Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kathy Kadane, kini 69 tahun, masih ingat bagaimana pada 1989 ia datang ke Jakarta menemui Kim Adhyatman, bekas orang kepercayaan Adam Malik. Kim tinggal di Jalan Hang Lekiu, Kebayoran Baru. Kepada Tempo, Kadane mengatakan ia mewawancarai Kim hampir dua jam.
Wartawan kantor berita State News Agency, Amerika Serikat, tersebut saat itu tengah membongkar keterlibatan Robert J. Martens, pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, yang pada 1965 menyodorkan daftar anggota Partai Komunis Indonesia, atau diistilahkan sebagai "Daftar Cek", kepada Kim Adhyatman. Dari daftar itu, diduga aksi pembersihan orang-orang PKI berjalan mudah dan cepat sehingga terjadi pembunuhan massal, ratusan ribu nyawa melayang.
Hasil investigasi Kadane itu diterbitkan oleh ratusan surat kabar dengan judul yang berbeda-beda. Washington Post menerbitkannya dalam edisi 21 Mei 1990 bertajuk "US Officials' List Aided Indonesian Bloodbath in '60s".
Meski berhasil membuka aib diplomat dan intelijen Amerika, Kadane mengaku tidak mengalami teror atau terintimidasi setelah investigasi yang dilakukannya itu. "Tidak, saya tidak pernah diancam oleh siapa pun saat mengerjakan kisah ini. Beberapa pejabat Amerika malah senang kisah ini keluar. Sebab, dari perspektif prajurit Perang Dingin, strategi membantu Angkatan Darat memberangus PKI dari politik Indonesia telah berhasil," tulis Kadane dalam surat elektroniknya kepada Tempo.
Menurut Kadane, dari beberapa sumber di Washington pada 1965 yang ia wawancarai, terungkap bahwa komunitas intelijen dan pemerintah Lyndon B. Johnson gembira atas apa yang mereka anggap "kemenangan" Perang Dingin atas Cina (yang diyakini memiliki pengaruh bagi PKI).
Kadane mengatakan William E. Colby, Kepala Divisi Timur Jauh CIA, berpendapat bahwa "membidik infrastruktur" menggunakan program pembunuhan adalah strategi yang jauh lebih unggul ketimbang invasi militer penuh, yang mahal, boros, dan sia-sia. "Dalam wawancara dengan saya, William Colby mengatakan bahwa apa yang terjadi di Indonesia 'mirip' dengan Program Phoenix di Vietnam."
Menanggapi pernyataan Kepala CIA Jakarta sekitar 1965, Bernardo Hugh Tovar, yang pada 2001 pernah diwawancarai Tempo dan menyatakan Kathy Kadane tidak mengungkap identitas wartawan ketika melakukan wawancara, Kadane menegaskan bahwa hal itu tidak benar. "Saya tidak pernah salah memperkenalkan diri saya kepada siapa pun. Setiap orang yang saya wawancarai tahu bahwa mereka bicara kepada wartawan. Inilah mengapa mereka, termasuk Colby, setuju wawancaranya direkam."
Justru, kata Kadane, Tovar adalah satu-satunya orang yang menolak dia wawancarai. Dia berulang kali meminta bertemu dengan Tovar, tapi tak berhasil. "Atasannya saja, Colby, mau menemui saya. Tapi Tovar tidak," tulis Kadane.
Kadane memulai karier sebagai penyelidik bagi Kongres (1977-1978). Lalu ia bekerja di firma hukum di Washington milik pengacara Terry Lenzner, yang pernah menjadi deputi kepala penasihat dalam Komite Senat Watergate. Kadane meninggalkan Washington untuk mendalami ilmu jurnalistik di Columbia University, New York (lulus 1987).
Ketika para pensiunan pejabat menceritakan kepadanya peristiwa 1965, terkait dengan masalah hukum yang belum terjamah, semangat jurnalismenya tertantang. "Saya merasa mendapat mandat jurnalisme untuk mengejar kisah itu," katanya.
Kadane menolak menjawab pertanyaan Tempo tentang apa yang dia kerjakan saat ini. Tapi, kepada Tempo, ia mengirimkan scan surat penting yang menunjukkan hubungan keakraban Kim Adhyatman dan Robert Martens. Surat itu adalah surat Kim Adhyatman kepada Robert J. Martens bertanggal 20 November 1988.
Surat itu merupakan jawaban Kim kepada Robert Martens yang menginformasikan bahwa Kathy Kadane akan datang ke Jakarta menemui Kim. Surat itu dikirim Kim dari rumahnya di Jalan Hang Lekiu III/10, Kebayoran Baru, Blok F-4, Jakarta, kepada Bob Martens, yang beralamat di 8629 Hempstead Avenue, Bethesda.
Yang menarik, dalam surat itu Kim sempat menyinggung nostalgia dirinya dengan Bob Martens pada 1965. Bagaimana dia di tengah jam malam Jakarta dengan mengendarai Toyota sering mengunjungi Bob Martens di Jalan Kolobangkeng, Jakarta. Sembari minum Scotch, mereka membahas perkembangan politik. Kim menulis bagaimana Robert Martens senantiasa menyuplai dia nama-nama anggota Politbiro PKI, bahkan sampai foto-fotonya.
Kathy Kadane sendiri ingat, saat ia menjumpai Kim di rumahnya, ia cukup kaget melihat "kemewahan" Kim. Kim mengendarai mobil BMW yang dilengkapi telepon—sesuatu yang amat jarang pada masa itu. Rumah Kim penuh koleksi keramik antik yang luar biasa. Kadane ingat ia dipersilakan melihat satu per satu keramik itu. Kepadanya, Kim menceritakan bahwa banyak orang yang ingin menghadiahi Adam Malik keramik langka karena tahu Adam Malik pencinta keramik dan memiliki museum keramik (maksudnya Museum Adam Malik, Jalan Diponegoro 29, Jakarta). Melalui dirinya dan istrinya, Sumarah Adhyatman, yang juga sekretaris Adam Malik, keramik-keramik itu dititipkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo