Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Akademisi Rocky Gerung beradu argumen dengan jaksa dalam sidang Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin 9 Oktober 2023. Dalam persidangan perkara pencemaran nama baik Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan itu, Rocky Gerung hadir sebagai saksi ahli yang diminta Haris-Fatia menjelaskan kebebasan berekspresi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebelum memberikan kesaksian, hakim ketua Cokorda Gede Arthana mengingatkan Rocky Gerung agar tidak memberi jawaban yang melebar serta tidak sesuai dengan pertanyaan yang diberikan. "Saudara memberi jawaban sesuai keahlian saudara," kata Arthana dalam persidangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kuasa hukum Haris dan Fatia mendapat kesempatan pertama untuk mengajukan pertanyaan ke Rocky Gerung. Salah satu penasehat hukum mengawali dengan dengan menanyakan Rocky sempat mengajar di kampus mana saja. "Nama universitasnya lupa, tapi dalam 10 tahun terakhir mungkin 200 universitas," kata Rocky Gerung menjawab pertanyaan itu.
Kemudian Rocky Gerung menyebut beberapa nama universitas yang pernah dia ajar, yakni Universitas Indonesia, UPN, Sekola Staf dan Pimpinan Polri, Kalabahu, ITB, IPB, dan lainnya. Rocky Gerung juga mengaku sempat memberikan pelatihan di Mahkamah Agung, KPK, hingga Ombudsman, serta melakukan riset di bidang Hak Asasi Manusia.
Menjawab pertanyaan lainnya terkait jaminan kebebasan berekspresi, Rocky mengatakan dalam sejarah dan lingkungan akademik tidak ada batasan baik bentuk pikiran, ekspresi, dan lainnya. Rocky menyimpulkan kebebasan berekspresi dapat dilakukan di mana pun. Menurut dia, meski di institusi militer sekalipun dimungkinkan seseorang berselisih paham dengan pikirannya demi kejujuran akademis.
Jaksa Menilai Jawaban Rocky Gerung Subyektif
Saat giliran Jaksa Penuntut Umum (JPU) bertanya, jaksa meminta penjelasan dari Rocky ihwal standar untuk mengukur kebebasan berekspresi. Selain itu, muncul juga pertanyaan apakah kebebasan berekspresi di Indonesia bersifat absolut.
Akan tetapi, menurut jaksa, jawaban Rocky soal kebebasan berekspresi terlalu subjektif. Padahal, jaksa mengklaim, pertanyaan yang mereka ajukan netral dan umum. Di tengah protes jaksa, Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana pun mencoba menengahi. “Saya cuma tanya pendapat ahli, kebebasan berekspresi itu apa sebetulnya?” tanya Cokorda.
Rocky menjawab bahwa kebebasan berekspresi sudah pasti mengandung pandangan yang subjektif. “Ekspresi saya hasil subjektivisme saya sebagai otonomi. Setiap saya ucapkan ekspresi, saya di-drive oleh kemanusiaan, tidak boleh berbohong di situ,” kata Rocky.
Jaksa kemudian mengingatkan lima aturan menjadi saksi persidangan, yakni kualifikasi, topik, jenis keterangan ahli, bercorak kesaksian, dan objektivitas.
“Apa yang saudara Rocky jelaskan, tanpa mengurangi rasa hormat, kami tetap melihat subjektivitas konflik kepentingan, karena yang bersangkutan juga dalam permasalahan. Jadi sangat tidak mungkin melepaskan subjektivitas dalam masalah,” ucap seorang jaksa.
Jaksa penuntut umum kemudian memutuskan tak mau melanjutkan pertanyaan karena selalu mendapat jawaban dari Rocky yang mematahkan pendapat jaksa. Hingga Jaksa menganggap bertanya ke Rocky adalah hal yang tak berfaedah.
"Oleh karena itu, kami menutup untuk tidak melanjutkan pertanyaan karena tidak memiliki faedah dalam pembuktian kami,” kata salah satu JPU.
Rocky Gerung Menilai Jaksa Baper
Rocky Gerung menilai jaksa penuntut umum bersikap baper (bawa perasaan) dalam sidang Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Rocky menjelaskan banyak pertanyaan jaksa yang tidak mempunyai inti atau poin masalah.
"Dia bilang subyektivitas bukan subyektivisme, justru dia tidak mengerti," kata Rocky kepada TEMPO usai menjadi saksi di persidangan.
Lebih lanjut, Rocky mengatakan jaksa menilai dirinya subyektif karena terseret kasus penghinaan presiden. Rocky mengaku menyadari itu. Tapi, menurutnya, apapun kedudukannya, saksi ahli diminta karena pengetahuannya. Dalam kasus persidangan ini, dia menyebut soal freedom speech. "Jadi yang subyektif siapa? Ya, jaksanya yang lihat saya subyektif itu," tuturnya.
Dia melanjutkan penilaiannya bahwa jaksa, dalam persidangan itu, tidak bisa mengajukan pertanyaan akademis. "Karena itu dia sebetulnya takut saya permainkan pertanyaannya dua kali, kalau dia menganggap subyektif maka dia gak mau tanya lagi. Baper jaksanya, banyak pertanyaan gak poin," tuturnya.
Jaksa juga disebutnya harus belajar debat. "Itu yang saya anggap tidak bermutu keadaannya, bukan seolah-olah tapi memang saya sepelekan, terus dia gak mau bertanya, psikologinya terganggu."
RIZKI DEWI AYU | DESTY LUTHFIANI