Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU nama terlintas dalam benak Aiko Kurosawa, 69 tahun, profesor emeritus di Universitas Keoi, Tokyo, begitu membaca artikel berjudul "Jejak Adam, Hawa Panas Washington" di Tempo edisi 7 Desember 2008. Artikel itu mengulas soal Adam Malik, Wakil Presiden RI periode 1978-1983, yang disebut sebagai agen badan intelijen Amerika Serikat (CIA). Artikel tersebut mengutip buku Legacy of Ashes: The History of CIA karya Tim Weiner yang menyebut Adam Malik direkrut oleh Clyde McAvoy, bekas perwira CIA, setelah dikenalkan oleh pengusaha bekas anggota Partai Komunis Jepang yang tinggal di Jakarta.
"Ada banyak pengusaha Jepang yang tinggal di Jakarta pada masa itu. Tapi, kalau bekas anggota Partai Komunis, pasti dia Shigetada Nishijima," ujar Aiko, yang ditemui di kediamannya di Lenteng Agung, Jakarta, 9 September lalu.
Nishijima, kata Aiko, adalah warga Jepang yang terpaksa keluar dari sekolah bergengsi, Diichi Koto Gakko, pada 1930-an karena ditangkap polisi setelah ikut kegiatan gerakan kiri, Nihon Kyosanto (Partai Komunis Jepang). "Saya tidak yakin kalau dia anggota, mungkin hanya simpatisan," ucap Aiko. "Setelah dilepas, dia 'diusir' orang tuanya sehingga pergi ke Hindia Belanda."
Menurut Aiko, saat masuk ke Hindia Belanda pada 1937, umur Nishijima masih 27 tahun. Awalnya ia bekerja di jaringan toko serba ada Chiyoda di Surabaya dan Bandung, lalu terlibat aktivitas bawah tanah melawan Belanda. Dia ditangkap polisi Belanda dan dibuang ke Australia. Pada 1942, ketika kapal interniran yang memulangkannya ke Jepang singgah di Singapura, Nishijima ikut ajakan Pasukan Wilayah Selatan untuk kembali ke Jawa.
Dia pun bergabung dengan Kantor Perwakilan Angkatan Laut (Kaigun Bukanfu) di Jakarta, yang dikepalai Laksamana Muda Tadashi Maeda. Pada Oktober 1944, Kaigun Bukanfu mendirikan sekolah Asrama Indonesia Merdeka. Kepala sekolah itu adalah Ahmad Subardjo dan dikelola oleh Nishijima. Pada 17 Agustus 1945, Nishijima juga ikut terlibat dalam perumusan teks Proklamasi.
Nishijima datang lagi ke Indonesia pada Maret 1953 menemui Sukarno untuk menjelaskan pandangan Jepang mengenai pampasan. Nishijima tahu kegagalan Misi Djuanda dalam perundingan pampasan. Menurut Masashi Nishihara dalam buku The Japanese and Sukarno's Indonesia, Nishijima dan Subardjo adalah dua pelobi perdamaian Indonesia-Jepang yang paling penting. Ketika mengetahui citra buruk Jepang di mata orang Indonesia, Nishijima meminta Aiichiro Fujiyama, Ketua Kamar Dagang dan Industri Jepang, mensponsori kunjungan wartawan Indonesia ke Tokyo. April 1954, diundanglah tokoh pers Indonesia, di antaranya Rosihan Anwar (Pedoman), Mochtar Lubis (Indonesia Raya), dan Adam Malik (Antara). Sejak kunjungan itu, Nishijima berhubungan akrab dengan Adam. Keduanya saling bertukar informasi dan gagasan mengenai masalah pampasan.
Jejak Nishijima juga tampak dalam hubungan Adam Malik dengan CIA. McAvoy saat diwawancarai Weiner pada 2005 mengatakan ia bisa merekrut Adam Malik karena diperantarai oleh Nishijima. Adam Malik meminta uang kepada CIA sebesar Rp 50 juta untuk membiayai gerakan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu. Hal ini terungkap dari telegram Duta Besar Marshall Green kepada Asisten Menteri Luar Negeri Bill Bundy tertanggal 2 Desember 1965 yang menyetujui permintaan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo