Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nahdliyin Ketinggalan Kereta

Hubungan Istana dan Nahdlatul Ulama merenggang karena minimnya perwakilan kaum sarungan di Kabinet Indonesia Maju. NU menolak anggapan bahwa menteri dari Partai Kebangkitan Bangsa sama dengan wakil NU. Posisi wakil presiden disebut setara dengan lima menteri.

2 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAID Aqil Siroj mengisahkan dua tokoh Nahdlatul Ulama, Mohammad Hasyim Asy’ari dan Mahrus Ali, dalam acara doa bersama “Untuk Indonesia Aman dan Damai” di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Rabu, 30 Oktober lalu. Menurut Ketua Umum PBNU itu, saat masih hidup, Kiai Hasyim dan Kiai Mahrus menampik jabatan yang ditawarkan pemerintah.

Hasyim Asy’ari menolak menjadi Menteri Agama pada masa awal kemerdekaan. Pendiri NU itu menyorongkan tawaran tersebut kepada putranya, Abdul Wahid Hasyim. Sedangkan Mahrus Ali, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Jawa Timur, mengelak ketika ditawari menjadi anggota Konstituante pada 1955. “Para kiai zaman dulu dikasih jabatan menolak. Kalau sekarang?” ujar Kiai Said.

Hadirin menjawab ucapan Said dengan aneka celetuk, termasuk mengaitkannya dengan posisi menteri di Kabinet Indonesia Maju yang dibentuk Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Said berpesan kepada warga nahdliyin agar tidak berkecil hati jika tidak mendapat kursi di pemerintah. Ia mengingatkan para santri bahwa di pesantren tidak diajarkan merengek minta jabatan.

Menurut Said, sejarah mencatat banyak ulama yang ikut berjuang sampai berdarah-darah tidak mendapatkan apa-apa. “Yang tidak berdarah-darah malah menikmatinya,” ucap pengasuh Pondok Pesantren Kempek di Cirebon, Jawa Barat, ini.

Wakil Ketua Lembaga Dakwah PBNU Misbahul Munir mengatakan Said berceramah dalam acara tersebut untuk meredakan kekecewaan warga NU karena tidak ada menteri dari NU di Kabinet Indonesia Maju. “Biar tenang,” ujarnya, Rabu, 30 Oktober lalu. Misbahul juga hadir dalam acara doa bersama tersebut.

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Januari 2019. ANTARA/Puspa Perwitasari

Sepekan sebelumnya, sejumlah pengurus teras PBNU meriung di ruangan Said Aqil Siroj di lantai tiga gedung PBNU di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Hari itu, Presiden Jokowi baru saja mengumumkan susunan kabinetnya. Dalam pertemuan tersebut, salah seorang yang hadir mengungkapkan kekecewaannya lantaran dari 34 menteri Jokowi tidak ada satu pun yang mewakili NU. Mereka bertambah gusar karena Presiden menunjuk Fachrul Razi sebagai Menteri Agama, pos yang hampir selalu ditempati NU semenjak era reformasi. “Kiai di berbagai daerah menyatakan kekecewaannya dengan nada protes,” kata Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU Robikin Emhas.

Warga NU menganggap Fachrul tak mewakili golongan santri. Fachrul berlatar belakang militer dengan jabatan terakhir Wakil Panglima Tentara Nasional Indonesia pada 1999-2000. Dalam pemilihan presiden 2019, lulusan Akademi Militer 1970 itu memimpin Tim Bravo 5, kelompok pemenangan Jokowi-Ma’ruf yang beranggotakan purnawirawan TNI. Menurut Fachrul dalam wawancara dengan Tempo pada 24 Oktober lalu, salah satu tugas yang diberikan Presiden adalah meredam radikalisme agama, di luar masalah ekonomi, industri halal, dan haji di Kemente-rian Agama.

Wakil Ketua NU Jawa Timur Abdussa-lam Shohib menyebutkan penunjukan Fachrul adalah kekeliruan. Menurut pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif di Jombang ini, radikalisme berkembang dari pemahaman agama yang salah. “Seharusnya yang menghadapinya adalah orang yang paham agama,” ujarnya. Kepada Tempo, Fachrul mengatakan, meski tak pernah mengenyam pendidikan agama di pesantren, ia aktif dalam kegiatan pembinaan rohani Islam di Akademi Militer, mengajari adik angkatannya membaca Al-Quran, dan kerap memberikan ceramah keagamaan.

Kekecewaan kalangan santri bukan hanya karena posisi Menteri Agama tidak diisi wakil mereka. Di antara pengurus PBNU, sempat beredar kabar bahwa NU akan mendapat tiga kursi menteri. Menurut tiga pengurus PBNU dan dua petinggi partai pendukung pemerintah, posisi itu adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Pertanian, selain Menteri Agama.

NU merasa cocok mengisi pos Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena organisasi itu juga mengurusi pendidikan keagamaan. Adapun kursi Menteri Pertanian dianggap pas karena pengikut NU banyak yang menjadi petani atau bekerja di perkebunan. “Tawaran itu memang kami dengar,” ujar Misbahul Munir. Ditanyai soal ada-tidaknya tawaran tiga posisi tersebut bagi NU, juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, mengatakan penggodokan menteri dilakukan “Tim Tujuh”. “Bisa ditanyakan kepada Pak Mensesneg,” ucapnya.

Para pengurus NU yang ditemui Tempo itu mengatakan Said Aqil Siroj sudah menyerahkan sejumlah nama calon menteri kepada Presiden Jokowi ketika ia dipanggil ke Istana pada pertengahan Oktober lalu. Namun, menurut Said, dalam pertemuan empat mata itu tidak ada pembicaraan mengenai kabinet. “Itu silaturrahim,” ujarnya, Rabu, 30 Oktober lalu.

Dua hari sebelum pelantikan menteri, para pengurus NU mulai resah. Mereka tidak melihat perwakilan nahdliyin dipanggil Jokowi ke Istana. Kegelisahan yang juga muncul di grup WhatsApp pengurus NU itu kemudian ditengahi Said. Ia mengunggah pesan: “Untuk apa mengurusi kabinet, bagi NU itu tidak penting karena sudah terbiasa mandiri dan tidak tergantung oleh siapa pun kecuali Allah.” Hingga Presiden melantik menterinya, tidak ada protes yang disampaikan secara terbuka oleh pengurus PBNU. Baru pada sore setelah mereka berkumpul di ruangan Said di Kramat Raya, kekecewaan itu diutarakan ke luar, antara lain, oleh Robikin Emhas.

Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Isfah Abidal Aziz mengatakan, begitu Presiden Jokowi mengumumkan nama-nama pembantunya, ia mendapat banyak pertanyaan dari koleganya di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan luar Jawa. “Misalnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaannya kok Nadiem Makarim?” ujar Isfah, yang mengaku mendapat pertanyaan yang sama dari sejumlah pengurus NU. Selain bukan warga NU, pendiri Gojek itu dipertanyakan karena dinilai tak punya latar belakang di dunia pendidikan.

Karena tidak ada satu pun menteri dari NU, menurut Isfah, PBNU merasa terkecoh. Pengurus NU menganggap komitmen “kebersamaan” yang selama ini didengungkan rupanya demi pemilihan presiden saja.

Komitmen tersebut sempat dinyatakan kembali oleh Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto. Pada 8 Oktober lalu, Hasto Kristiyanto berkunjung ke Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah di Jakarta Selatan, yang juga diasuh Said Aqil Siroj. Di sana, Hasto dan Said berkomitmen menjaga persahabatan. Hasto juga mengatakan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri selalu mengingatkan Presiden Jokowi agar menempatkan nahdliyin di kementerian yang mengurusi kesejahteraan rakyat.

Menurut Isfah, PBNU menagih komitmen “kebersamaan” tersebut. “Kalau ada model-model pengingkaran pada komitmen, itu sama saja tidak mau rukun. Dinginkanlah,” ujarnya.

Apalagi, kata Isfah, di antara warga NU sudah banyak yang berpikiran bahwa tanpa nahdliyin, Jokowi-Ma’ruf tak akan meraup suara tinggi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dua provinsi tersebut merupakan kantong suara Jokowi-Ma’ruf dalam memenangi pemilihan presiden. NU, menurut Isfah, berperan dalam menetralisasi isu Jokowi anti-Islam yang diembuskan kubu lawan.

Kabar yang tersiar makin liar. Isfah menyebutkan, di antara pengurus NU, ada desas-desus bahwa organisasinya tidak mendapat kursi menteri karena sudah ada Ma’ruf Amin—mantan Rais Am PBNU—yang mendampingi Jokowi sebagai wakil presiden. Posisi Ma’ruf dinilai setara dengan lima menteri. Rumor lain, kursi menteri bagi NU sama dengan kursi bagi Partai Kebangkitan Bangsa, yang mendapat tiga posisi di kabinet. “Ini meresahkan karena dasar perhitungannya itu seperti apa? Kami juga berbeda dengan PKB, yang merupakan partai politik,” ucapnya.

PKB mendapat kursi Menteri Perdagangan, yang diisi Agus Suparmanto; Menteri Ketenagakerjaan, yang ditempati Ida Fauziyah; serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, yang dijabat Abdul Halim Iskandar. Menurut Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid, posisi tersebut juga mewakili NU. “Kan, PKB anak NU,” ujarnya, Kamis, 31 Oktober lalu. Jazilul mengatakan PKB sebenarnya kecewa karena hanya mendapat posisi tiga menteri, padahal meminta enam kursi.

Di dalam PKB, riak-riak kekecewaan atas pemilihan tiga nama tersebut juga muncul, terutama terhadap Agus Suparmanto dan Abdul Halim. Dua politikus partai itu mengatakan Agus bukan kader “murni” PKB karena bukan pengurus. Sedangkan Abdul Halim diberi karpet merah karena merupakan abang dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.

Joko Widodo bersama Ma’ruf Amin setelah mengenalkan calon menteri periode 2019-2024 di Istana Merdeka, Jakarta, 23 Oktober 2019. TEMPO/Subekti

Ketua PKB Cucun Syamsurijal mengatakan Agus masuk kabinet karena kerap berkomunikasi dengan elite partainya. “Tidak perlu struktural partai. Dia ini profesional,” ujarnya. Sedangkan Abdul Halim, menurut Cucun, disodorkan menjadi menteri karena dia salah satu komandan pemenangan Jokowi-Ma’ruf di Jawa Timur dalam pemilihan presiden. Abdul Halim, yang merupakan Ketua PKB Jawa Timur, menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye Daerah. Mantan Bendahara Tim Kampanye Jawa Timur, Yuli Andriani, mengatakan tak pernah sekali pun bertemu dengan Abdul Halim dalam rapat pemenangan Jokowi-Ma’ruf.

Istana tidak tinggal diam melihat kemasygulan NU. Untuk meredakannya, Presiden Jokowi menunjuk Zainut Tauhid sebagai Wakil Menteri Agama. Zainut adalah politikus Partai Persatuan Pembangunan yang juga berdarah NU. “Jadi sudah ada saluran,” ujar Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Jumat, 1 November lalu. Presiden Jokowi meminta maaf kepada mereka yang kecewa terhadap komposisi kabinet.

Belum cukup dengan hal itu, Istana dikabarkan mengirimkan utusan untuk menemui para kiai. Salah satunya Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang diminta menemui Said Aqil Siroj. “Kami memang ada upaya untuk menetralkan, tapi enggak bisa kami sebutkan seperti apa,” kata juru bicara Wakil Presiden, Masduki Baidlowi. Ditanyai soal pertemuan dengan utusan Istana, Said irit menjawab. “Belum,” ujarnya.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan sudah menjadwalkan pertemuan dengan Rais Am PBNU Miftahul Akhyar pada Selasa, 5 November ini. “Kami akan berdiskusi bagaimana ke depannya,” ucap Moeldoko. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Utut Adianto, pengumuman kabinet memunculkan pihak yang gembira dan sedih. Ia mengibaratkannya dengan sepak bola. “Sulit mengomentari hanya dari susunan pemainnya,” katanya. “Kalau sudah main, baru kelihatan seperti apa.”

HUSSEIN ABRI DONGORAN, BUDIARTI UTAMI PUTRI, EGI ADYATAMA, AHMAD FAIZ, FRISKI (JAKARTA),
JAMAL A. NASHR (SEMARANG), NURHADI (SURABAYA), KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus