Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Monumen Holocaust di Berlin, Jerman, menjadi prasasti untuk mengenang genosida Yahudi.
Monumen itu kini menjadi magnet wisatawan internasional dengan ratusan ribu pengunjung setiap tahun.
Pembangunannya kontroversial dan hingga kini masih diperdebatkan.
MUSIM gugur terasa kelabu di Jerman. Pagi itu, akhir November 2024, di tengah cuaca dingin yang membuat tubuh menggigil, sekelompok wisatawan tampak berjalan di antara ribuan prasasti beton berkelir abu-abu di pusat Kota Berlin. Ini adalah Memorial untuk Orang-orang Yahudi yang Terbunuh di Eropa, yang sering dijuluki Monumen Holocaust. Monumen ini memang dibangun untuk mengenang Holocaust, genosida terhadap kaum Yahudi oleh rezim Nazi Jerman pimpinan Kanselir Jerman Adolf Hitler di masa Perang Dunia II. Diperkirakan sekitar 6 juta orang Yahudi tewas dalam pembantaian itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Monumen ini dibikin pada 2000 atas keputusan Bundestag, parlemen Federal Jerman, dan resmi dibuka pada 2005. Peter Eisenman, arsitek New York, Amerika Serikat, memasang 2.711 prasasti beton yang tersebar di lapangan seluas sekitar 19 ribu meter persegi, sedikit lebih luas dari Taman Suropati di Jakarta. Prasasti berbentuk kotak panjang itu tingginya berbeda-beda dengan lebar sekitar 95 sentimeter dan panjang 2,38 meter. Pembangunannya menelan biaya 27 juta euro dan pemerintah menganggarkan 2 juta euro per tahun untuk pemeliharaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam diam para pengunjung, yang kebanyakan dalam rombongan, berjalan di antara prasasti-prasasti itu. Satu per satu mereka melintasi lorong-lorong yang terbentuk di antara prasasti. Sebagian orang berdiri dan memanjatkan doa. Sebagian lainnya mengelilingi monumen dalam balutan jaket tebal musim dingin.
Chutintra berdiri mematung tanpa kata-kata. Ini pertama kalinya turis asal Thailand itu melangkah di antara prasasti-prasasti tersebut. “Bulu kuduk saya merinding membayangkan penderitaan orang-orang Yahudi,” katanya pada Sabtu, 23 November 2024.
Chutintra tidak berswafoto dengan alasan tak tahan membayangkan kengerian suara tangisan korban kekejaman tentara Nazi seperti di film yang pernah dia tonton. Berdiri dalam keheningan, dia sejenak merapal doa untuk para korban Nazi. Kesunyian itu kontras dengan kebisingan Kota Berlin. Monumen itu terletak di Jalan Cora Berliner, tak jauh dari Gerbang Brandenburg, salah satu tengaran terkenal di jantung kota tersebut.
Wisatawan India di Monumen Holocaust di pusat Kota Berlin, Jerman, 23 November 2024. Tempo/Shinta Maharani
Setahun setelah resmi dibuka, monumen itu tercatat telah dikunjungi 3,5 juta orang. Sekitar 500 ribu orang mengunjungi Pusat Informasi, yang berdiri di dekat monumen dan menyajikan pameran permanen mengenai dokumentasi genosida kaum Yahudi di Eropa. Pada 2016, Menteri Kebudayaan Jerman Monika Grütters menyalami pengunjung Monumen Holocaust yang kelima juta. Deutsche Welle melaporkan bahwa 475 ribu orang telah berkunjung sepanjang 2015. Beberapa tokoh yang menjadi tamu negara Jerman juga sering menengok monumen ini, seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron dan ibu negara Brigitte Macron, Presiden Israel Isaac Herzog, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony J. Blinken, serta Michelle Obama.
Banyak pengunjung melakukan ritual berkabung di sini, seperti meletakkan bunga, lilin, atau batu; berdiri merenung di dekat prasasti; dan berdoa. Namun beberapa orang melakukan vandalisme, seperti mencoretnya dengan slogan tertentu, bintang Daud, dan bahkan swastika, lambang Nazi Jerman, meskipun segera dihapus oleh petugas kebersihan.
Hanya sepelemparan batu dari monumen itu terdapat bekas bunker tempat Hitler dan kekasihnya, Eva Braun, bersembunyi. Bekas bunker itu kini menjadi lahan parkir, tak jauh dari pusat belanja yang mengelilingi Potsdamer Platz, alun-alun dan persimpangan jalan penting di Berlin. “Hitler bunuh diri di Potsdamer Platz,” ucap Finn Ballard, sejarawan yang juga pemandu wisata di Jerman. Keduanya tewas pada 30 April 1945 setelah Jerman kalah oleh Sekutu.
S
ELAMA Perang Dunia II, Adolf Hitler memerintahkan anak buahnya membunuh orang-orang Yahudi, difabel, homoseksual, dan lawan politiknya. Nazi mengkategorikan kelompok ini sebagai benalu dan sampah yang layak dimusnahkan. Tentara Nazi menggiring jutaan orang Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi seperti hewan ternak. Salah satu kamp yang paling mengerikan berada di Auschwitz, pinggiran Polandia. Sekitar 3 juta orang Yahudi dibunuh di Polandia dan sisanya di negara-negara Eropa lain. Mereka menjalani kerja paksa, mati kelaparan, disiksa, dan dimusnahkan.
Pasukan elite Nazi, Schutzstaffel (SS), memasukkan anak-anak, perempuan, orang sakit, dan orang jompo ke kamar gas beracun hingga mati. Mayat-mayat mereka kemudian dibakar di krematorium. Salah satu komandan SS dari kamp konsentrasi dan pemusnahan Auschwitz, Rudolf Höss, bertanggung jawab atas pembunuhan massal dari “solusi akhir”—Nazi menyebutnya demikian—untuk masalah Yahudi di Eropa.
Sejarah kelam Nazi itu mengingatkan saya pada film dan berbagai bacaan bertema Holocaust, seperti The Pianist, Schindler's List, The Boy in the Striped Pajamas, dan Inglourious Basterds. Yang terbaru, saya menonton The Zone of Interest. Film peraih Piala Oscar besutan sutradara Jonathan Glazer itu menyuguhkan kengerian melalui suara jeritan dan teriakan orang-orang Yahudi serta tembakan dari balik tembok kamp konsentrasi Auschwitz. Asap hitam yang keluar dari cerobong kamp konsentrasi menambah kengerian, gambaran pembakaran mayat orang Yahudi yang diracun dengan gas zyklon B, gas hidrogen sianida yang dapat membunuh orang dalam dua menit. Di samping kamp, Rudolf Höss beserta istri dan anak-anaknya tinggal di rumah yang ditumbuhi bunga-bunga bermekaran, kolam renang, dan makanan yang melimpah. Keluarga itu hidup seperti biasa saja, tak terganggu sedikit pun oleh jeritan dari kamp konsentrasi.
Sekitar 15 menit berjalan kaki dari Monumen Holocaust, berdiri Topografi Teror, museum sejarah di bekas kantor utama perwira elite SS dan markas Gestapo atau pasukan polisi rahasia selama rezim Nazi berkuasa (1933-1945). Di sinilah pemimpin SS, Heinrich Himmler, dan pejabat lain berkantor dan merancang genosida terhadap kaum Yahudi di seluruh Eropa. Petinggi Nazi juga merancang “solusi akhir” yang dibicarakan dalam Konferensi Wannsee pada 20 Januari 1942, yakni memutuskan untuk mendeportasi orang Yahudi ke kamp konsentrasi di Polandia.
Museum yang dibuka pada 2010 itu terletak di Niederkirchnerstraße, yang tak jauh dari gedung-gedung pemerintahan. Di sekitarnya terdapat gedung parlemen Negara Bagian Berlin. Di sepanjang kawasan itu terdapat sisa-sisa Tembok Berlin, tembok yang memisahkan Berlin Timur dengan Berlin Barat di masa Perang Dingin. Pada 1989, Tembok Berlin runtuh dan terjadi penyatuan Jerman.
Pintu masuk Topografi Teror, museum sejarah bekas markas utama perwira elite SS dan markas Gestapo atau pasukan polisi rahasia selama rezim Nazi berkuasa (1933-1945), di Berlin, Jerman, 23 November 2024. Tempo/Shinta Maharani
Dinding batu bata yang terlihat seperti reruntuhan itu memajang papan informasi dan berbagai foto hitam-putih tentang Republik Jerman Weimar, republik parlementer yang didirikan pada 1919 di Jerman untuk menggantikan kekaisaran Jerman sebelum dikuasai Hitler yang fasis. Bangunan berdinding batu bata yang tak utuh itu tampak suram.
Di lokasi yang sama terdapat pusat dokumentasi Topografi Teror di dalam ruangan. Batu bata itu memanjang di bawah pusat dokumentasi. Bangunan berwarna abu-abu berdinding kaca pada bagian depan itu menyajikan foto-foto hitam-putih pelaku pembantaian orang-orang Yahudi yang masih muda. “Hitler dulu jarang berkantor di sini. Dia kembali ke Berlin pada 1945,” ujar Finn Ballard.
Museum Topografi Teror berada persis di antara Monumen Holocaust dan Museum Yahudi. Seperti namanya, museum itu membawa pesan tentang teror yang terjadi di Jerman di bawah kepemimpinan diktator Hitler.
Saya menemui warga Jerman yang juga peneliti seni dan keadilan sosial global, Camilla Kussl, di flatnya di Berlin untuk mengetahui pandangan orang Jerman terhadap Holocaust. Dia menjelaskan, bagi orang Jerman, Holocaust merupakan tragedi kemanusiaan yang paling mengerikan dan memalukan sehingga monumen dan museum menjadi penting sebagai pengingat kekejaman rezim Nazi.
Dari museum itu orang bisa melihat sejarah korban Nazi berdasarkan data dan dokumen yang tersedia, seperti foto dan nama korban Holocaust, baik yang tewas maupun selamat. Melalui foto dan dokumen lain, orang-orang juga bisa mendapatkan gambaran kejahatan Nazi itu berlangsung secara sistematis dan melibatkan negara. “Monumen Holocaust menjadi penanda agar peristiwa serupa tak terulang,” ucap Kussl.
Penyangkalan terhadap kekejaman Nazi, menurut Kussl, tidak masuk akal karena semua dokumen atau data sudah tersedia dan bisa ditelusuri. Orang-orang Jerman, dia mengimbuhkan, memiliki tanggung jawab untuk tidak menormalisasi kekejian Nazi karena Holocaust telah menghancurkan kehidupan manusia dan keluarga menjadi tercerai-berai. Sebagian korban tewas di kamp konsentrasi. Sebagian yang selamat bermukim di Jerman ataupun negara-negara Eropa dan Amerika.
Jewish Claims Conference, yang mengadvokasi kompensasi terhadap korban Holocaust, merilis data tentang penyintas Holocaust yang selamat dan masih hidup saat ini. Terdapat 245 ribu penyintas dengan usia rata-rata 86 tahun. Sebanyak 95 persen penyintas dulu adalah anak-anak berumur 7 tahun. Mereka bermukim di 90 negara di seluruh dunia. Sebanyak 49 persen tinggal di Israel, 18 persen di Eropa Barat, 18 persen di Amerika Utara, dan 12 persen di negara-negara bekas Uni Soviet. Sebanyak 14.200 atau 5,8 persen penyintas memilih tinggal di Jerman, yang belakangan harus menghadapi kebangkitan kelompok Neo-Nazi atau ekstrem kanan.
Sisi luar Topografi Teror di Berlin, Jerman, 23 November 2024. Tempo/Shinta Maharani
Selain membangun museum dan monumen, pemerintah Jerman, Kussl menambahkan, membayar restitusi dan kompensasi kepada para korban Holocaust yang selamat dan ahli warisnya sebagai bagian dari tanggung jawab negara. Kekejaman Nazi bagi warga Jerman telah menyisakan luka dan trauma sehingga mereka sangat berhati-hati dengan segala tindakan yang mengarah pada hal-hal atau tindakan yang berhubungan dengan Nazi, misalnya simbol-simbol yang digunakan Nazi di ruang publik. Perdebatan tentang simbol-simbol itu belum selesai hingga sekarang.
Kussl mencontohkan penurunan sebuah karya dalam pameran seni rupa kontemporer Documenta 15 yang dikurasi Ruangrupa, kelompok seni Indonesia, di Kassel. Peristiwa itu terjadi pada 20 Juni 2022. Taring Padi, kelompok seni Yogyakarta, memasang People’s Justice, sebuah baliho raksasa yang sebenarnya merupakan kritik terhadap kasus kekerasan, kejahatan kemanusiaan yang belum terselesaikan, hingga pembunuhan massal 1965 pada masa rezim militer Orde Baru berkuasa di Indonesia. Taring Padi memasukkan berbagai simbol kekejian itu di sana, seperti orang bertopi hitam bertulisan “SS” dan sebarisan tentara dengan helm atau topik bertulisan “SS”, “Mossad”, “KGB”, dan “007”, serta sosok manusia berkepala babi dengan syal bergambar bintang Daud.
Sekelompok orang mempersoalkan gambar karikatural itu sebagai anti-Semit dan panitia kemudian menurunkannya. Dalam pernyataan terbuka seusai peristiwa tersebut, Taring Padi menjelaskan bahwa simbol-simbol visual itu mesti dilihat dalam konteks spesifik Indonesia dan mereka sama sekali tidak bermaksud menampilkan sikap anti-Semit atau menolak ras tertentu. Namun mereka juga meminta maaf atas kealpaan tersebut dan menerima karya mereka diturunkan. Ruangrupa sebagai kurator juga meminta maaf atas pemasangan karya yang menampilkan stereotipe klasik anti-Semitisme itu. Dalam penutupan Documenta 15, ribuan warga Kassel datang memberi dukungan dan penghormatan terhadap Ruangrupa. Namun berbagai diskusi dan forum yang membicarakan peristiwa itu, Kussl mengimbuhkan, belum rampung dan masih terdapat perdebatan.
Rabi Yaakov Baruch, pemimpin komunitas Yahudi di Tondano, Sulawesi Utara, menuturkan bahwa jumlah penyintas Holocaust yang tinggal di Jerman paling sedikit dibanding di negara-negara Eropa lain karena mereka merasa trauma dan sebagian memilih tidak kembali ke Jerman. Bagi orang Yahudi, Holocaust merupakan persekusi terbesar yang membuat mereka mengalami trauma dan menutupi identitas mereka. Setelah Holocaust, banyak orang Yahudi yang menyembunyikan jati diri mereka dengan menjadi sekuler dan ateis untuk melindungi keturunan mereka supaya selamat dari persekusi kalangan anti-Semit.
Saking mengalami trauma, sebagian orang Yahudi bahkan enggan membicarakan Holocaust. Sebagian lagi kemudian membangun museum Holocaust untuk mengenang korban. Selain itu, museum tersebut menjadi pelajaran bahwa kebencian dan rasisme sangat berbahaya karena melahirkan tindakan barbar, yakni genosida.
Beban sejarah dan trauma itulah, Yaakov menjelaskan, yang membuat pemerintah Jerman mendukung Israel, yang menjadi representasi Yahudi dan negara dengan jumlah penyintas Holocaust paling banyak. Jerman tidak mau dianggap anti-Semit dan memikul tanggung jawab terhadap Israel akibat genosida oleh Nazi terhadap orang-orang Yahudi selama Perang Dunia II.
Itulah penyebab Jerman mendukung Israel mempertahankan diri dari teror Hamas setelah serangan 7 Oktober 2023 dan menolak tuduhan genosida kepada Israel di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. “Mereka merasa punya utang besar sehingga akan melindungi orang-orang Yahudi dengan segenap cara,” tutur Yaakov, dosen Program Studi Hukum Humaniter dan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Pada 2023, Yaakov mendapat undangan dari Kementerian Luar Negeri Jerman untuk menghadiri pertemuan dengan pemerhati Museum Holocaust, kurator, dan jurnalis dari luar Jerman, seperti Australia, Belarus, dan Cek. Pemerintah Jerman membuka diri bagi orang-orang yang hendak membangun kembali komunitas Yahudi dan merenovasi peninggalan-peninggalan Yahudi, seperti sinagoge yang hancur setelah Holocaust.
Orang-orang Yahudi, Yaakov menambahkan, membangun tugu peringatan atau monumen untuk mengenang Holocaust. Yang membangun museum biasanya pemerintah atau organisasi Yahudi yang ingin mengajarkan perihal Holocaust dan memerangi anti-Semitisme.
Monumen Holocaust telah menjadi daya tarik wisatawan di Berlin. Sebanyak 40 persen di antara 490 ribu pengunjung pada 2006 adalah wisatawan asing dari seratus negara, yang kebanyakan dari Israel dan Amerika Serikat. “Ada keheningan yang bermartabat di tempat ini. Monumen ini adalah magnet wisata dan perilaku di ranah tugu peringatan adalah cerminan masyarakat kita,” ucap Uwe Neumärker, Direktur Yayasan Memorial untuk Orang-orang Yahudi yang Terbunuh di Eropa, kepada Tagesspiegel.
Neumärker menuturkan, banyak pihak mendukung monumen ini. Duta Besar Amerika Serikat untuk Jerman, William R. Timken, pada masa itu secara teratur menunjukkan kepada tamu-tamunya prasasti di Monumen Holocaust di sebelah kantor Kedutaan Besar Amerika. Tapi Neumärker juga mengakui bahwa vandalisme masih terjadi sana. “Kami menemukan 5 swastika, 4 bintang Daud, dan 1 grafiti,” ujarnya.
Pembangunan monumen itu kontroversial dan perdebatannya belum reda hingga kini. Sejak rencana pendiriannya diumumkan, beberapa kelompok menentang atau mengkritiknya. Secara khusus, perwakilan komunitas Sinti dan Roma menilai monumen itu mengabaikan korban Holocaust selain kaum Yahudi dan menuduh adanya “hierarki” korban. Mereka adalah kelompok minoritas yang sudah tinggal di Jerman sejak ratusan tahun lalu dan menjadi sasaran pembersihan Nazi. Populasinya kini diperkirakan mencapai 150 ribu orang.
Lea Rosh, jurnalis Jerman yang memperjuangkan pendirian monumen itu, memperkirakan separuh penduduk Jerman sudah menerima monumen tersebut dan separuh lainnya tidak menganggapnya baik atau tidak perlu. “Selalu ada perdebatan mengenai monumen ini. Itu merupakan hal yang baik. Sebab, selama orang-orang membicarakannya, monumen tersebut akan tetap hidup,” kata Neumärker. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbid di bawah judul Monumen Holocaust yang Sunyi