Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari hampir larut malam ketika Tempo tiba di kediaman Martinus untuk menginap. Di bawah temaram lampu led bertenaga matahari, kami berkumpul. Tua Teno Petrus Antas, ayah Martinus; Petrus Dour, yang masih kerabat Petrus Antas; dan beberapa warga memenuhi ruang tamu Martinus Masar, 35 tahun, Kepala Dusun Rampasasa, akhir bulan lalu.
Martinus menarik tali lampu itu agar cahayanya lebih terang. Tapi, mengingat matahari redup seharian dan penyimpanan energi tidak optimal, lampu kembali diredupkan. "PLN banyak janji, katanya pada 2014 masuk listrik, sekarang sudah 2015," ucapnya.
Tak hanya tentang listrik, Martinus mengeluhkan pembangunan Rampasasa yang tertinggal di hampir segala sektor. Dari segi transportasi, dusun ini tidak dilalui angkutan umum, sehingga akses warga terhadap transportasi publik jadi terbatas. "Bahkan, untuk mengurus KTP, mereka kesulitan. Transportasi ke kecamatan perlu dana puluhan ribu rupiah untuk pulang-pergi," ujarnya.
Karena tidak memiliki kartu tanda penduduk, warga pun tidak punya akses ke fasilitas lain, seperti program Jaminan Kesehatan Masyarakat dan program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). "Banyak warga, termasuk ayah saya, zaman SBY mendapatkan kartu BLT (Bantuan Langsung Tunai), tapi zaman Jokowi tidak mendapat kartu BLSM," kata Martinus.
Sepanjang malam, Tempo mendengarkan cerita panjang dan unik masyarakat Rampasasa. Kadang kami tertawa, kadang hening menyambut cerita miris. Dengan lampu yang semakin lama semakin redup.
Dusun Rampasasa, Flores, telah lama menjadi sorotan para peneliti dunia karena memiliki populasi dengan perawakan pendek atau biasa disebut pigmi. Manusia pigmi didefinisikan sebagai anggota kelompok dengan pria dewasa yang rata-rata memiliki tinggi badan kurang dari 150 sentimeter.
Pigmi Rampasasa menarik karena berdekatan dengan Liang Bua, lokasi temuan fosil yang diperkirakan sebagai suatu spesies baru. Peter Brown dan Michael J. Morwooddi majalah ilmiah prestisius dunia, Nature (27 Oktober 2004), menyatakan mereka menemukan bagian tulang dari seorang perempuan dewasa yang bertinggi badan kurang dari satu meter dengan volume otak 380 cc. Morwood kemudian mengumumkan bahwa penemuan tersebut adalah bagian dari spesies baru, yaitu Homo floresiensis.
Namun Teuku Jacob, paleoantropologis dan profesor dari Universitas Gadjah Mada, beserta timnya, The Rampasasa Pygmy Somatology Expedition 2006, menyanggah pendapat Morwood tersebut. Jacob mengatakan Homo floresiensis memiliki kecenderungan anatomi yang sama dengan Homo sapiens atau fosil manusia modern yang memiliki keunikan karakter yang masih mungkin dimiliki oleh populasi manusia di Rampasasa yang diperkirakan memiliki gangguan pertumbuhan.
Hasil penelitian Dr dr Aman B. Pulungan baru-baru ini menyimpulkan bahwa perawakan pendek manusia pigmi Rampasasa memiliki proporsi tubuh yang normal. Perawakan pendek pada mereka juga tidak berhubungan dengan faktor nutrisi (vitamin D, kalsium, hemoglobin). Namun didapatkan defek genetik yang tidak ditemukan pada manusia normal. Hal ini mengindikasikan pengaruh faktor genetik walaupun kandidat gen belum dapat diidentifikasi.
Setelah melakukan perjalanan hampir satu jam dari Ruteng, kami tiba di Rampasasa. Suhu udara 19 derajat Celsius lumayan dingin untuk orang dari Jakarta. Kami mampir di rumah Martinus sebelum diterima secara adat oleh para petinggi adat Rampasasa. Istri Martinus, Maria Ervina Linda, 33 tahun, menyambut kami dengan ramah. "Selamat datang di rumah sederhana ini," ujarnya dengan senyum.
Rumah Gendang Rampasasa hanya sepelemparan batu dari rumah Martinus. Berukuran 9 x 12 meter persegi, bangunan ini menjadi tempat masyarakat berkumpul. Di dalam rumah adat ini tinggal para perwakilan dari tiga suku utama di Rampasasa: Ntala, Tuke, dan Lao.
Dulu rumah adat yang atapnya berbentuk limas ini berlapis ijuk. Tapi, karena perubahan zaman dan sulit mendapatkan ijuk, atapnya kini berganti seng. Persis di tengah-tengah rumah, tegak tiang utama. "Ini melambangkan tua golo (pemimpin adat)," kata Martinus.
Pada tiang utama itulah digantungkan gendang dan gong. Dari situlah nama Rumah Gendang berasal. Kedua alat itu ditabuh dalam berbagai ritual adat Rampasasa, selain untuk memanggil masyarakat sekitar. "Setelah Tua Golo memukul gong, masyarakat berkumpul. Kemudian Tua Golo menyampaikan rencana ritual adat, pengumpulan dana, dan penentuan tanggal untuk ritual adat," ujar Martinus.
Rumah Gendang terbagi atas ruang pertemuan di bagian tengah dan empat kamar yang dihuni empat perwakilan suku di sisi kiri-kanan pintu masuk. Empat kamar itu dihuni oleh Tua Golo Darius Sekak, 65 tahun, dari suku Ntala; Tua Teno Petrus Antas (76) dari suku Tuke; Tua Adat Victor Jerubu (61) dari suku Ntala; dan Rofinus Dangkut (57) dari suku Lao.
Melihat ukuran pintunya yang mungil, Rumah Gendang memang tidak diperuntukkan bagi mereka yang bertubuh tinggi. Dari empat perwakilan suku penghuni rumah itu, hanya Rofinus Dangkut yang lumayan tinggi: 157,3 cm.
Tua Golo mempersilakan Tempo dan Martinus duduk di depannya. Bersama tiga petinggi adat lain, dia duduk di tengah Rumah Gendang. Kami segera memulai acara penyambutan, yang diberi nama Wae Lu'u. Setelah penyambutan, moke—minuman khas Flores—dibagikan kepada semua yang hadir.
Diterjemahkan oleh Martinus, Tua Golo menjelaskan asal-usul nama Rampasasa. Rampas berarti perang dan sasa berarti sangat sengit. Dalam sejarahnya, Rampasasa menjadi garis depan pertempuran antara Todo, yang dikuasai raja, dan Cibal, yang merupakan pemerintahan tertinggi, untuk berebut kekuasaan.
Soal asal-usul orang Rampasasa, Darius punya cerita. Nenek moyang suku Ntala yang tinggal di wilayah Teber di selatan Liang Bua sakit-sakitan. Karena itu, mereka datang ke Rampasasa, tanah kosong yang berjarak sekitar dua kilometer dari Teber. Setelah suku Ntala menetap, barulah datang suku Tuke dan suku-suku lain. Inilah yang membuat suku Ntala kini diistimewakan: di Rumah Gendang berdiam dua orang wakil suku Ntala, sedangkan "jatah" untuk yang lain cuma satu orang. "Itu menggambarkan kekuasaan adat mereka di Rampasasa," ujar Martinus, yang berasal dari suku Tuke.
Tua Golo sebagai pemimpin tertinggi adat sangat berkuasa terhadap tanah di Rampasasa. Dia memberi wewenang kepada Tua Teno, Petrus Antas, untuk mengatur pembagian tanah di Rampasasa. Peran tetua adat diakui negara. "Apa pun persoalan di masyarakat, mesti tanya dulu ke tua adat, sehingga peran Tua Golo dianggap sangat besar. Masyarakat harus patuh," kata pria yang memimpin 400 warga Rampasasa itu.
Namun dunia berubah. Saat digelar acara adat, tidak ditemukan banyak warga Rampasasa yang bertubuh mini, kecuali para tetua adat dan istri mereka. Selain penghuni Rumah Gendang, hanya satu-dua yang benar-benar pendek. Salah satu yang ditemui Tempo adalah Viktor Darung, 80 tahun, setinggi 135 sentimeter. Sedangkan warga yang muda-muda sudah jauh lebih tinggi.
Menurut Martinus, jumlah warga Rampasasa yang bertubuh "normal" kini dua kali lipat daripada mereka yang berukuran mini. Hal ini tak lepas dari larangan kawin tungku yang menjadi adat Manggarai, setelah masuknya agama Katolik. "Gereja mengeluarkan larangan kawin tungku sudah lama, sehingga angkatan kami sudah tidak ada yang melakukan kawin tungku," ujarnya. Kawin tungku adalah perkawinan di antara sepupu atau anak-anak dari kakak-adik sekandung. Saudara laki-laki yang memiliki anak perempuan mengawinkannya dengan anak laki-laki saudara perempuannya.
Pastor Blasius Lion dari Paroki St Monfort Poco, Keuskupan Ruteng, mengatakan, sebelum Katolik ada di Manggarai, budaya kawin tungku kuat sekali. "Tujuannya agar garis keturunan tidak hilang, relasi tidak akan terputuskan antara saudara perempuan dan laki-laki," katanya.
Ketika masuk pada 1900-an, Gereja belum bisa mengatasi hal itu. Pada 1980-an, "Gereja mulai melihat mengapa sampai ada penyakit-penyakit keturunan pada kawin tungku. Kemudian Gereja tidak lagi menerima kawin tungku," ujarnya. Namun sampai saat ini larangan kawin tungku masih kontroversial. Di satu sisi ada masyarakat yang menerima dengan alasan penyakit, tapi sebagian besar orang Manggarai tidak mau menerima. "Di Paroki Poco, kawin tungku masih 65-75 persen," ucapnya.
Darius Madu, koordinator Stasi Akel, yang membawahkan Rampasasa, mengatakan ada tujuh pasangan yang melakukan kawin tungku di wilayah koordinasinya dalam sepuluh tahun terakhir. "Mereka telah dinikahkan pada 2012. Sekarang sudah tidak ada lagi," ujarnya.
Kepada pasangan yang telanjur melakukan kawin tungku dan telah memiliki anak, Gereja mengeluarkan ketetapan. Gereja pada tingkat keuskupan hanya melakukan pemberkatan lima tahun sekali. "Ini untuk efek jera. Kalau mereka melanggar larangan kawin tungku, harus tunggu dua-tiga anak baru mendapat sakramen," katanya.
Soal minimnya jumlah pigmi murni di Rampasasa juga diakui oleh Doktor Aman B. Pulungan dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang pada Januari lalu mempertahankan penelitian disertasi doktornya tentang orang Rampasasa. Warga pigmi murni yang dijadikan responden penelitiannya sudah berumur 40-50 tahun.
Aman mengatakan saat ini warga Rampasasa sebagian besar merupakan keturunan dari hasil pernikahan campur dengan orang luar. "Tidak ada lagi anak-anak yang asli (murni) pigmi Rampasasa."
Dengan adanya aturan Gereja yang melarang pernikahan di antara sesama pigmi Rampasasa, pigmi murni berangsur habis. "Mungkin beberapa puluh tahun lagi, setelah pigmi murni dewasa meninggal, pigmi murni Rampasasa akan habis," ujarnya.
Erwin Zachri, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo