Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Edisi Khusus Kemerdekaan M.H Thamrin: Wakil Rakyat yang Sesungguhnya

Lahir dari keluarga kaya, M.H Thamrin menjadi macan Dewan Kota. Pejuang kemerdekaan yang berpihak kepada mereka yang lemah.

18 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI sebagian orang, M.H. Thamrin barangkali hanya dikenal sebagai jalan protokol yang menjadi ikon Jakarta, bersambungan dengan Jalan Jenderal Sudirman. Kerap ditulis dalam pelajaran sejarah sebagai pahlawan Betawi, nama Mohammad Hoesni Thamrin juga baru banyak disebut di seputar hari ulang tahun Jakarta, setiap 22 Juni. Pada 1920-1930-an, ia memang giat memperjuangkan nasib warga miskin Batavia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peran Thamrin jauh lebih besar dari itu. Tak hanya pernah berkiprah di Dewan Kota Batavia (Gemeenteraad van Batavia), lelaki berdarah Eropa yang lahir di Sawah Besar, Batavia, pada 16 Februari 1894 itu menjadikan Dewan Rakyat (Volksraad) medan perjuangannya. 

Mula-mula Thamrin masuk Dewan Kota lewat pemilihan pada 1919. Di usia 25, dia dengan lantang menuntut pemerintah kota memperbaiki kehidupan warga yang tinggal di permukiman padat. Ia mendorong program kampongverbetering berupa pengerasan dan penerangan jalan, pembuatan saluran air, hingga pembangunan pintu air Manggarai untuk mengurangi dampak melubernya air Sungai Ciliwung yang membelah Batavia. 

Dia juga menyuarakan buruknya kehidupan masyarakat di pinggiran Batavia yang sering kekurangan makanan dan tinggal berdesakan di pondok sonder ventilasi dan kakus. Semua itu ia sampaikan secara santun dan dilengkapi dengan dokumen pendukung argumentasi. Berkat hal tersebut, ia dikenang sebagai tokoh yang membela kaum Betawi. 

Patung pahlawan nasional Mohammad Hoesni Thamrin di Jalan MH Thamrin, Jakarta, 3 Juni 2012. Tempo/Tony Hartawan

Thamrin kemudian naik ke gelanggang nasional dengan menjadi anggota Volksraad pada 16 Mei 1927 di usia 33 sebagai wakil organisasi Kaoem Betawi. Dia menggantikan dokter Soetomo, pendiri Boedi Oetomo, yang menolak duduk di Dewan Rakyat. Saat itu lembaga yang berdiri pada 1918 tersebut dikenal sebagai tukang stempel kebijakan gubernur jenderal.

Thamrin justru memanfaatkan dewan yang pernah dijuluki “komedi omong” itu sebagai panggung untuk menyuarakan kepentingan penduduk bumiputra. Pada tahun pertamanya di Pejambon, lokasi gedung Volksraad—kini Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri—dia mengumandangkan sembilan pidato penting dan dua mosi, di antaranya tuntutan pembebasan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo dari pembuangan di Banda Neira. Pada tahun ketiga masa kerjanya, Thamrin berhasil menggerakkan Volksraad menghapus poenale sanctie, peraturan yang membolehkan pengusaha menghukum fisik pekerja yang dianggap melanggar kontrak kerja.  

Tak perlu waktu lama bagi Thamrin untuk tampil sebagai oposan pemerintah Hindia Belanda. Pada 1930, dia merapatkan barisan para wakil rakyat bumiputra di Volksraad dengan membentuk Front Nasional. Anggotanya termasuk Koesoemo Oetojo, Raden Panji Suroso, dan Teuku Nyak Arif. Front Nasional bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia dalam waktu sesingkat-singkatnya. Caranya adalah mengubah sistem ketatanegaraan; menghapus perbedaan politik, ekonomi, dan intelektual; serta menjalankan perubahan-perubahan itu lewat koridor yang sesuai dengan hukum.

Pada periode ini hubungan Thamrin dengan Sukarno kian dekat. Mereka pertama kali bersinggungan lewat Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia atau PPPKI, yang berdiri pada 18 Desember 1927 di Bandung. Bung Karno mewakili Partai Nasional Indonesia atau PNI, Thamrin mewakili Kaoem Betawi.

Bob Hering, yang terkenal lewat bukunya, Soekarno: Arsitek Bangsa (2012), mengatakan tidak mungkin menulis buku Bung Karno tanpa menulis buku M.H. Thamrin. “Sebab, mereka seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan,” katanya. Maka, pada tahun berikutnya, sejarawan berkebangsaan Belanda yang lahir di Mester Cornelis, Batavia, itu menerbitkan Mohammad Hoesni Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia.

Buku itu menggambarkan kedekatan kedua tokoh pergerakan kemerdekaan tersebut. Thamrin kerap mengunjungi Bung Karno saat ditahan di penjara Sukamiskin, Bandung, pada Desember 1930-Desember 1931. Bersama Inggit Garnasih, istri Sukarno, Thamrin menjemput sahabatnya itu saat keluar dari jeruji.

Tak jera akan ancaman penjara, Bung Karno melanjutkan aktivitas politiknya, termasuk menerbitkan rangkaian tulisan Mencapai Indonesia Merdeka, yang membuatnya kembali menjadi bidikan polisi. Pada tengah malam 1 Agustus 1933, dia diciduk saat melangkah keluar dari rumah Thamrin di Jalan Sawah Besar—kini Jalan Sukarjo Wiryopranoto, Jakarta Pusat. Saat Bung Besar ditahan lagi di Sukamiskin, Thamrin membesuk dan memperjuangkan pembebasannya lewat Volksraad, tapi gagal. Bung Karno dibuang ke Ende, Flores. 

Menurut Bob Hering, kedekatan dua tokoh kemerdekaan itu seharusnya menghapus dikotomi antara gerakan kooperatif dan nonkooperatif. Yang ada hanyalah gerakan kemerdekaan. Thamrin, yang selama ini dijadikan simbol kaum kooperatif, justru menjaga nyala api pergerakan saat Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dan tokoh nonkooperatif lain ditangkap dan dibuang. 

Pada Juli 1936, saat Bung Karno berada di pengasingan di Ende, Thamrin berjuang di Volksraad. Dia menolak Petisi Soetardjo yang meminta pertemuan wakil Indonesia dengan Belanda untuk membahas pendirian Indonesia yang otonom di bawah konstitusi Kerajaan Belanda dalam waktu selambat-lambatnya sepuluh tahun. Bagi Thamrin, tuntutan itu mencederai perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di gedung Volksraad, di jantung pemerintahan Hindia Belanda, dia pun berteriak lantang, “Indonesia merdeka! Sekarang juga!”

•••

IKHTIAR Mohammad Hoesni Thamrin membebaskan Indonesia dari kolonialisme menjadi alasan kami mengangkatnya sebagai tokoh utama di edisi khusus 17 Agustus 2024 ini. Menulis kisah para pahlawan di setiap Hari Kemerdekaan menjadi tradisi majalah ini sejak 24 tahun silam. 

Tim redaksi menyiapkan edisi khusus M.H. Thamrin sejak dua bulan lalu. Diawali diskusi internal yang memunculkan banyak nama, redaksi juga mengundang sejumlah sejarawan untuk menjaring ide dan informasi. Berdasarkan berbagai diskusi tersebut, redaksi memutuskan menulis kisah hidup dan perjuangan Thamrin.

Tak hanya menjadi sahabat dan kawan berdiskusi Sukarno, Thamrin juga menjadi inspirasi tokoh di daerah dalam bersikap terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sejarawan JJ Rizal, misalnya, menyebutkan Thamrin menyebarkan semangat nasional yang membuat para Sultan Deli dan Sultan Serdang berbalik dari perpanjangan tangan menjadi penentang Belanda.

Mohammad Hoesni Thamrin. Wikimedia Commons

Hidup Thamrin pun berwarna. Guru besar antropologi Universitas Indonesia, Yasmine Zaki Shahab, yang menulis buku Mohammad Hoesni Thamrin: Merekam Prestasi Menguak Representasi (2019), mengatakan Thamrin kaya sejak orok. Dia lahir dari pasangan Thamrin Mohammad Tabrie dan Noerhamah yang sama-sama memiliki darah Eropa. Schnell, kakek M.H. Thamrin dari ayah, bekerja sebagai residen—pejabat yang membawahkan beberapa bupati. Sementara itu, Ort van Delden, kakek buyut dari ibu, memiliki hotel di Molenvliet West—kini Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat. 

Mengutip koran Bintang Betawi, Yasmine menyebutkan Thamrin Mohammad Tabrie pernah menggelar pesta besar di rumahnya di Sawah Besar. Ketika itu para tamu, termasuk orang-orang Arab, disuguhi cerutu dari Havana, Kuba, dan minuman anggur asal Cina. 

Seperti banyak tokoh pergerakan kemerdekaan lain, Thamrin gila bola. Dia membeli sebidang tanah di Petojo, Jakarta Barat, untuk dijadikan stadion bagi anak-anak pribumi. Sebab, mereka dilarang bermain di berbagai stadion di Batavia yang memasang plang “Verboden voor Honden en Inlander” atau “Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk”. Dari lapangan di Petojo tersebut, berdiri Voetbalbond Indonesische Jacatra atau VIJ pada 1928—klub sepak bola pertama yang memakai “Indonesia” dalam namanya sekaligus menyebut Jacatra, bukan Batavia. VIJ merupakan cikal bakal Persija Jakarta.

Lahir di Mangga Besar—kurang dari 2 kilometer di utara Sawah Besar—pada 1948, Yasmine mengenali rumah keluarga Thamrin dari cerita ayahnya. M.H. Thamrin lahir dan meninggal di griya yang sama, Jalan Sawah Besar Nomor 32. Yasmine menyebutnya sebagai “rumah paling gedongan” se-Sawah Besar. 

Di seberangnya, di muka Jalan Wedana, juga rumah mereka. “Nama Gang Wedana diambil dari ayah M.H. Thamrin, Thamrin Mohammad Tabrie, yang jadi Wedana Distrik Batavia,” kata Yasmine. Wedana adalah pembantu residen atau kepala daerah yang membawahkan beberapa camat. Di Batavia, wedana merupakan jabatan tertinggi yang bisa diraih bumiputra.

Rumah tersebut dibongkar pada 1976 dan sempat menjadi kompleks pertokoan. Muzatek, nama gedung tersebut, banyak menjual onderdil mobil. Namun gedung itu kini disegel pemerintah daerah dan berstatus tak layak huni.

Kami juga menemui cucu M.H. Thamrin, yaitu Diennaryati Tjokrosuprihatono dan Akbar Chasany. Mereka adalah putra-putri Deetje Zubaidah, yang diangkat anak oleh Thamrin. Mereka meriwayatkan kematian Thamrin yang berbeda dari versi sejarah resmi. Berbagai catatan menyebutkan Thamrin meninggal akibat malaria atau penyakit jantung. Belanda malah sempat menyebarkan kabar bahwa dia mati bunuh diri. “Keluarga meyakini beliau meninggal akibat diracun oleh Belanda,” ucap Diennaryati, psikolog yang menjadi Duta Besar RI untuk Ekuador pada 2017-2020.

Diennaryati Tjokrosuprihatono dan Akbar Chasany saat diwawancara Tempo di kediamannya, 24 Juli 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Mengutip penuturan Deetje, Diennaryati mengatakan kakeknya tidak memiliki riwayat penyakit berat dan hanya mengidap flu pada 9 Januari 1941, dua hari sebelum berpulang. Tanggal itu juga berbeda dari sejarah yang menyebutkan kondisi kesehatan Thamrin terus memburuk sejak 6 Januari 1941. “Ibu melihat langsung dokter yang datang bersama polisi Belanda menyuntikkan sesuatu sekitar pukul 03.00. Pada waktu subuh, beliau sudah tiada,” ujarnya.

Ayah Yasmine ada dalam rombongan pengantar jenazah Thamrin, yang dimakamkan pada 12 Januari 1941. “Sepertinya semua laki-laki Jakarta saat itu ikut melayat,” kata Yasmine, mengutip omongan sang ayah. 

Bob Hering, yang saat itu masih belajar di Koning Willem III School te Batavia—tempat Thamrin menuntut ilmu 30 tahun sebelumnya—juga ikut dalam iring-iringan besar tersebut. Dia menaksir jumlah pelayat dari Sawah Besar ke permakaman Karet Bivak sekitar 20 ribu orang. Setelah sang pahlawan dikebumikan, muncul demonstrasi besar yang menuntut kemerdekaan Indonesia.

•••

BONDAN Kanumoyoso, Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, mengatakan perjuangan dan pengaruh Mohammad Hoesni Thamrin terlupakan lantaran dia terkena efek desukarnoisasi karena kedekatannya dengan Bung Karno. Desukarnoisasi adalah kebijakan Orde Baru untuk memperkecil peran Sukarno dalam sejarah. 

Penilaian serupa datang dari Joesoef Isak, pendiri penerbitan Hasta Mitra, dalam kata pengantar M.H. Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia. “Ahli sejarah Orde Baru, Nugroho Notosusanto, menganggap sejarah perjuangan Indonesia baru dimulai pada 1965, saat Orde Baru dan militerisme Soeharto mulai merajalela.”

Sejarawan JJ Rizal punya pendapat berbeda. Menurut dia, pelupaan sejarah tidak hanya menimpa M.H. Thamrin, tapi juga hampir semua tokoh pergerakan. Dia mencontohkan dokter Soetomo, yang sejak 1920-an telah berpikir jauh tentang pembentukan negara Indonesia berikut risikonya, hanya diingat sebagai salah satu pendiri Boedi Oetomo.

Pada Thamrin, pelupaan sejarah tak benar-benar ampuh karena meruyaknya kerinduan yang kuat dari masyarakat Betawi akan pahlawan dari tanah kelahiran mereka. Walhasil, Thamrin dijadikan simbol keberadaan orang Betawi dalam pergerakan kebangsaan. “Ini bukan hal yang buruk, tapi seolah-olah Thamrin hanya milik masyarakat Betawi,” kata Rizal. 

Hari Kemerdekaan, yang tak pernah dirasakan oleh M.H. Thamrin, merupakan momen yang pas untuk mengenang kembali sumbangsihnya bagi Republik. Salah satunya, ia menancapkan standar yang kini langka: politik sebagai jalan perjuangan, bukan semata-mata mencari keuntungan dan kekuasaan.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

TIM EDISI KHUSUS MOHAMMAD HOESNI THAMRIN; Penanggung Jawab: Iwan Kurniawan, Nurdin Kalim; Kepala Proyek: Mohammad Reza Maulana; Penulis: Reza Maulana, Yosea Arga, Friski Riana, Mitra Tarigan, Mustafa Ismail, Nurdin Saleh, Arkhelaus Wisnu, Indra Wijaya, Dian Yuliastuti, Istiqomatul Hayati; Penyunting: Anton Septian, Nurdin Kalim, Raymundus Rikang, Iwan Kurniawan, Seno Joko Suyono; Fotografer: Taufan Rengganis, Martin Pardamean; Periset Foto: Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih; Penyunting Bahasa: Iyan Bastian, Hardian Putra Pratama, Edy Sembodo; Desainer: Dianka Rinya, Imam Riyadi, Rio Ari Seno, Riyan R Akbar. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sisi Lain Bung Besar yang Tak Terpisahkan"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus