Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Pantang Surut Menolak Israel

Hampir 66 tahun silam, tim nasional sepak bola Indonesia menolak bertanding dengan Israel di babak kualifikasi Piala Dunia 1958.

2 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tim nasional sepak bola Indonesia menolak bertanding dengan Israel di babak kualifikasi Piala Dunia 1958.

  • Presiden Sukarno melarang Israel ikut serta dalam Asian Games IV pada 1962.

  • Penolakan terhadap Israel itu membuat Indonesia mendapat sanksi internasional dalam bidang olahraga.

MENOLAK Israel bukan baru kali ini dilakukan tim nasional sepak bola Indonesia. Hampir 66 tahun silam, skuad Garuda menolak bertanding dengan Israel di babak kualifikasi Piala Dunia 1958 untuk wilayah Asia dan Afrika. Setelah menjuarai Grup 1 kualifikasi putaran pertama dengan mengalahkan Cina, timnas Indonesia masuk putaran kedua bersama juara grup lain, yakni Mesir, Sudan, dan Israel. Namun kualifikasi putaran kedua itu tak pernah berlangsung karena tidak ada satu pun negara yang sudi bertanding melawan Israel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sikap timnas itu dipicu pidato Presiden Sukarno dalam acara peringatan Hari Sumpah Pemuda di Istora Senayan, Jakarta. Bung Karno kala itu menyatakan, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.” Karena itu, Sukarno memerintahkan timnas yang dimotori Andi Ramang dan Endang Witarsa tak bertanding melawan Israel. Sebab, jika hal itu dilakukan sama saja mengakui Israel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak mengakui Israel sudah menjadi keputusan Indonesia di bawah pimpinan Presiden Sukarno. Saat memprakarsai Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955, Bung Karno secara tegas menolak meski India, Burma, dan Sri Lanka berpendapat perlu mengikutsertakan Israel. Sukarno juga tak menggubris ucapan selamat dari Presiden Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben Gurion atas pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada Desember 1949.

Sejarawan dari Pusat Riset Politik pada Badan Riset dan Inovasi Nasional, Asvi Warman Adam, mengatakan penolakan Indonesia terhadap tim Israel dalam laga olahraga bukan kali ini saja terjadi. Pada 1962, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV. Presiden Sukarno mengambil keputusan menolak Israel terlibat dalam pergelaran olahraga se-Asia itu. Akibat keputusan tersebut, ucap dia, status keanggotaan Indonesia di Komite Olimpiade Internasional atau IOC ditangguhkan.

Menurut Asvi, olahraga menjadi sarana Indonesia menunjukkan semangat politik internasionalnya. Sukarno, kata dia, ingin nasionalisme menjadi kekuatan diplomatik agar Indonesia memiliki kekuatan untuk memimpin solidaritas di antara bangsa-bangsa yang tertindas oleh imperialisme Barat. “Pelarangan atlet-atlet Israel dan Taiwan itu merupakan penolakan Indonesia untuk didikte Barat,” ujar Asvi melalui sambungan telepon kepada Tempo, Jumat, 31 Maret lalu.

Tindakan itu membuat Indonesia dilarang mengikuti Olimpiade 1964. Namun, kata Asvi, Indonesia menyelenggarakan Games of the New Emerging Forces alias Ganefo 1963 di Jakarta sebagai solusinya, bahkan memproyeksikannya menjadi rival Olimpiade yang Sukarno anggap sudah diskriminatif dan melenceng dari semangat pendirinya. “Ada 51 negara mengikuti Ganefo. Sukarno juga berpesan kepada rakyatnya agar merayakan Ganefo sebagai ajang untuk mengenal bangsa-bangsa lain,” tuturnya.

Pegiat sejarah Bonnie Triyana mengatakan penyelenggaraan Ganefo merupakan festival olahraga dari kekuatan baru bangsa Asia-Afrika yang mulai hadir mengimbangi kekuatan lama. Melalui olahraga, kata Bonnie, Ganefo menjadi upaya untuk mengintegrasikan Indonesia ke dalam pergaulan internasional yang lebih adil. “Ganefo bukan sekadar kompetisi olahraga. People to people festival, people to people diplomacy. Jadi olahraga itu tidak bisa dilepaskan dari politik,” ujar Bonnie melalui sambungan telepon, Jumat, 31 Maret lalu.

Dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta, Mustara Musa, mengatakan terdapat perbedaan kondisi antara penolakan tim Israel pada era Sukarno dan Presiden Joko Widodo. “Bung Karno berani kayak begitu karena diselimuti kultur dan kondisi negara sehabis merdeka. Kita ingin menunjukkan eksistensi. Bangun stadion utama Senayan sebagai mercusuar keberhasilan,” ucap Mustara saat dihubungi, Jumat, 31 Maret lalu.

Sedangkan penolakan tim Israel di Piala Dunia U-20, kata Mustara, tidak dilakukan oleh Presiden Jokowi. Menurut dia, penolakan malah muncul dari segelintir kelompok masyarakat dan beberapa kepala daerah. “Jadi terdapat perbedaan antara era Bung Karno dan sekarang. Tapi ada satu kesamaannya: kita kena sanksi internasional dalam bidang olahraga,” tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus