ADA berita elok untuk urang awak di rantau. Bukittinggi
sekarang sudah bisa menangkap siaran televisi dari Singapura
atau Malaysia. Dengan munculnya kesempatan menghibur diri di,
rumah ini, mungkin semangat pulang basamo bakal lebih menggalak
- terutama bagi kalangan anak muda yang lahir di rantau dan
enggan menengok tanah ibunya lantaran kampung itu dipandang
sunyi. Tapi kini tentu soalnya jadi lain.
Siaran televisi dari negeri tetangga itu bisa ditangkap baru
sekitar bulan-bulan belakangan ini. Sebelum itu pesawat teve
memang sudah jadi barang pajangan di toko, dengan harapan bila
kelak (mungkin April ini) seluk-beluk peralatan elektroniknya
rampung, tentu siaran Jakarta bisa diterima. Tapi pada suatu
hari ada seorang pedagang televisi di Jalan Minangkabau
iseng-iseng mengutak-atik pesawat itu. Eh, tahutahu nongol
gambar seorang nona sedang menyanyi. Asalnya dari Singapura.
Tentu saja kabar itu cepat tersiar luas, dan pendudukpun
beramai-ramai datang ingin menonton. Tak tunggu lama, esoknya
orangpun mulai merogoh koceknya dan mendatangi toko.
Sampai-sampai para pedagang agak kewalahan melayani pesanan.
Sampai awal Maret ini sedikitnya ditaksir "sudah 60 pesawat yang
dimiliki warga kota", begitu menurut Sekwilda drs Anwar Syarif
kepada Muchlis Sulin dari TEMPO. Taksiran itu mungkin tak
meleset, menilik sudah mulai menyoloknya antena teve yang
mencuat di langit Bukittinggi. Baik di Pasar Bawah, tengah sawah
sampai rumah mentereng di sepanjang Atas Ngarai.
Melihat dari tingginya tiang antena itu, bisa dipastikan
harganyapun tidak rendah. Seperti halnya di Pekanbaru atau
Jambi, atau Pontianak (yang sama menggaet siaran dari negara
jiran itu), maka harga pemancangan sebuah antena mencapai Rp 100
ribu lebih. Sedangkan harga satu pesawat berkisar mulai Rp 120
ribu sampai Rp 300 ribu. Pada saat ini belum lagi bisa dicatat
pesawat merek apa saja yang laku keras. Sebab berbarengan dengan
semangat berteve ini, biasanya orang belum keliwat cerewet
dengan merek, meskipun harga itu bisa melonjak juga karena
barang sedang laku keras. Untuk sementara pesawat-pesawat itu
belum dipungut pajak."Mereka kan mengambil siaran luar negeri",
kata Anwar.
Lain di Padang
Tapi baik juga diketahui, siaran dari Singapura atau Kuala
Lumpur itu tak selamanya bisa diterima dengan bagus. Banyak
tergantung cuaca. Maklum. "Kalau cuaca sedang jelek, gambar
dapat tapi suara hilang - macam film bisu", tutur Ismed Ramli,
pemakai pesawat teve yang berdiam di Belakang Balok. Atau bila
cuaca terlalu jelek, maka terima nasib sajalah bagai menonton
gambar setan berkejaran di layar.
Lalu kapan giliran TV-RI Jakarta bakal memasuki Sumatera Barat?
"Kita masih memasang peralatan dan menara di Bukit Gompong dan
Pandai Sikat" kata Jamalul Abidin. Asisten pimpinan proyek TV-RI
Sumater Barat ini juga dikenal sebagai Kepala RRI Padang,
selanjutnya mengungkapkan bahwa pekerjaan sipil kini sudah
selesai. Begitu pula stasion relay di Jati berikut jaringan
pemancar ke segenap pelosok
Dalam pada itu, di kota Padang lain lagi ceritanya. Pesawat
televisi sudah ada juga, tapi tak bisa menangkap siaran
Singapura itu. Sebab kotanya lebih rendah ketimbang
Bukittinggi. Tapi saat ini orang justru bisa menerima siaran
TV-RI Jakarta. Mungkin ganjil juga. Begini caranya: stasion bumi
di Limau Manis Padang Luar Kota rupanya sudah berfungsi, dan
bisa main mata dengan Palapa. Dari sana diteruskanlke sebuah
stasion relay darurat yang berlokasi di Kantor Telepon Padang,
dan dengan sebuah alat bcrkekuatan 100 watt membonceng di antena
telekom sehingga siaran itu bisa diterima di rumah-rumah
penduduk. "Siaran ini akan bisa berlangsung sampai proyek TV-RI
selesai", kata Daud Suriadi, Kepala Daerah Telekomunikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini