Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Misteri Leluhur di Liang Bua

Para peneliti Indonesia dan dunia telah lama menjadikan situs Liang Bua sebagai obyek penelitian. Dipercaya menjadi tempat asal-usul manusia pigmi Rampasasa.

23 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pintu masuk Liang Bua, gua tua di Rampasasa, itu terkunci. Kornelis Jaman, 35 tahun, petugas penerangan Liang Bua dari Dinas Pariwisata, mesti membuka gembok rantai pintu menuju gua setiap menjamu tamu yang ingin mengetahui lokasi penggalian fosil Homo floresiensis. Jarak gua dari Rumah Gendang sekitar 900 meter, dengan waktu tempuh kurang dari 20 menit jika menggunakan mobil.

Hingga pukul dua siang, Kamis pada akhir Februari itu, tak ada pengunjung yang datang ke Liang Bua. "Tamu datang tak menentu waktunya," ujar Kornelis. Di buku tamu, tercantum empat nama orang asing mengisi buku tamu sehari sebelumnya. Seorang Prancis, Romain, 33 tahun, baru datang setelah Kornelis berkeliling mengantar Tempo. "Saya sudah dua bulan di Indonesia melihat-lihat spot. Pemandangan di sini sangat indah," kata Romain, tampak mencoba berbasa-basi.

Liang Bua memiliki ukuran tinggi 25 meter, lebar 40 meter, dan panjang 50 meter. Di bagian dalam gua, teronggok bebatuan stalagmit dan stalaktit. Jalan masuk ke dalam gua yang lembap cukup licin.

Kornelis bercerita, awalnya gua ini diberi nama Liang Boa; liang berarti gua dan boa berarti kuburan. "Dinamakan seperti itu karena banyak yang mati ketika mereka tinggal di sini," ujarnya.

Nama itu, menurut legenda, berubah setelah datang dua pemburu, Mambo dan Magang, warga Dusun Teras, yang berburu di sekitar gua tersebut. Setelah lama berburu dan tak mendapatkan hasil, keduanya masuk ke dalam gua. Karena haus, keduanya minum dari tetesan stalaktit yang dingin. Saat bercakap, ada panggilan dari arah dalam gua. Mereka kemudian menceritakan pengalaman itu kepada warga. Tak lama setelah itu, keduanya mati. "Sejak saat itu, nama Liang Boa menjadi Liang Bua, yang berarti gua yang dingin," tutur Kornelis.

Setelah melewati jalan mendaki di atas batuan yang licin, terdapat mulut gua kecil di pojok kiri. "Ini tempat untuk persembunyian," ujar Kornelis. Tak jelas bagaimana orang bisa masuk ke dalam mulut gua yang cukup sempit itu. Gua sedalam 23 meter itu sangat gelap karena hampir tak ada cahaya yang masuk.

Di bagian atas sebelah kanan, ada lagi gua kecil. Karena letaknya menghadap mulut Liang Bua, mulut gua ini bisa terlihat. Kornelis mengatakan gua itu menjadi tempat beristirahat dan mampu menampung satu keluarga. Namun, untuk masuk ke gua itu, tampaknya perlu keahlian khusus. Pengunjung harus merayap, sebelum dapat masuk. Dari luar, tak jelas seperti apa kondisi di bagian dalam.

Di antara kedua gua itu, terdapat batuan menyerupai kelamin yang disebut Kornelis sebagai Penis Stone. Menurut dia, warga mempercayai batu itu sangat mujarab bagi mereka yang belum punya keturunan. "Tinggal korek batu, serbuknya campur dengan air, dan langsung diminum. Banyak yang bercerita mereka berhasil mendapatkan keturunan," ucapnya terkekeh.

E. Wahyu Saptomo, peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengatakan Liang Bua merupakan gua alam yang berada di daerah perbukitan kapur dan berdekatan dengan pertemuan aliran Sungai Wae Racang dan Wae Mulu.

Kondisi gua Liang Bua sangat ideal untuk tempat bermukim. Di samping permukaan lantai gua yang luas dan relatif datar, sirkulasi udara sangat baik karena mulut gua lebar dan atapnya tinggi. Gua mendapat sinar matahari yang cukup sepanjang musim karena mulut gua menghadap ke arah timur laut.

Posisi Liang Bua dulu diperkirakan sebagai dasar laut. "Tercipta 200 ribu tahun lalu," ujar Wahyu. Gua ini tercipta oleh tiga aliran bawah tanah. Sungai di atas turun ke bawah, menembus bukit kapur, dan masuk ke aliran yang ada saat ini.

Penelitian di Situs Liang Bua dimulai pada 1965 oleh Theodore Verhoeven, pastor dari Belanda yang mengajar di Seminari Mataloko, Flores Tengah. Penelitian kemudian dilanjutkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada 1978-1989.

Penelitian mutakhir dilakukan atas kerja sama Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional dengan Universitas New England dan Universitas Wollongong, Australia, pada 2001-2009. Pada 2010, kerja sama berganti dengan Smithsonian Institution Amerika Serikat. Penelitian difokuskan untuk memperoleh informasi tentang kemungkinan kehadiran manusia awal di Flores pada situs-situs hunian seperti gua dan ceruk.

Secara umum, hasil penelitian Arkeologi Nasional di Situs Liang Bua telah menjumpai sejumlah lapisan penting yang mengandung tinggalan budaya. Pada lapisan atas dijumpai adanya lapisan Holosen, yang terdiri atas Holosen awal dan Holosen akhir (10.000-11.500 tahun yang lalu). Pada lapisan Holosen akhir ditemukan kubur manusia (Homo sapiens) yang disertai bekal kubur berupa periuk dan beliung persegi.

Pada lapisan Holosen awal ditemukan sebaran artefak batu yang relatif padat. Temuan tulang manusia sangat sedikit, hanya beberapa fragmen tengkorak (Homo sapiens). Hasil pertanggalan radiokarbon/C14 (arang) mengungkap lapisan Holosen itu paling tidak telah dimulai sekitar 10 ribu tahun yang lalu.

Setelah lapisan Holosen, ditemukan lapisan flowstone dan blok batu gamping bercampur dengan patahan stalaktit. Banyaknya runtuhan stalaktit diduga akibat adanya gempa yang cukup besar pada waktu itu.

Di bawah lapisan flowstone dan blok batu gamping, ditemukan lapisan abu vulkanis yang cukup tebal sebagai hasil letusan gunung api. Abu vulkanis pertama berumur sekitar 12 ribu tahun yang lalu. Di bawahnya ditemukan abu vulkanis lagi yang berumur sekitar 17 ribu tahun yang lalu.

Di bawah lapisan abu vulkanis ini masuk pada Plestosen dengan kurun yang lebih tua. Pada lapisan inilah ditemukan rangka manusia purba kerdil, Homo floresiensis, di kedalaman 5,9 meter, yang berjenis kelamin perempuan berumur 25-30 tahun, memiliki karakteristik unik, tinggi maksimum hanya 106 sentimeter, serta tulang kaki dan tangan sangat kekar.

Bagian tengkoraknya memiliki ciri-ciri arkaik, seperti tulang kening menonjol dengan dahi miring ke belakang, volume otak hanya 380 sentimeter kubik (diukur dengan mustard seed) dan 417 sentimeter kubik (diukur secara digital dari data CT scan). Bagian wajahnya menjorok ke depan (prognath) dengan rahang yang kekar dan tidak memiliki dagu.

Arkeologi Nasional menyimpulkan temuan perempuan kerdil itu sebagai spesies baru. "Kami tak tahu siapa dia dan tidak mempersoalkan apakah dia masuk Homo sapiens atau Homo floresiensis, yang pasti dia sudah punah," ujar Wahyu, yang akan kembali ke Liang Bua pertengahan tahun ini.

Kornelis menunjukkan lokasi penggalian fosil Homo floresiensis itu. Tapi tempat penggalian itu telah rata dan hampir tak ada bekasnya.

Klaim Homo floresiensis sendiri belakangan ditolak oleh Teuku Jacob, paleoantropologis dan profesor dari Universitas Gadjah Mada, beserta timnya. Jacob mengatakan Homo floresiensis memiliki kecenderungan anatomi yang sama dengan Homo sapiens atau fosil manusia modern.

Karena Homo floresiensis sudah punah, Wahyu menolak jika temuan di Liang Bua itu dikait-kaitkan dengan populasi pigmi di Rampasasa. "Yang sudah punah itu memiliki volume otak 400 cc, sementara kita di atas 1.000 cc," ucapnya.

Menurut dia, penelitian DNA sudah pernah dilakukan terhadap temuan di Liang Bua, tapi gagal. "Lingkungan pengendapan dinilai tidak bisa menyimpan sampel-sampel untuk analisis," katanya.

Profesor Herawati Sudoyo, Wakil Direktur Eijkman Institute, mengakui penelitian DNA yang dilakukan Eijkman dan Arkeologi Nasional pada 2003 itu tidak berhasil. "Kami tidak bisa melihat DNA-nya. Hal itu bisa karena terkontaminasi dari orang yang memegang atau memang dia bukan makhluk asing atau baru," ujarnya.

Sementara Arkeologi Nasional menyatakan spesies di Liang Bua telah punah, orang Rampasasa tetap yakin temuan di Liang Bua adalah leluhur mereka. "Dulu nenek moyang suku Ntala tinggal di selatan Liang Bua. Mereka memberikan persembahan ke leluhur di Liang Bua. Kami yakin temuan di Liang Bua itu bagian dari kami," ujar Tua Golo Darius Sekak, yang berasal dari suku Ntala.

Dengan gagalnya penelitian DNA, praktis upaya menemukan kaitan secara ilmiah antara orang Rampasasa dan temuan di Liang Bua menjadi mandek.

Erwin Zachri


Temuan di Liang Bua

Situs Liang Bua merupakan situs arkeologi yang dimanfaatkan manusia secara berulang-ulang dari masa ke masa. Situs ini telah dimanfaatkan sejak masa Plestosen hingga Holosen.

Lapisan Holosen Atas

  • Tinggalan bercirikan budaya neolitik sekitar 3.800 tahun lalu dan sisa-sisa kehidupan yang berasal hingga 450 tahun lalu. Kehidupan ditandai oleh temuan sisa-sisa budaya Mesolitik yang berumur hingga 10.000 tahun.
  • Ditemukan fauna-fauna seperti biawak bergigi bulat (Varanus salvator brongersma hooijer), ular (Ophidia), landak (Hystricidae), kucing (Felidae), anjing (Canidae), musang (Viveridae), musang air (Mustelidae), rusa (Cervidae), babi (Suidae), dan kerbau (Bos bubalus).

    Lapisan Plestosen

  • Ditemukan Homo floresiensis yang diperkirakan berumur 18.000 tahun.
  • Fauna yang ditemukan misalnya gajah purba kerdil (Stegodon pygmy), komodo (Varanus komodoensis), kura-kura besar (giant tortoise), dan burung besar sejenis bangau (giant stork).

    Lapisan antara Holosen dan Plestosen

  • Ditemukan lapisan abu vulkanis yang berasal dari umur 12.000 dan 17.600 tahun lalu.
  • Fauna yang ditemukan di lapisan Holosen dan Plestosen secara bersama-sama adalah tikus (Muridae), kelelawar (Chiroptera), ikan jenis belut (Anguillidae), ular (Ophidia), katak (Ranidae), dan burung (Aves).

    Ada dugaan kondisi Gua Liang Bua pada sekitar 100.000 tahun yang lalu masih sangat lembap sehingga tidak memungkinkan digunakan sebagai lokasi hunian.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus