Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hampir dua pekan mengikuti kunjungan Paus Fransiskus ke empat negara, ada pertanyaan kecil dalam hati saya: Apakah Paus bernama Jorge Mario Bergoglio itu benar-benar menunjukkan karakter aslinya? Sebagai pemimpin umat Katolik sedunia, dia tampil sederhana, menyukai anak-anak, dan menyentuh hati banyak orang dengan senyumnya.
Sebagai kepala negara, ia membangun dialog dengan negara lain untuk meredakan berbagai konflik kemanusiaan. Ia bersuara keras menentang negara-negara yang menolak imigran. Setiap kali melawat ke negara lain, Paus Fransiskus meminta pemerintah setempat berpihak kepada masyarakat kecil, miskin, dan rentan.
Menjadi jurnalis yang sehari-hari meliput politik, ada keraguan yang secara alami muncul dalam diri saya. Di lingkungan politik, para politikus kerap membangun citra dengan menyukai anak-anak atau aktivitas lain. Rasa penasaran ini terjawab dengan perjumpaan saya bersama orang dekat Bergoglio serta para jurnalis yang kerap meliput kunjungan Paus.
Maria Valentina Alazraki, jurnalis stasiun televisi N+, kantor media yang berbasis di Meksiko, membagikan pengalamannya. Ia telah 160 kali meliput perjalanan apostolik Paus. Dari Yohanes Paulus II, Benediktus XVI, hingga Fransiskus.
Di ruang tunggu Bandara Internasional Changi, Singapura, Valentina bercerita soal kebiasaan-kebiasaan Fransiskus yang berbeda dengan pendahulunya. Salah satunya, Fransiskus tak nyaman dipanggil dengan sebutan “Holy See” atau “Holy Father”. Holy See berarti Bapa Suci, panggilan untuk Santo Pedro, pemimpin tertinggi agama Katolik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo