak Terjang Perjuangan Politik Mohammad Hoesni Thamrin terbitan Museum Joang 45, Jakarta, 2010, menyebutkan Thamrin enggan meneken petisi yang menggemparkan dunia politik di era kolonial itu. Alasannya, petisi tersebut menyimpang dari cita-cita pergerakan nasional, yang menginginkan Indonesia bebas merdeka dan benar-benar lepas dari Belanda.
Kritik keras yang Thamrin lontarkan atas petisi itu hanya satu dari sekian upayanya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara penuh. Tuntutan itu, seperti ditulis Bob Hering dalam buku M.H. Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia, ia pupuk sejak 1930.
uasana sidang Volksraad pada tahun 1930.. (Het Nationaal Archief)
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Bondan Kanumoyoso mengatakan Thamrin ingin menyatukan semua kekuatan politik di Indonesia untuk menentang kekuatan pemerintah kolonial. Keinginan itu tecermin ketika Thamrin membentuk Fraksi Nasional pada 27 Januari 1930.
“Tujuan dari Fraksi Nasional adalah menuntut kemerdekaan Indonesia, oleh karena kami yakin, hanya dengan kemerdekaan dapat mencapai masyarakat Indonesia yang sempurna,” kata Thamrin dikutip dari buku Mohammad Hoesni Thamrin: Berjuang untuk Rakyat terbitan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1996.
Ada tiga hal yang dilakukan anggota fraksi itu untuk mencapai tujuan tersebut. Pertama, mengusahakan perubahan sistem ketatanegaraan. Kedua, menghapus perbedaan politik, ekonomi, dan intelektual yang terjadi akibat antitesis kolonial yang berkepanjangan. Ketiga, mengusahakan kedua hal tersebut dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Petisi Soetardjo dan pembentukan Fraksi Nasional itu menjadi wujud usaha masyarakat pribumi yang menyulap Volksraad sebagai panggung resmi untuk menyuarakan keinginan mereka. Terutama meningkatkan rasa nasionalisme dalam mencapai pemerintahan mandiri.
Padahal, di awal pendiriannya, Volksraad didesain pemerintah kolonial sebagai lembaga stempel. Anggota lembaga ini memang memiliki hak usul atau petisi, mengajukan rancangan undang-undang, dan interpelasi atau meminta keterangan kepada pemerintah. Namun semuanya itu tidak berjalan secara penuh.
Kepincangan fungsi dan hak-hak itu tak luput dari sorotan Thamrin. Dalam peringatan 20 tahun berdirinya Volksraad, Thamrin menulis artikel berjudul “Menoedjoe Badan Perwakilan Indonesia Sedjati” di surat kabar Pemandangan yang diterbitkan pada 18 Mei 1938.
Sidang Volksraad di Batavia yang dipimpin oleh Ketuanya, A. Neytzell de Wilde, tahun 1927 (Het Nationaal Archief)
“Jika kita melihat sejarah Volksraad dari mulai berdirinya hingga sekarang, masih banyak hal dan persoalan yang tidak memuaskan. Volksraad, yang menurut namanya harus menjadi badan permusyawaratan dari wakil-wakil rakyat, ternyata masih jauh dari keadaan ini. Juga sebagai badan tempat suara dan perasaan rakyat bisa terdengar serta kepentingannya bisa dipertahankan, semuanya ini belum bisa dipenuhi. Kekurangan itu disebabkan oleh kekuasaannya yang tidak cukup, cara penyusunan anggotanya pun tidak sempurna, dalam hakikatnya badan Volksraad tidak diubah semenjak berdirinya, yaitu sebagai badan advis alias badan penasihat saja.”
Menurut Bondan, kiprah Volksraad yang kemudian mengemuka sebagai lembaga kritis merupakan salah satu jasa terbesar Thamrin karena ia menjadikannya wadah perjuangan politik. Walau dia berjuang dengan cara yang strategis di Dewan Rakyat, gagasan perjuangannya sebetulnya tak kalah radikal dibanding tokoh-tokoh nonkooperatif, seperti Sukarno dan Mohammad Hatta.
•••
SEPAK terjang M.H. Thamrin memperjuangkan masyarakat bermula saat dia duduk di Gemeenteraad atau Dewan Kota (setara dengan dewan perwakilan rakyat daerah) Batavia pada 1919-1927. Saat baru berusia 33 tahun, ia resmi menjadi anggota Volksraad pada 16 Mei 1927. Ia membangun kariernya sampai menduduki jabatan Wakil Ketua Volksraad. Spektrum politik Thamrin kian luas, tak sebatas di lingkup Kota Batavia.
Semasa di parlemen Hindia Belanda itu, Thamrin dikenal sangat vokal. Ia bahkan dijuluki “Macan Volksraad”. Sebagaimana dikutip dari buku Sepak Terjang Perjuangan Politik Mohammad Hoesni Thamrin, pria yang lahir di Sawah Besar, Batavia, pada 16 Februari 1894 itu bukan anggota dewan tipe 4D: datang-duduk-diam-duit. Ia menjadi legislator yang sangat vokal dan militan.
Militansinya itu sudah terlihat pada tahun pertamanya menjabat di Volksraad. Saat itu Thamrin menyampaikan sembilan pidato penting dan dua mosi. Menurut Bob Hering, penulis biografi Thamrin, hal itu menempatkan dia di barisan depan pihak oposisi pribumi.
Sejarawan JJ Rizal mengungkapkan, Thamrin dapat menunjukkan bahwa Volksraad bisa digunakan untuk menyuarakan gagasan di luar parlemen. Banyak tokoh—salah satunya Sukarno—yang sebelumnya mengejek keberadaan Volksraad. Bahkan lembaga tersebut dianggap sebagai komedi omong. “Tapi, buat Thamrin, enggak ada candaan di dalam Volksraad,” ucap Rizal.
Menurut Rizal, banyak yang terkejut terhadap sikap lantang Thamrin. Sebab, saat itu diperlukan keberanian dan kecerdasan ekstra untuk membawa gagasan ke dalam parlemen. Keberadaan Thamrin juga selalu mengguncang karena keberaniannya.
Gedung Volksraad di Batavia, tahun 1935.. (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)
Dalam buku biografi Thamrin karya Bob Hering, ada salah satu pidato pembukaannya yang sangat mengguncang anggota Volksraad dan gubernur jenderal.
“Nasionalis kooperatif dan nonkooperatif memiliki satu tujuan bersama yang sama-sama, yakni pada Indonesia Merdeka! Jika kami kaum kooperator merasa bahwa pendekatan kami tidak efektif, kami akan menjadi yang pertama mengambil arah kebijakan politik yang diperlukan,” tutur Thamrin dalam pidatonya.
Ketika menyampaikan aspirasinya, Thamrin juga selalu tampil dengan data dan bukti konkret. Misalnya, di buku Melawan dalam Volksraad karya Toto Widyarsono disebutkan bahwa Thamrin pernah mengungkapkan jumlah penggeledahan di kota-kota seluruh Indonesia saat berdebat tentang aksi penggeledahan rumah para pemimpin Partai Nasional Indonesia oleh penguasa kolonial.
JJ Rizal mengemukakan contoh lain, yakni ketika pemerintah kolonial takut terhadap komunisme tapi tidak mau memberantas kemiskinan. Thamrin, Rizal melanjutkan, memberikan bukti bagaimana kampung-kampung termiskin berpotensi menjadi ruang dan tempat tumbuhnya aktivitas komunisme yang paling subur.
Saat itu Thamrin membuat daftar yang cukup panjang tentang kemiskinan di kampung-kampung serta keadaan masyarakat yang nasibnya jalan di tempat. “Ini bisa menjadi lahan subur bagi kelompok komunis mendapatkan massa,” ucapnya.
Bagi Rizal, langkah yang diambil Thamrin itu termasuk brilian dalam penggunaan psikologi ketakutan dunia kolonial terhadap pergerakan. Rizal menuturkan, dunia kolonial yang secara politik telah bangkrut dan khawatir terhadap dunia pergerakan dimanfaatkan Thamrin untuk bisa menegosiasikan kepentingan-kepentingannya, terutama demi kemerdekaan Indonesia.
Staf Museum M.H. Thamrin di Jakarta, Maya Ilalang, menjelaskan bahwa ada tiga fase aktivitas Thamrin ketika duduk di parlemen. Pertama, periode 1927-1930, merupakan fase belajar dan penyesuaian. “Dia baru menggunakan hak inisiatifnya dan mengajukan ide,” ujarnya.
Masalah pertama yang ia perjuangkan di Volksraad adalah perbaikan kondisi kerja buruh. Saat itu masalah yang menghangat adalah praktik poenale sanctie di sejumlah perkebunan, khususnya di Sumatera Timur.
Poenale sanctie adalah bagian dari ordonansi atau undang-undang kuli yang memberi perusahaan hak menjatuhkan hukuman kepada buruh. Aturan tersebut membuat para kuli kontrak di Deli, Sumatera Timur, diperlakukan secara buruk.
Thamrin tak hanya berjuang dari balik meja. Ia bersama Koesoemo Oetojo mengadakan kunjungan ke Sumatera Timur. Mereka menyelidiki kondisi kerja buruh perkebunan yang mengalami ketidakadilan dan penindasan.
Seusai peninjauan, Thamrin menyampaikan pemikirannya dalam sidang Volksraad atas perlakuan sewenang-wenang para mandor kebun terhadap para kuli.
“Sebagaimana telah dinyatakan dalam terangnya mosi, perkara-perkara yang terjadi lantaran perbuatan pemerintah dan polisi pada masa akhir-akhir ini telah menimbulkan suatu perasaan hati yang tidak aman. Orang tidak tahu apa yang menjadi perbuatan yang luas ini, dan orang tidak tahu maksud perbuatan pemerintah dengan perbuatan yang luas itu.”
Pidato-pidato yang ia sampaikan juga terdengar hingga di dunia internasional, seperti Eropa dan Amerika. Bahkan di Amerika Serikat sampai muncul kampanye pemboikotan dan pelarangan impor tembakau Deli terhadap perusahaan-perusahaan rokok Amerika selama periode poenale sanctie. Berkat usaha Thamrin dan reaksi negatif dunia, poenale sanctie akhirnya dihapuskan.
Cucu Thamrin, Diennaryati Tjokrosuprihatono, mengungkapkan bahwa informasi di dalam Volksraad bisa terdengar hingga ke Eropa dan Amerika karena sang kakek memiliki koneksi luas serta fasih berbahasa asing. “Dia bisa melihat peluang dan mencari jalan keluar untuk jeblak-jeblakin Belanda dari dalam,” ujar Diennaryati, yang biasa disapa Dieny Tjokro.
Kunjungan kerja Thamrin ke Sumatera Timur tak hanya menghasilkan penghapusan aturan kerja rodi. Pengaruhnya di Deli Serdang juga cukup besar berkaitan dengan cita-cita kemerdekaan.
Menurut antropolog Universitas Indonesia, Yasmine Zaki Shahab, kedatangan Thamrin ke wilayah yang kini masuk Provinsi Sumatera Utara itu dapat menumbuhkan kesadaran nasionalisme para sultan di sana.
Yasmine menjelaskan, sebelum kedatangan Thamrin, para sultan dipandang sebagai kepanjangan tangan penjajah. “Ketika datang ke sana, Thamrin bisa mengubah para sultan memberontak terhadap Belanda,” katanya.
Saat menyusun buku Mohammad Hoesni Thamrin: Merekam Prestasi Menguak Representasi, Yasmine mendapat informasi dari Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, ahli sejarah Medan yang juga Kepala Adat atau Sultan Serdang, bahwa Thamrin telah mengunjungi ayahnya, Sultan Soelaeman Syariful Alamsyah, dan berhasil mempererat nasionalisme di Kesultanan Deli Serdang.
Sultan Soelaeman adalah Sultan Serdang kelima yang anti-Belanda, tapi juga bersikap kooperatif. Yasmine menuliskan bahwa sikap anti-Belanda itu merupakan pengaruh Thamrin dari kunjungannya ke istana selama berada di Sumatera.
Salah seorang keturunan Kesultanan Deli Serdang, Tengku Zikri (Tengku Laksamana), juga mengatakan Thamrin adalah tokoh idola Tengku Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alamsyah. Karena kagum terhadap sosok Thamrin, Sultan Deli kesepuluh itu sampai menamai cucunya Husni.
•••
MEMASUKI fase kedua di Volksraad, 1930-1936, M.H. Thamrin mulai mengambil alih kepemimpinan ketika kelompok gerakan nonkooperatif dilumpuhkan. Menurut buku Melawan dalam Volksraad, ia melakukan usaha-usaha nyata untuk mengubah kedudukan politik dan ekonomi bangsa Indonesia melalui Volksraad.
JJ Rizal mengungkapkan, ketika para tokoh nonkooperatif diringkus dan direpresi, Thamrin menjadi jembatan dan menyelamatkan dunia pergerakan dari kematian suara. Ia membawa semua gagasan nonkooperatif ke dalam Volksraad.
Thamrin juga banyak membela tokoh pergerakan yang dikekang pemerintah kolonial, seperti Tjipto Mangoenkoesoemo yang ditahan dan dibuang ke Banda. Ia pun mengajukan protes ketika Sukarno dan rekan-rekannya di PNI ditangkap.
Bersamaan dengan upaya memperbaiki politik dan ketatanegaraan, Thamrin tak putus-putusnya menyuarakan masalah ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Pada 17 September 1932, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan Ordonansi Sekolah Liar. Tujuannya adalah mengatur sekolah-sekolah swasta serta guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut. Kemunculan sekolah swasta yang dikelola masyarakat pribumi ini dilatari sistem pendidikan Hindia Belanda yang diskriminatif.
Bekas gedung Volksraad yang saat ini bernama Gedung Pancasila, di Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, 1 Juni 2018. [Tempo/Subekti]
Melalui ordonansi tersebut, semua guru swasta harus punya izin dari pemerintah. Untuk mendapatkan izin itu, para guru harus mengantongi sertifikat dari sekolah pemerintah atau bersubsidi. Ketentuan lain, para guru dipandang pemerintah tidak akan membahayakan ketertiban.
Bagi kalangan pendidik, langkah yang dilandasi prasangka belaka itu merupakan ancaman terhadap lembaga pendidikan yang mereka pimpin. Ordonansi ini kemudian mendapat perlawanan keras dari berbagai kalangan, yang inisiatifnya datang dari tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara.
Aksi penentangan itu meluas ke tubuh Volksraad. Fraksi Nasional yang dipimpin Thamrin menuntut pencabutan Ordonansi Sekolah Liar. Thamrin bahkan mengancam akan mengundurkan diri dari Dewan Rakyat jika tuntutan mencabut peraturan itu gagal. Ada kemungkinan sikapnya itu bakal diikuti anggota yang lain, terutama dari Boedi Oetomo dan Pasundan.
Seperti dikutip dari buku Bob Hering, Thamrin dengan tegas menyatakan pendiriannya, “Sejak saya secara khusus ditugasi oleh para ketua organisasi yang bersangkutan, keputusan ini tidak dapat dipandang sebagai ancaman, sama sekali tidak, atau sebagai afdeelingsverslag, atau merupakan bagian terselubung ‘mendekati semacam tuntutan intimidasi’. Sebaliknya, hal itu harus dipandang sebagai manifestasi jiwa Timur, sebagai motif tatanan yang lebih tinggi yang lebih suka menghukum diri dengan kesedihan dan kesulitan daripada cara Barat dengan tindakan agresif. Karena itu, keputusan memberikan petunjuk bagi para anggota dan pengikut dan tidak berarti ancaman yang ditujukan pada golongan lain.”
Untuk menjaga kewibawaan, pemerintah kolonial akhirnya mencabut Ordonansi Sekolah Liar pada 23 Februari 1933. Aturan yang membatasi ruang gerak sekolah swasta itu pun secara resmi dihapus pada Oktober 1933.
Krisis ekonomi yang melanda pada awal 1930-an tak luput dari sorotan kritis Thamrin. Kehidupan rakyat pribumi menjadi lebih sulit lantaran pengambilan kebijakan yang salah oleh pemerintah kolonial. Kebijakan yang disorot Thamrin antara lain penyewaan tanah rakyat kepada perkebunan industri dan kebijakan pasar dalam produk konsumsi yang terkait langsung dengan kehidupan rakyat sehari-hari.
Buku Sepak Terjang Perjuangan Politik Mohammad Hoesni Thamrin menyebutkan terjadi bencana kelaparan di kalangan petani miskin karena lahan pertanian milik rakyat dipaksa disewakan ke perkebunan besar milik golongan Eropa. Lahan mereka disewa dengan nilai uang yang sedikit, bahkan ada yang tanpa uang sewa sama sekali. Akibatnya, para petani tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Melihat kondisi tersebut, Thamrin mendesak agar tanah-tanah tersebut dikembalikan atau setidaknya para petani diperkenankan menggunakan lahan dengan menanam tanaman pangan seperti padi pada musim hujan. Dia juga menuntut pemberlakuan kontrak yang adil antara rakyat dan perkebunan yang menyewa tanah mereka.
Selain itu, Thamrin menyoal kebijakan pemerintah Hindia Belanda di bidang impor bahan kebutuhan pokok. Ia mengusulkan pelarangan impor beras. Ia melihat kebijakan impor tersebut hanya menguntungkan beberapa pihak, yaitu importir dan pemerintah.
Periode terakhir, mulai 1936 hingga Thamrin wafat pada 1941, merupakan masa saat kaum nasionalis berusaha mengerahkan kekuatan baik di dalam maupun di luar Dewan Rakyat. Di dalam tubuh dewan itu, Thamrin tampil lebih keras sebagai oposisi. Dieny Tjokro mengatakan kakeknya mulai terlihat berani membangkang.
Thamrin tak gentar memperjuangkan identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang satu dengan mengusulkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar resmi sidang Volksraad. “Bukankah bangsa yang hilang bahasanya akan mudah hilang pula kebangsaannya?” tutur Thamrin dalam pidatonya berjudul “Kebijaksanaan di Waktoe Krisis” dalam sidang Volksraad pada 12 Juli 1938.
Usulan Thamrin akhirnya disetujui. Sejak 1939, bahasa Indonesia pun sejajar dengan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi yang digunakan di Volksraad.
Buku Melawan dalam Volksraad menjabarkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia di dalam Volksraad menimbulkan reaksi. Para pejabat Belanda menganggap penggunaan bahasa Indonesia sebagai suatu “demonstrasi” yang mengandung propaganda. Sedangkan bagi wakil-wakil Indonesia, pemakaian bahasa Indonesia merupakan ungkapan rasa percaya diri.
Pada 15 Agustus 1939, Thamrin juga mengajukan mosi penghapusan istilah “Nederlandsch-Indie” dan “Inlander” dalam surat-surat resmi dan perundang-undangan. Ia mengusulkan sebutan itu diganti dengan “Indonesie”, “Indonesier”, dan “Indonesisch”.
Selain itu, Thamrin menjadi pelopor lahirnya pendidikan tinggi di bidang sastra di Indonesia. Ia bersama rekan-rekannya mengajukan mosi tentang pengadaan pendidikan bidang sastra di Indonesia pada 17 Agustus 1939.
Mosi itu berisi harapan pendirian fakultas sastra selambat-lambatnya pada 1940. Mosi itu diterima lewat pemungutan suara di Volksraad dengan perolehan suara 29 berbanding 27.
Dieny menuturkan, usulan-usulan Thamrin di Volksraad membuat Belanda memandang kakeknya itu sebagai sosok yang berbahaya. Bahkan Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge menggambarkan Thamrin sebagai seseorang yang berbahaya dan pintar, juga licin dan tak terpegang.
Dikutip dari buku Bob Hering, De Jonge merenung, “Adakah kita akan pernah mampu mengerti Thamrin? Ia paling buruk dari semuanya, kompeten, dan cerdik. Dalam satu segi saya menyukainya, tapi saya akan sangat senang jika dapat melihat ia dikirim ke Banda atau tempat lain. Itu tidak akan terjadi; ia tidak memberi saya kesempatan.”
Pemerintah kolonial kesulitan memperkarakan Thamrin meski memandangnya berbahaya. “Thamrin tidak bisa ditekuk karena dia bekerja di dalam sistem yang resmi, yang dibuat pemerintah Belanda sendiri,” kata JJ Rizal. “Gerakan di dalam sistem itu bisa jauh lebih radikal.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Auman Perlawanan Macan Volksraad"