Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pengajar Islam Rasional di Cornell University

Agus Salim gembira bisa mengajar di Cornell. Amerika tempat yang menguntungkan untuk mengantarkan pesan Islam ke seluruh dunia.

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KLEK! Terdengar suara gagang pintu dibuka. Seisi ruangan menatap ke arah pintu. "Awas, kiai datang," bisik mereka hampir bersamaan. Sebagian bergegas memasukkan botol-botol anggur ke lemari. Mereka khawatir kena "semprot". Ternyata Haji Agus Salim, yang baru masuk, malah berkata, "Tak ada minuman hangat dalam cuaca dingin begini enggak sempurna." Semua tertawa. Wine pun kembali disajikan.

Kenangan itu terjadi pada akhir musim dingin Januari 1953 di sebuah club house tempat berkumpul dosen di Cornell University, Ithaca, Amerika Serikat. Saat itu, Salim mengajar agama Islam sebagai dosen tamu. Emil Salim, 83 tahun, menceritakan kembali kisah yang didengarnya langsung dari pamannya itu kepada Tempo. "Om tahu batas. Ia tidak mabuk. Tubuhnya yang dihangatkan, bukan otak," kata Emil di kantor Dewan Pertimbangan Presiden, Jakarta, awal Juli lalu.

Tahun ini tepat 60 tahun sejak Agus Salim pertama kali menginjakkan kaki di kampus tersebut. Walau sudah lebih dari setengah abad, jejak Salim masih bisa ditemukan. Di arsip Perpustakaan Kroch, salah satu dari 17 perpustakaan di Cornell, catatan tentang Agus Salim bisa dilihat di salah satu map yang terjepit di antara koleksi lain. Di dalamnya tersimpan salinan surat lama yang diketik dan ditulis tangan oleh Salim. Ada juga sehelai telegram tahun 1953 yang sudah menguning, beserta kertas pengumuman Cornell tentang dua kelas baru yang akan diberi materi kuliah oleh Salim pada semester musim semi.

Saat itu, Salim begitu masyhur. Di kalangan mahasiswa, ia disebut "Kakek Agung Indonesia" ("The Grand Old Man of Indonesia"). Menurut Emil, waktu itu pamannya berhasil menjelaskan kepada publik di Amerika bahwa Islam bukanlah agama perang. Islam diperkenalkan sebagai agama rasional. Karena itu, pamannya tidak mengharamkan minum alkohol. Sebab, menghangatkan tubuh dengan minuman di musim dingin, baginya, adalah rasional.

Sebaliknya, kata Emil, Salim tidak suka Islam yang tidak rasional. Misalnya puasa yang mengikuti waktu matahari terbit dan terbenam. Ketika tinggal di Amerika, Salim selalu sahur pukul 4 subuh dan berbuka pada pukul 7 malam, sesuai dengan waktu Amerika berbuka seharusnya pukul 10 malam. "Kalau tinggal di Kutub Utara, kapan bukanya?" ujar putra Bay Salim, adik Haji Agus Salim, ini.

Saat masih menjadi mahasiswa, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden ini beberapa kali bersua dengan pamannya di rumah di Jalan Gereja Theresia Blok 20 (kini Jalan KH Agus Salim Nomor 72), Menteng, Jakarta. Rumah itu sekarang sudah dibongkar dan menjadi bangunan baru. Menurut Emil, pamannya selalu menekankan beragamalah dengan memakai otak. "Kalau puasa di Amerika jangan melihat matahari," kata Emil mengutip pamannya itu.

Adalah George McTurnan Kahin, Direktur Program Asia Tenggara Cornell University, yang mengundang Salim mengajar. Awalnya permintaan Kahin itu tidak ditanggapi Salim. Dia merasa minder karena cuma lulusan Hogere Burger School.

Setelah diyakinkan, Salim akhirnya bersedia—dengan catatan bisa membawa istrinya, Zainatun Nahar, ke Amerika. Saat itu, Kahin mengiyakan syarat Salim. "Kakek saya berangkat naik American Airlines," ujar Dyon Soenharjo, cucu Salim, yang menuangkan materi kuliah kakeknya itu ke buku Pesan-pesan Islam yang tebalnya 389 halaman, pada kesempatan terpisah.

Kahin memang dekat dengan Salim. Dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984), disebutkan Kahin mengenal Salim di Yogyakarta pada 1948. Saat itu, Salim menjabat Menteri Luar Negeri. Kahin sendiri wartawan kantor berita Amerika, Overseas News Agency. Saking dekatnya, Salim memfasilitasi pengiriman berita Kahin dengan sandi Republik Indonesia melalui saluran diplomatis via New Delhi.

Sebagai dosen tamu, Salim mengajar dua kelas serta memberikan kuliah tentang agama Islam dan pengaruhnya di Asia Tenggara dan Timur Tengah, khususnya Indonesia dan Pakistan. Semua perkuliahannya disampaikan dalam bahasa Inggris dan direkam. Ada 31 materi kuliah. Perkuliahan Salim digelar setiap Sabtu pukul 11 siang. Yang hadir, menurut buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, begitu banyak. Padahal waktu itu adalah masa mahasiswa menyiapkan acara malam Minggu.

Yang menjadi daya tarik dari Salim, menurut Dyon, adalah gaya mengajarnya nyentrik. Walau berjas dan berdasi, saat mengajar, Salim selalu memakai peci khusus yang bagian sampingnya bisa dibuka. Bila cuaca dingin, peci itu bisa menutupi kupingnya. Peci itu, menurut Emil, dibuat sendiri oleh Salim dan mulai dipakai sejak 1930-an ketika ia aktif di Sarekat Islam.

Kekhasannya yang lain adalah rokok kretek. Rokok menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Kahin. Selain bertugas menjinjing tas Salim, ia harus menjamin agar Salim selalu bisa merokok. Kalau tidak, Salim tidak mungkin memulai kelas. Tapi ada juga keuntungannya. Tatkala ruang kuliah dipindahkan, mahasiswa hanya perlu mengikuti bau kreteknya.

Salim juga menjadi penghulu dalam upacara pernikahan Islam yang pertama kali dilakukan di Cornell pada 19 Mei 1953. Pasangan yang menikah adalah Yulia Madewa, saat itu 29 tahun, dan Hassan Shadily, 32 tahun, dua mahasiswa Indonesia. Upacara pernikahan dilakukan di Annabel Taylor Hall, kapel universitas yang masih digunakan untuk acara khusus sampai hari ini. "Ayah memakai baju Teluk Belanga dan ibu memakai kebaya. Baju-baju itu pinjam dari Paatje dan Maatje (panggilan Salim dan istrinya)," kata Fatimah Shadily, yang lahir pada 20 April 1954, di Ithaca, kepada Tempo, akhir Juli lalu. Bersama Profesor John M. Echols dari Cornell University, Hassan menyusun Kamus Inggris-Indonesia yang sangat terkenal.

Pada awal April, Salim diundang memberikan ceramah di acara Majelis Umum Simulasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang berlangsung di Myron Taylor Hall Cornell University. Pembicara lainnya adalah Duta Besar Israel untuk PBB, Abba Eban. Di depan 350 mahasiswa dari 62 universitas seluruh Amerika, kedua pembicara memberikan pandangannya mengenai persoalan dunia pada tahun itu.

Salim fasih berbicara dalam lima bahasa dan pandai mengemukakan pendapat. Kahin pernah dibuat terperangah mendengar percakapan dalam bahasa Prancis antara Ngo Dinh Diem, yang baru diangkat menjadi Perdana Menteri Pemerintah Vietnam Selatan, dan Salim. Percakapan itu terjadi di Ruang Pertemuan Tenaga Pengajar Cornell University, dan Kahin duduk di tengah kedua orang tersebut. Dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, Kahin menulis bahwa percakapan Diem dan Salim begitu intim. Tapi Salim mendominasi yang membuat Diem banyak diam.

Dalam pertemuan The Indonesia-Pakistan Cultural Association, 9 Desember 1953, di Jakarta, dalam pidatonya, Salim mengaku gembira bisa mengajar di Cornell. Ia senang karena Amerika merupakan tempat yang tepat untuk mengantarkan pesan Islam ke seluruh dunia. Dalam kedinginan cuaca bersalju, Salim menjumpai kehangatan: persahabatan sejati. "Saya hanya berkumpul selama empat bulan di sana. Rasanya sudah bersahabat seumur hidup," ujar Salim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus