Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tutur katanya begitu runut dan tertata, khas orang sekolahan. Kadang dia berbicara dalam bahasa Belanda dan Inggris yang fasih. Wawasannya luas. Bagi yang baru mengenalnya, tentu tak akan mengira Bibsy Soenharjo tak pernah mengenyam pendidikan bangku sekolah. Bibsy, yang bernama asli Siti Asiah, adalah "lulusan" homeschooling sang ayah, Haji Agus Salim.
Bibsy kecil tak pernah menimba ilmu di sekolah formal—seperti keenam saudaranya yang lain. Ibunya, Zainatun Nahar, mengajar dia membaca, menulis, dan berhitung. Ayahnya mengajarkan segala hal. "Tidak ada kelas dan jam pelajaran yang mengikat," kata Bibsy saat ditemui Tempo di rumah anaknya, Ilham Soenharjo, di Bukit Pamulang Indah, Tangerang Selatan, pertengahan Juli lalu.
Wanita 84 tahun yang ke mana-mana dibantu kursi roda itu menuturkan, dari delapan anak Agus Salim, hanya si bungsu Mansur Abdur Rachman Ciddiq yang menempuh pendidikan di sekolah formal. Bibsy ingat ucapan ayahnya—yang dituturkan sang ibu kepadanya. "Nanti kalau kita punya anak, kita tidak akan sekolahkan mereka. Dan Ibu menerima itu."
Keputusan Salim itu dianggap aneh oleh kerabat dan tetangga. Di masa itu, anak yang tak bersekolah formal dipandang aneh dan tak wajar. Apalagi Salim adalah orang terpelajar dan berpendidikan tinggi. Jacob Salim, kakak kandung Salim, tiada henti mendorong saudaranya menyekolahkan anaknya, tapi tak berhasil.
Dia punya alasan sendiri, yang amat ideologis. Dia menganggap pendidikan saat itu adalah sistem pendidikan kolonial. Dia tak ingin anaknya dicekoki pemikiran dan kebudayaan penjajah. Dia juga menilai pendidikan saat itu amat diskriminatif, seperti pemberian nilai rendah bagi pribumi meskipun kemampuan mereka sama atau bahkan melebihi orang Belanda.
Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim mengatakan Agus Salim menilai sekolah Belanda bukan mendidik kemandirian jiwa melainkan kepentingan penjajah. "Jiwa tak diberi kebebasan tumbuh sesuai dengan jiwa masing-masing anak didik," kata keponakan Salim ini.
Setelah Belanda meninggalkan Indonesia, Salim memasukkan Ciddiq ke sekolah formal. Dia menilai, meskipun masih diawasi Jepang, sekolah Indonesia kala itu sudah tak lagi bersifat kolonial. "Saat Ciddiq, yang lahir pada 1939, masuk usia sekolah, Indonesia sudah merdeka," ujar Bibsy. "Sehingga di antara kami, dialah satu-satunya yang masuk sekolah formal."
Beginilah model homeschooling ala Salim dan istrinya: keduanya mulai memberi pelajaran kepada anak-anak sejak mereka dilahirkan. Mereka mengajak anak-anak berbicara bahasa Belanda sejak bayi—sehingga bahasa ini ibarat bahasa ibu bagi mereka. Salim menilai bahasa Belanda amatlah penting untuk pengetahuan. Apalagi, dalam keluarga golongan terpelajar, Belanda menjadi bahasa sehari-hari.
Mohamad Roem, tokoh Masyumi yang dekat dengan keluarga Salim, menyaksikan langsung hasil pendidikan itu. Suatu hari dia datang ke rumah Salim. Saat itu, Ahmad Sjauket Salim, anak Salim yang baru berusia 4 tahun, keluar dari kamar tidurnya dan meminta ayahnya menggaruk punggungnya. "Bocah 4 tahun itu sudah bisa berbicara bahasa Belanda dengan baik," kata Roem, seperti dikutip dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim.
Setelah anak-anaknya pandai bahasa Belanda, Salim dan istrinya mengajarkan dasar-dasar membaca, menulis, dan berhitung. Menurut Bibsy, mereka belajar tak duduk dalam kelas. Tak ada jam pelajaran yang mengikat. Mereka bisa belajar di mana saja di rumah, bisa di beranda atau di ruang tamu. "Pelajaran membaca dan berhitung disampaikan dengan santai, seolah-olah kami sedang bermain."
Menurut Bibsy, ayah dan ibunya mengajar dengan memberi tahu sesuatu, bercerita, dan menyanyikan lagu yang liriknya sajak-sajak pujangga dunia. Pelajaran sejarah, misalnya, disampaikan seperti tengah membacakan buku cerita. Dengan begitu, Bibsy tertarik mencari ilmu sendiri lewat berbagai cara—termasuk lewat buku-buku yang disediakan di rumah. "Di rumah selalu ada buku, karena kakak-kakak saya adalah anggota perpustakaan."
Meski begitu, ayah-ibunya tak mengharuskan dia membaca buku ini-itu. Saat dia berusia sekitar 11 tahun, di atas meja kecil di dalam kamarnya terdapat buku cerita Little Red Riding Hood, yang merupakan terjemahan bahasa Prancis, Le Petit Chaperon Rouge, karya Charles Perrault. Isinya tentang seorang anak kecil berjubah merah dan seekor serigala. "Dari buku itu, saya belajar tentang suatu masa di zaman dahulu kala," ujarnya. "Saya senang bisa menemukan hal-hal baru dari buku itu."
Agus Salim menerapkan sikap terbuka dan memberi bimbingan sebaik-baiknya dalam mendidik putra-putrinya. Saat mengajar, ia tak keberatan dibantah. Dalam menerangkan persoalan, ia tak akan berhenti sebelum anak-anaknya paham. Pekerjaan dan kegiatan politiknya amat padat, tapi ia memastikan waktunya tersedia untuk mengajar anak-anak. Biasanya saat makan pagi, siang, atau malam.
Sambil makan, dia bercerita hingga berjam-jam. "Karena pandai berhumor, pembicaraannya memikat dan tak membosankan," kata Solichin Salam dalam Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional. Dia juga tak pernah marah. Kepada Solichin—penulis tokoh-tokoh sejarah—istri Salim sempat menceritakan sikap suaminya dalam pendidikan anak-anaknya. "Kami dilarang memberikan kualifikasi kepada anak-anak, misalnya, 'kamu nakal' atau 'kamu jahat', itu tidak boleh."
Prinsip dasarnya membuat anak-anak menjadi senang—dan bukan semata-mata membuat mereka pintar. Intinya, dia menghendaki agar pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak tak terkekang oleh kehendak dan perintah orang tua. Orang tua hanya berkewajiban membimbing dan menuntun. Kebebasan diberikan untuk memberi kesempatan tumbuh-kembang jiwa serta bakat anak secara wajar.
Nah, dengan model pendidikan itu, anak-anak Agus Salim meraih sukses dalam hidup mereka. Putri sulung Salim, Theodora Atia, aktif dalam gerakan Wanita Islam dan organisasi Lembaga Indonesia Amerika. Anak kedua, Jusuf Taufik Salim, pernah bekerja pada Inter Vista, sebuah biro iklan, dan kemudian menjadi penerjemah. Islam Basari Salim, anak keenam, menjadi tentara dengan pangkat kolonel dan pernah menjabat atase militer Indonesia di Cina.
Bibsy adalah putri bungsu. Dia bekerja di sebuah perusahaan asuransi sebelum menikah dengan Soenharjo, mantan konsul di Jepang. Bibsy juga pernah bekerja di perusahaan asing—dan dikenal sebagai penyair. Pada 1998, dia meluncurkan antologi Hearts & Soul, kumpulan puisi yang ditulisnya sepanjang 1962-1998.
Dalam antologi tersebut, dari 50 sajak, tercatat 11 sajak ditulis dalam bahasa Indonesia, 2 dalam bahasa Prancis, dan sisanya dalam bahasa Inggris. Bibsy, yang mulai aktif menulis puisi sejak 1962, memang seorang poliglot (mampu menguasai banyak bahasa)—seperti halnya sang ayah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo