Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Telegram dari Panglima Jakarta

Pembantaian komunis dilakukan Soeharto dengan memanfaatkan rantai komando militer yang ada. Terdapat "ruang perang" di kantor Kodam Aceh.

5 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kehadiran Sarwo Edhie Wibowo di kampus Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga menggurat kuat pada ingatan Pradjarta Dirdjosanjoto. Sarwo datang ke kota di Jawa Tengah ini untuk membasmi Partai Komunis Indonesia di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pradjarta, saat itu mahasiswa baru di fakultas hukum kampus tersebut, hanya ingat bahwa Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) itu datang sekitar akhir Oktober 1965. Sarwo datang dari Jakarta dengan misi utama membersihkan Jawa Tengah dan Yogyakarta dari Partai Komunis Indonesia.

Dalam struktur Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Jawa Tengah dan Yogyakarta berada di bawah Komando Daerah Militer Diponegoro. Setelah pecah Gerakan 30 September 1965, banyak perwira tinggi Kodam Diponegoro bersimpati pada gerakan yang dipimpin Letnan Kolonel Untung itu.

Ketika Sarwo tiba di Salatiga, tentara membagikan formulir kepada mahasiswa untuk direkrut dalam wajib militer. "Saya dan sejumlah kawan ambil formulir dan ikut," kata Pradjarta, yang saat itu aktif dalam Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia, kepada Tempo, dua pekan lalu.

Pria kelahiran Yogyakarta, 5 April 1947, ini mengatakan, sejak Sarwo merekrut kalangan muda, perburuan dan pembunuhan terhadap anggota PKI berlangsung secara besar-besaran. Sebagai rekrutan RPKAD, Pradjarta mendapatkan pelatihan militer. Ia juga dibekali senjata laras panjang Lee-Enfield dengan isi satu peluru. Tugasnya menjaga tahanan anggota dan simpatisan PKI. "Mereka ditahan di gedung rakyat Salatiga, sekarang Hotel Mutiara," ujarnya.

Hal ini menunjukkan adanya garis komando dari Jakarta ke berbagai daerah untuk menghabisi PKI. Rantai komando itu lebih jelas terlihat dalam sejumlah dokumen yang diperoleh Jess Melvin, peneliti dari University of Melbourne, Australia. Melvin bolak-balik Melbourne-Banda Aceh antara 2008 dan 2014 saat meneliti pembantaian massal di Aceh pada 1965-1966.

Dokumen itu ditemukan Melvin di bekas kantor arsip Badan Intelijen Negara di Banda Aceh. Dia hampir tak percaya ketika diberi sebuah kotak kardus yang penuh dengan 3.000 halaman dokumen rahasia militer dan pemerintah pada puncak genosida di provinsi ini. "Dokumen-dokumen ini merinci dengan jelas kesalahan militer dalam genosida serta merekam perintah dan rantai komando militer yang bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan di provinsi ini," kata Melvin dalam surat elektronik kepada Tempo, September lalu. "Dokumen itu mewakili koleksi terbesar dari dokumen sumber utama dari masa genosida yang pernah ditemukan."

Dokumen itu adalah fotokopi dari naskah asli. Kertas-kertas itu tertumpuk di dalam sebuah kotak kertas printer tua. Kualitas dokumen itu baik. Sebagian fotokopinya sangat gelap.

Dokumen itu, menurut Melvin, mengungkap serangan TNI terhadap PKI yang dipimpin secara terpusat dari Jakarta di bawah pimpinan Menteri Panglima Angkatan Darat Soeharto, lalu turun ke Wakil Menteri Panglima Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera, Mayor Jenderal J. Mokoginta, dan Panglima Daerah Militer Iskandar Muda, Ishak Djuarsa. Soeharto mengendalikan rantai komando ini melalui telegram.

Tiga pemimpin kunci ini menggunakan rantai komando kodam dan Komando Ganyang Malaysia, yang sebelumnya dikenal sebagai Komando Operasi Tertinggi, di seluruh Sumatera, "Untuk melumpuhkan pemerintah sipil secara efektif di Aceh dan menerapkan keadaan darurat militer de facto sebelum melancarkan serangan terhadap PKI," kata Melvin.

Pada tahap awal, pimpinan militer Aceh menerima perintah dari Jakarta dan Medan, yang selanjutnya diteruskan kepada komandan militer di kabupaten dan kecamatan. Perintah ini termasuk mengakui kepemimpinan Soeharto di Angkatan Bersenjata dan deklarasi yang dikeluarkan oleh Mokoginta pada tengah malam 1 Oktober 1965: "memerintahkan semua anggota Angkatan Bersenjata secara tegas dan sungguh-sungguh untuk memusnahkan kontrarevolusioner dan semua pengkhianat sampai ke akar-akarnya".

Pada 4 Oktober, perintah ini diberikan kepada pemimpin sipil dan Pemerintah Provinsi Aceh, yang di hadapan Panglima Kodam Aceh menandatangani sebuah deklarasi "untuk bertekad memusnahkan apa yang menyebut dirinya Gerakan 30 September bersama antek-anteknya". Mereka kemudian menandatangani dokumen kedua yang menyatakan kewajiban bagi rakyat untuk membantu setiap usaha buat memusnahkan Gerakan 30 September. "Inilah pertama kalinya ada perintah eksplisit yang menyerukan pembunuhan warga sipil oleh warga sipil lain. Hal ini menunjukkan bahwa militer sengaja berusaha memicu pembunuhan ekstra-yudisial di provinsi ini," ujar Melvin.

Keputusan untuk memulai pembunuhan sistematis berskala besar, kata Melvin, tampaknya telah dibuat sekitar 14 Oktober. Pada saat itu, Ishak Djuarsa membentuk "ruang perang" untuk mengawasi operasi. Tujuan dari ruang perang, Ishak menjelaskan, untuk "memungkinkan Kodam melancarkan perang nonkonvensional sesuai dengan Konsep Perang Wilayah". Ruang perang, menurut dia, memungkinkan militer "untuk berhasil memusnahkan mereka bersama-sama orang-orang itu".

TNI juga memberi berbagai bantuan untuk mendukung sipil mengganyang komunis. Dalam sebuah dokumen yang disusun Bupati Aceh Utara T. Ramli Angkasah, pada pertengahan Oktober, militer Aceh Utara meminta dan kemudian menerima 44 senapan Lee-Enfield dan 3 sten gun untuk dibagikan kepada anggota Hansip dan Hanra buat membantu TNI "membersihkan/menumpas G-30-S". Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa provinsi telah "kehabisan" amunisi senjata semacam itu belakangan ini.

Menurut Mayor Jenderal Purnawirawan Samsudin, penulis Mengapa G 30 S/PKI Gagal?, RPKAD dan Kostrad turun ke daerah untuk mencegah kerusuhan. Tapi, "Tanpa dikomandoi, karena melihat tentara datang, rakyat tampaknya jadi punya keberanian untuk menumpas PKI," katanyaw.

Untuk mendapatkan konfirmasi, Tempo menghubungi Markas Besar TNI Angkatan Darat, tapi diteruskan ke Kepala Pusat Penerangan TNI Brigadir Jenderal Tatang Sulaiman. Namun Tatang enggan menjawab pertanyaan Tempo karena bukan kewenangannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus