Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATAP Mak Ikah, 58 tahun, meledak ketika menyaksikan kitab Al-Quran yang biasa ia baca hangus habis. Anggota Jemaat Ahmadiyah itu melangkah cepat menghampiri Mimi Sumiati, 46 tahun, tetangga sesama Ahmadiyah. Keduanya berpelukan, hanyut dalam air mata. ”Mereka membakar Al-Quran... mereka membakar Al-Quran...,” hanya itu yang terdengar di tengah isak tangis.
Di sekitar kedua perempuan itu hanya tinggal puing dan abu sisa Masjid Al-Furqon milik Ahmadiyah Desa-Kecamatan Parakansalak, Sukabumi, Jawa Barat, Kamis pekan lalu. Polisi mengais tinggalan reruntuk yang bisa dijadikan barang bukti amuk massa, Senin dini hari sebelumnya.
Ikah dan Mimi sebetulnya sudah menduga semua barang masjid pasti terbakar. Tapi mereka tetap tak kuat menahan tangis begitu menyaksikan kitab Al-Quran yang hangus. Biasanya Ikah, Mimi, dan setidaknya 60 perempuan lain mengaji Al-Quran di masjid itu pada bakda isya dan subuh. ”Setelah masjid dibakar, kami takut,” kata Ikah.
Polisi juga memungut batu sebesar kepala sapi, batu sebesar kepalan tangan, dan rehal dari reruntuhan masjid. Ada juga logam bekas perangkat pengeras suara, lampu, sisa karpet, dan pecahan lampu. Barang-barang ini dibawa ke kantor Kepolisian Resor Kabupaten Sukabumi.
Massa juga merusak tiga ruang kelas madrasah dan rumah guru mengaji, persis di depan masjid. Kaca jendela hancur dan berhamburan di lantai. Bangku dan papan tulis diobrak-abrik. Dua bata singgah di atap. Sebagian genting rompal.
Amuk itu bermula ketika 600-an orang anti-Ahmadiyah menunggu detik-detik pukul 12 malam, Ahad pekan lalu, di dekat mulut gang menuju Al-Furqon. Itulah tenggat ultimatum agar papan nama Ahmadiyah diturunkan dan pintu masjid dipalang kayu. Ultimatum itu hasil istigasah, doa bersama, Forum Komunikasi Jamiatul Mubaligin Kecamatan Parakansalak di Masjid At-Taqwa, setengah kilometer dari Al-Furqon, seusai salat Jumat, dua hari sebelumnya.
Forum komunikasi ini merupakan kumpulan sekitar 50 ustad, kiai, dan ulama di tujuh kecamatan bekas Karesidenan Cicurug. Istigasah yang diikuti 400-an orang ini menerbitkan lima tuntutan. Intinya: Ahmadiyah sesat sehingga harus bertobat dan menyetop kegiatannya. ”Ini soal akidah, tak bisa ditawar-tawar lagi,” kata Ustad Endang Abdul Karim, Ketua Forum.
Dalam surat tuntutan terselip klausul ancaman. Jika dalam dua hari—tenggatnya Ahad pekan lalu pukul 24.00—Ahmadiyah tak patuh, kelompok yang mengatasnamakan umat Islam se-Cicurug itu tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu. Salinan tuntutan yang diterima Tempo menyebutkan draf tuntutan ini telah disiapkan lima hari sebelumnya. Istigasah berlangsung Jumat, 25 April, sedangkan di draf tercantum tanggal 20 April.
Hingga jatuh tempo, pengurus Ahmadiyah tidak memenuhi tuntutan. Pengurus Ahmadiyah memang sudah menurunkan papan nama. Tapi massa tetap menghendaki semua pintu masuk masjid Ahmadiyah dipalang. Pengurus Ahmadiyah menolak. Katanya, belum ada ketentuan hukum yang menyatakan Ahmadiyah terlarang. ”Kalau kami menutup, kami melanggar konstitusi,” kata Asep Saepudin, Ketua Ahmadiyah Parakansalak.
Seperempat jam lewat 24.00, seorang remaja berdiri dalam kegelapan halaman Al-Furqon. Pengurus memang sengaja mematikan lampu. Prang… prang… kaca masjid pecah oleh lemparan batu. Kurang dari semenit, massa dari segala penjuru mara merusak masjid. Teriakan memuja kebesaran Tuhan dan melaknat Ahmadiyah bersahutan.
Ada yang membawa pentungan, bersenjata batu kali, dan sebagian menenteng batu bata. Lima menit kemudian, seseorang menyulut tirai masjid, dan api pun menjilam ke seluruh bangunan. Massa juga hendak membakar madrasah, tapi tak jadi. Jika madrasah itu nyala, api bisa menjalar ke perkampungan, karena madrasah berimpitan dengan rumah warga.
Sebetulnya, sebelum api membesar, mobil pemadam kebakaran tiba dari Cicurug, sekitar 15 kilometer dari Pa rakansalak. Namun, setengah kilometer menjelang Al-Furqon, massa menghadang mobil itu, bahkan mengancam membakarnya. Branwir pun balik ke Cicurug. Mobil pemadam tiba kembali setelah polisi menjamin keamanan, karena massa sudah bubar.
Api pun sudah tak mengamuk lagi. Polisi menemukan botol bekas minuman suplemen bersumbu, tapi menampik masjid terbakar akibat bom molotov. ”Itu lampu minyak untuk berjaga-jaga jika listrik padam,” kata Kepala Kepolisian Resor Kabupaten Sukabumi Ajun Komisaris Besar Guntor Gaffar.
Sejumlah saksi mata mengatakan para pembakar berasal dari luar Desa Parakansalak. Mereka datang bergelombang, dengan tiga mobil pikap dan puluhan sepeda motor. Sebagian berasal dari Cicurug, Cidahu—10 kilometer dari Parakansalak—dan Bojongasih, tetangga desa Parakansalak. Rombongan dari Bojongasih menumpang pikap milik Kepala Desa Bojongasih Heri Suheri. ”Benar, itu pikap saya,” katanya.
Menurut Heri, sejak bakda isya malam itu, massa berkumpul di depan rumahnya. Namun, ia menangkis tudingan memprovokasi massa. Kata Heri, ia hanya memfasilitasi warganya yang ingin menegakkan akidah. Kedatangan ke masjid Ahmadiyah malam itu, kata dia, justru untuk mencegah anarki. ”Itu bentuk tanggung jawab saya kepada warga,” ujarnya.
Kini polisi menetapkan sepuluh tersangka pembakar, termasuk Heri. Dari mereka, hanya satu orang yang warga Desa Parakansalak. Menurut Guntor, ada kemungkinan pembakaran berkaitan dengan istigasah Forum Komunikasi, dua hari sebelum insiden. Tapi Ustad Endang menampik. Pembakaran itu, kata dia, aksi spontan massa.
Ahmadiyah, sebetulnya, telah menjadi bagian hidup damai di Parakansalak sejak 1975. Penganut awalnya adalah keluarga Djadjun. Belakangan, penganutnya meliputi 212 orang. Sebagian besar tinggal di Rukun Tetangga 02 Rukun Warga 02. Parakansalak dihuni 8.000-an jiwa. Sebagian besar menganut Islam mazhab Imam Syafii, seperti yang dianut Nahdlatul Ulama, meski tak semua bergabung ke organisasi itu. Muhammadiyah, Sarekat Islam, dan Persatuan Islam juga tumbuh, dan tak pernah berkonflik.
Kepala Desa Parakansalak Yayat Supriyatna mengatakan warga Ahmadiyah berbaur dan aktif dalam segala kegiatan masyarakat. Mereka memberi warna sosial yang baik buat desa seluas 2.000 hektare—dan separuhnya kebun teh—di lembah Gunung Salak yang sejuk itu. Yayat heran mengapa desanya tersulut amarah. ”Kami menyesal,” katanya.
Sunudyantoro (Parakansalak), Deden Abdul Aziz (Pelabuhan Ratu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo