Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Penjaga Kemurnian

5 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Biasa disingkat Bakorpakem. Wewenangnya tidak main-main: mencegah terjadinya penodaan agama di Indonesia. Dari lembaga inilah, pertengahan April lalu, rekomendasi penghentian kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia diluncurkan.

”Tugas dan wewenang kami berdasarkan undang-undang,” kata wakil ketua badan ini, Wisnu Subroto, pekan lalu. Posisinya sebagai Jaksa Agung Muda Intelijen membuat Wisnu otomatis jadi orang nomor dua di lembaga semipermanen ini. Ketua Badan Koordinasi adalah Jaksa Agung Hendarman Supandji.

Disebut semipermanen karena anggotanya memang tidak tetap. ”Tergantung siapa pejabat yang ditunjuk mewakili departemennya,” kata Wisnu. Rapat terakhir badan ini dilangsungkan 16 April lalu dan dihadiri 15 orang. Tujuh di antaranya pejabat Kejaksaan Agung, termasuk Wisnu Subroto. Badan Intelijen Negara diwakili tiga orang: Deputi II, Direktur C, dan satu orang yang tak disebut dalam daftar hadir tapi ikut menandatangani risalah keputusan rapat. Rapat inilah yang meminta Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung segera melayangkan surat peringatan keras ke alamat Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat pada dasarnya adalah lembaga koordinasi yang didirikan lebih dari dua dasawarsa silam dengan Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-108/J.A./5/1984. Sekretariatnya menempel pada kantor Direktur Sosial Politik, di bawah Jaksa Agung Muda Intelijen. ”Tugas sekretariat sebatas mengirim undangan rapat dan urusan administrasi lain,” kata Wisnu.

Karena anggotanya kebanyakan lembaga pemerintah yang mengurusi keamanan, jelas Badan Koordinasi tak punya kompetensi menilai teologi. ”Makanya kami selalu mengundang saksi ahli, entah itu dari Majelis Ulama Indonesia atau Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia,” kata Wisnu. Tafsir agama lembaga ”resmi” itulah yang menjadi rujukan badan ini dalam menilai kemurnian suatu aliran kepercayaan.

Khusus untuk kasus Ahmadiyah, Atho Mudzhar, Kepala Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama yang juga anggota badan ini, mengaku sudah membuka pintu dialog. ”Kami mengadakan tujuh pertemuan dengan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah sejak September tahun lalu,” katanya. Semua langkah Departemen Agama berkala dilaporkan kepada Majelis Ulama.

Dua belas butir penjelasan Ahmadiyah soal nabi dan kitab sucinya pada Januari lalu adalah hasil dialog antara Departemen Agama dan Ahmadiyah itu. Sayangnya, tiga bulan kemudian, muncul kesimpulan baru: Jemaat Ahmadiyah tidak konsisten melaksanakan lima dari 12 butir penjelasan itu. ”Mereka hanya bermain kata-kata,” kata Atho.

Atho mengaku kesimpulan pemerintah itu berdasarkan pemantauan jaksa dan polisi di 55 komunitas Ahmadiyah di Nusantara. ”Kami mendatangi komunitas mereka di Bogor, Medan, Lombok, sampai Padang,” katanya. Wawancara intensif dilakukan atas 277 mubalig dan tokoh Ahmadiyah di daerah. Di sejumlah permukiman Ahmadiyah, para peneliti Departemen Agama bahkan sampai menginap seminggu.

Salah satu dasar hukum Badan Koordinasi adalah Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang mengatur soal pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama. Pasal 1 peraturan yang berlaku sejak 27 Januari 1965 itu menegaskan: setiap orang dilarang menganjurkan penafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang resmi. Pelanggaran atas aturan ini diancam pidana lima tahun penjara. Aturan ini lalu diadopsi menjadi Pasal 156-a di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Korban pasal ini di antaranya Lia Eden dan Ahmad Mushaddeq, pendiri Al-Qiyadah al-Islamiyah.

Itu baru yang di Ibu Kota. Di daerah, sepak terjang Badan Koordinasi lebih dahsyat. Tanpa keputusan pemerintah pusat, kepala kejaksaan negeri atau kejaksaan tinggi bisa melarang satu aliran kepercayaan. Sudah ratusan aliran kepercayaan yang dianggap sesat ”tewas” di tangan aparat Badan Koordinasi di daerah. Sampai April ini, di Sumatera Barat saja ada 24 aliran kepercayaan yang sudah dilarang. Lima aliran lain ada dalam status ”diawasi”.

Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 sebenarnya unik karena dibuat tanpa pembahasan di parlemen. Label PNPS dalam judul undang-undang itu berarti ”Penetapan Presiden”. Baru empat tahun kemudian, pada 1969, Presiden Soeharto menaikkan statusnya lewat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. ”Label PNPS menunjukkan undang-undang itu dibuat dalam suasana darurat,” kata pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana. ”Jadi pintu untuk mempersoalkannya di Mahkamah Konstitusi sebenarnya terbuka,” katanya lagi.

Wahyu Dhyatmika

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus