Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Paus di Mata Jurnalis Non-Katolik

Catatan perjalanan wartawan Tempo Francisca Christy Rosana meliput kunjungan Paus Fransiskus.

15 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK semua dari 80 jurnalis yang meliput kunjungan Paus Fransiskus beragama Katolik. Sepanjang saya mengobrol dengan para jurnalis dari berbagai negara, banyak yang mengaku beragama lain. Ada juga yang beridentitas Katolik tapi tak taat-taat amat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi saya yang belum pernah berganti agama dan dibesarkan oleh ibu yang menjadi guru agama Katolik, meliput kunjungan Paus Fransiskus bukan semata sebuah pekerjaan, tapi juga peziarahan. Melihat Paus menyapa orang sakit, anak-anak, kelompok marginal di empat negara yang berbeda, Indonesia—Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura—adalah bentuk lain praktik pelajaran agama.

Tapi bagaimana dengan jurnalis yang bukan penganut Katolik?

Wong Pei Ting, jurnalis Street Times dari Singapura, melihat Paus Fransiskus bukan sekadar pemimpin 1,2 miliar penganut Katolik di dunia. Selama sekitar dua pekan meliput kunjungan Fransiskus, ia kerap memuji paus asal Argentina itu. Ia pun tak merasa perlu menjadi Katolik guna merasakan peran Paus untuk perdamaian dunia. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Paus Fransiskus mengadakan konferensi pers di atas pesawat kepausan dalam penerbangannya kembali ke Roma setelah perjalanan 12 hari melintasi Asia Tenggara dan Oseania, 13 September 2024. REUTERS/Guglielmo Mangiapane/Pool/File Photo


Kepada saya, Ting bercerita bahwa ia melihat Fransiskus sebagai pemimpin yang tidak eksklusif. Tak seperti pemimpin negara lain, Paus membiarkan orang mendekat tanpa pengamanan ketat. Di negara-negara maju seperti Singapura, hampir tak mungkin seorang kepala negara menceburkan diri ke tengah lautan manusia atau menggunakan mobil yang tak antipeluru.

Setelah lolos akreditasi wartawan peliput kunjungan Paus, Ting merasa heran. Sebab, sangat sedikit pemimpin negara yang membuka akses liputan bagi jurnalis dari negara lain. Bahkan berada dalam satu penerbangan yang sama. Dengan maskapai penerbangan komersial pula.

Perempuan 34 tahun itu begitu bersemangat meliput Paus. Semua hal pasti ia liput dan tulis, andai saja teman-temannya tak mengingatkan dia untuk memperhatikan kesehatan badan. Ting mengaku tertular energi dari Paus saat Jorge Mario Bergoglio—nama asli Fransiskus—bersamuh dengan orang-orang di jalanan. 

Di akhir perjalanan Apostolik Paus Fransiskus, Ting menjadi paham kenapa Uskup Roma itu pernah dinobatkan Forbes sebagai orang paling berpengaruh di dunia. Di setiap negara yang ia kunjungi, Paus Fransiskus tampak begitu dihormati. Ucapan dan pesannya selalu ditunggu-tunggu, terutama pesan tentang perdamaian.

Ting tak sekali meliput kunjungan pemimpin negara. Namun, bagi dia, ada sesuatu yang berbeda dan membekas dalam kunjungan Paus. Jika kunjungan pemimpin negara lain bersifat formal dan seremonial, hal penting dari perjalanan Paus Fransiskus justru perjumpaannya dengan manusia-manusia di jalan. “Ia seperti pemimpin yang tampil tanpa kosmetik,” katanya.

Paus Fransiskus menyapa umatnya saat tiba untuk Misa di Stadion Nasional, Singapura, 12 September 2024. REUTERS/Guglielmo Mangiapane

Seperti Ting, Jordi Barcia—jurnalis sebuah radio nasional di Spanyol—mengagumi Paus dari kacamata seorang non-Katolik. Sejak kami bertemu di Vatikan, akhir Agustus lalu, Jordi kerap menyampaikan penilaiannya tentang Paus Fransiskus. 

Jordi melihat Paus Fransiskus selalu menyampaikan pesan kepada penguasa di banyak negara dengan cara yang sangat halus. Paus menggunakan kata-kata yang tepat sehingga pesan itu bisa menjadi seperti pukulan. Jordi pun melihat pesan keras disampaikan Paus Fransiskus saat berada di Timor Leste. Paus menyinggung soal kekerasan dan pelecehan seksual.

Pesan itu merujuk pada masalah-masalah pelecehan seksual yang terjadi, yang melibatkan rohaniwan Katolik. Gereja kerap tutup mata terhadap kasus itu. Jordi menilai Paus sebagai pembawa pesan yang cerdik.

Jurnalis sebuah koran oposisi pemerintah di Italia, Scarmuzzi, berasal dari lingkungan keluarga Kristen. Dia terkesan oleh Paus Fransiskus yang begitu membela imigran. Di berbagai negara di Eropa, pemerintah setempat menolak imigran. Ajaran yang disampaikan Paus Fransiskus tentang imigran, yang tercatat di dokumen gereja, tak hanya berkaitan dengan kekatolikan.

Hampir semua jurnalis yang saya temui selama kunjungan Paus tak memiliki kesan buruk terhadapnya. Namun sebagian jurnalis yang tak berasal dari Italia dan Spanyol agak menggerutu karena Paus selalu mengeluarkan humor dalam dua bahasa itu. Kami, para jurnalis dari Asia, harus menunggu pesan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Kami terlambat tertawa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus