Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Pameran Lukisan Van Gogh di Amsterdam

Pameran lukisan Vincent van Gogh pada hari-hari terakhirnya. Memperingati 50 tahun museum keluarga Van Gogh.

6 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran lukisan di Museum Van Gogh.

  • Peringatan 50 tahun Museum Van Gogh.

  • Memamerkan lukisan hari-hari terakhir sang pelukis.

PADA 1911, Johannes Du Bois, seorang art dealer dari Den Haag, Belanda, mendatangi Johanna Gezina van Gogh-Bonger atas nama seorang kolektor seni kaya yang ingin membeli semua koleksi lukisan Vincent van Gogh. “Meskipun harga yang saya tawarkan luar biasa tinggi, sambil tersenyum tenang dia (Johanna) mempersilakan saya pergi,” tulis Du Bois di harian Haarlems Dagblad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Johanna Gezina van Gogh-Bonger adalah janda Theo van Gogh, adik dan orang terdekat dalam hidup Van Gogh. Jo—sapaan Johanna Gezina van Gogh-Bonger—baru berumur 28 tahun ketika suaminya yang berusia 33 tahun meninggal pada 25 Januari 1891 di Paris, hanya enam bulan setelah Vincent van Gogh mengambil nyawanya sendiri di Auvers-sur-Oise, desa kecil di luar Paris. Selain menanggung kehilangan suaminya, Jo dan anak tunggalnya mewarisi semua karya sang kakak ipar yang lajang: ratusan lukisan dan sketsa hasil jerih payah Van Gogh selama sepuluh tahun sebagai seniman yang hanya berhasil menjual satu karya semasa hidup. Theo, seorang art dealer yang cukup berhasil, selalu setia mendampingi upaya seni Van Gogh secara moral dan material.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vincent Willem van Gogh lahir pada 30 Maret 1853 di Zundert, desa di sebelah selatan Belanda, dari pasangan pendeta Theodorus dan Anna van Gogh. Dari kelima adiknya, Van Gogh selalu paling dekat dengan Theo yang empat tahun lebih muda. Van Gogh, otodidak yang baru mulai melukis pada usia 27 tahun, amat produktif berkarya selama sepuluh tahun, sampai dia menembak dirinya sendiri dan meninggal. Seniman cemerlang dan sensitif ini sepanjang hidupnya menderita depresi dan amat bergantung pada Theo.

“Jo ditinggal sendiri hanya dengan seorang bayi dan tumpukan lukisan yang saat itu sama sekali tidak diminati orang,” tutur Janne Heling, generasi kelima keturunan Theo van Gogh, dalam acara siniar "Van Gogh en de weg naar wereldroem" (Van Gogh dan perjalanan menuju ketenaran yang mendunia).

Walau hampir semua orang menyarankan Jo yang tidak punya latar belakang seni untuk menyerahkan tanggung jawab atas karya Van Gogh kepada orang lain, dia berkeras: “Tidak, aku akan kerjakan semuanya sendiri, demi Vincent dan Theo,” ucap Jo, seperti dikutip oleh Janne Heling. Hans Luijten, penulis biografi Johanna van Gogh-Bonger, menekankan dalam siniar yang sama bahwa Jo yakin akan kebesaran Van Gogh dan juga menginginkan usaha Theo mendukung kakaknya selama sepuluh tahun tidak sia-sia.

Jo dan anaknya, yang mewarisi nama pamannya, pulang ke Belanda dan memulai upayanya untuk mengharumkan karya Van Gogh. Dengan keandalan dan kegigihan yang luar biasa, Jo sedikit demi sedikit membangun reputasi Van Gogh. Pada 1905, dia menggelar pameran terbesar Van Gogh di Stedelijk, museum seni modern paling terkemuka di Belanda.

Ketika karya Van Gogh mulai menarik pembeli, Jo tetap hanya menjual secukupnya, dan terutama hati-hati dengan karya-karya papan atas Van Gogh. “Jo sebisanya menjual ke museum supaya karya Vincent lebih dihargai,” kata Luijten. “Dia ingin bahwa karya Van Gogh tidak hanya dinikmati oleh segelintir kolektor, tapi oleh masyarakat umum. Itu sesuai dengan kehendak Vincent, yang yakin bahwa seni adalah tentang dan untuk rakyat jelata.” 

Satu lagi langkah cemerlang Jo adalah penerbitan ratusan surat Van Gogh, yang terutama berkorespondensi dengan adiknya, Theo. Surat-surat itu memberi publik pengertian tentang idealisme, pemikiran, dan motivasi Van Gogh, juga pergulatannya dengan depresi, yang akhirnya merenggut nyawanya.

Setelah Jo meninggal pada 1925, semua warisan Van Gogh jatuh kepada anak tunggalnya, Vincent Willem van Gogh, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sang Insinyur. Selaras dengan jalan yang sudah dirintis ibunya, Willem berhenti menjual karya pamannya sehingga kurang-lebih setengah dari semua hasil kerja Van Gogh—200 lukisan serta ratusan sketsa dan surat—masih berada di tangannya.

Sang Insinyur kemudian mengambil keputusan yang berdampak besar untuk keluarganya: semua koleksi Van Gogh tidak dia wariskan kepada ketiga anaknya. Peninggalan Van Gogh dia masukkan ke yayasan yang lalu diambil alih pemerintah Belanda pada 1962 dengan imbalan 15 juta gulden atau sekitar 52,5 juta euro dalam valuta sekarang. Imbalan ini, walaupun tinggi, jauh di bawah nilai koleksi tersebut karena lukisan-lukisan Van Gogh telah masuk kategori karya seni termahal di dunia. Tahun lalu, misalnya, lukisan Champs près des Alpilles (Lapangan dekat Alpilles) terjual di kantor lelang Christie’s seharga US$ 51 juta (46,4 juta euro) menurut situs Art in Context. Lukisan Van Gogh yang termahal, Portrait du Docteur Gachet (Potret Dokter Gachet), ditaksir bernilai 135 juta euro.

Ketiga anak Sang Insinyur melepaskan warisan yang amat besar dengan penghibahan koleksi keluarga mereka kepada pemerintah Belanda. “Keluarga Van Gogh memang idealis dari dulu,” kata ahli Van Gogh, Wouter van der Veen, lewat sambungan telepon dari Strasbourg, Prancis, kepada Tempo, Senin, 31 Juli lalu. “Mereka mengesampingkan kepentingan pribadi untuk tujuan yang lebih mulia.” Willem van Gogh, cucu tertua Sang Insinyur, menuturkan, “Harapan Kakek adalah bahwa koleksi (Van Gogh) tetap utuh. Seperti ibunya, yang sengaja tidak menjual karya-karya yang penting. Kisah koleksi ini adalah kisah keluarga kami.” Willem menyampaikan hal itu kepada harian Volkskrant

Poster pameran "Van Gogh in Auvers", di Museum Van Gogh, Amsterdam, Belanda. Linawati Sidarto

Karya-karya inilah yang memungkinkan berdirinya Museum Van Gogh, yang diresmikan Ratu Juliana pada 2 Juni 1973 di Amsterdam. “Keluarga masih terlibat erat dengan Museum Van Gogh,” tutur seorang juru bicara Museum Van Gogh kepada Tempo di Amsterdam, Selasa, 1 Agustus lalu. “Museum Van Gogh tak akan ada tanpa dukungan penuh mereka.” Janne Heling, cicit Sang Insinyur, sekarang mengepalai Yayasan Vincent van Gogh, sedangkan Willem van Gogh adalah duta besar Museum, yang antara lain menjadi perantara dengan kolektor Van Gogh di luar Belanda.

Awalnya, gedung museum rancangan arsitek kawakan Belanda, Gerrit Rietveld, dibangun untuk menampung sekitar 60 ribu pengunjung per tahun. Hal itu dinyatakan Louis van Tilborgh, guru besar sejarah seni Universiteit van Amsterdam dan peneliti senior Museum Van Gogh. Tapi angka pengunjung itu naik terus. “Sampai bulan-bulan sebelum masa pandemi corona, museum dikunjungi lebih dari 2 juta orang,” tutur Van Tilborgh dalam siniar "Van Gogh en de weg naar wereldroem".

Berdasarkan perkiraan Museum, 52,3 juta pengunjung telah melewati pintu mereka dalam setengah abad ini, seperti diberitakan harian Volkskrant. Dilema ini, Wouter van der Veen menjelaskan kepada Tempo, menjadikan Museum Van Gogh salah satu museum pertama yang berusaha membatasi jumlah tamu guna mengoptimalkan kenyamanan kunjungan. “Supaya orang tidak berdesakan di depan satu lukisan,” ucap Van der Veen. Sayap baru museum—rancangan arsitek Jepang, Kisho Kurokawa—dibuka pada 1999. Pada 2015, sebuah gedung kaca baru di antara kedua sayap membantu memperluas museum. 

Walau pengunjung tidak sampai berdesakan, pameran "Van Gogh in Auvers: Zijn laatste maanden" (Van Gogh di Auvers: bulan-bulan terakhirnya) di dalam museum pada Senin siang, 31 Juli lalu, boleh dibilang ramai. Eksposisi ini berlangsung dari 12 Mei lalu sampai 3 September mendatang. "Ini adalah pameran utama dalam perayaan 50 tahun museum kami," ujar juru bicara Museum kepada Tempo. Tema ini dipilih karena relatif belum banyak penelitian yang telah dilakukan tentang periode terakhir hidup Van Gogh. “Karena itu, Museum Van Gogh bekerja sama dengan (museum seni modern utama Prancis) Musée d’Orsay untuk menyelenggarakan pameran berskala besar tentang topik ini,” dia menjelaskan. 

Van Gogh tinggal di Desa Auvers-sur-Oise selama 70 hari sampai dia meninggal di sana. Dalam periode tersebut, dia menghasilkan 74 lukisan: lebih dari satu per hari. “Karya-karya ini menunjukkan berbagai gaya lukisan dengan guratan yang hidup dan wujud yang bergelombang,” begitu kata pengantar di awal pameran yang mengisi tiga ruangan di tiga lantai museum. "Yang istimewa adalah 50 dari lukisan Auvers-sur-Oise terkumpul di pameran ini, walau Museum Van Gogh hanya memiliki kurang dari sepuluh dari semua lukisan periode krusial ini," tutur Wouter van der Veen. Ini dilatarbelakangi cerita yang tragis. Menurut Van der Veen, hasil karya Van Gogh selama dia tinggal di Auvers berada di ruangan tempat jenazahnya disemayamkan sebelum penguburan. Theo, yang dilanda duka, sambil menangis mempersilakan mereka yang hadir untuk mengambil lukisan mana pun yang mereka inginkan. 

“Karena itu, sebagian besar karya Vincent di Auvers tersebar di mana-mana,” kata Van der Veen, yang berperan besar tiga tahun yang lalu dalam menemukan lokasi Van Gogh melukis karyanya yang terakhir, Tree Roots (Akar Pohon), yang juga digantung dalam pameran tahun ini. Penemuan Van der Veen ini dianggap amat penting karena memberi kejelasan tentang hari-hari terakhir Van Gogh di Auvers-sur-Oise.

Pengunjung melihat sketsa dan lukisan "Het huis van père Pillon" karya Vincent van Gogh, di pameran "Van Gogh in Auvers", di Museum Van Gogh, Amsterdam, Belanda, 31 Juli 2023. Linawati Sidarto

Di antara 50 lukisan Van Gogh yang dipamerkan, beberapa termasuk karya paling terkenal, seperti Zelfportret (Potret Diri) dan Korenveld met kraaien (Ladang jagung dengan gagak). Sebagian besar lukisan dalam eksposisi ini dipinjam dari puluhan museum, galeri, dan kolektor pribadi dari delapan negara.

Selain lukisan, ruangan ketiga di lantai atas khusus menggarisbawahi akhir hidup Van Gogh, termasuk surat-surat duka dari keluarga Van Gogh di Belanda dan teman-temannya, seperti pelukis Prancis, Paul Gauguin. Juga tertera keterangan tentang dampak kesehatan mental dan bahaya bunuh diri. "Ini kelihatan selaras dengan misi Museum Van Gogh, yang juga harus punya peran sosial di Kota Amsterdam,” ujar Jaap Brouwer, kurator pameran pertama yang diadakan di Museum Van Gogh pada 1973 dalam siniar "Van Gogh en de weg naar wereldroem". 

Karya Van Gogh menyentuh begitu banyak orang, Wouter van der Veen menerangkan, antara lain karena obyek lukisannya sederhana dan universal. “Siapa pun bisa memandang ke atas dan menikmati langit berbintang atau bunga di dalam jambangan. Van Gogh sanggup mengangkat keseharian itu ke tingkat yang sulit ditandingi,” tuturnya. 

Setelah digelarnya pameran lukisan Vincent Van Gogh di Auvers-sur-Oise, ulang tahun ke-50 Museum Van Gogh akan diakhiri dengan eksposisi "Van Gogh aan de Seine" (Van Gogh di tepi Sungai Seine), yang berlangsung dari 13 Oktober tahun ini sampai 14 Januari 2024.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "50 Tahun Museum Van Gogh dan Kisah Johanna Gezina"

Linawati Sidarto

Linawati Sidarto

Kontributor Tempo di Eropa

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus