Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima pemuka masyarakat itu duduk santai di ruang tamu Balai Adat Koto Gadang di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Rabu dua pekan lalu, di ruang yang dindingnya dipenuhi potret tokoh asal Koto Gadang tempo dulu itu, mereka berbincang tentang masa kecil pada akhir 1930-an. Tak jarang pembicaraan dan ungkapan terlontar dalam bahasa Belanda. Bahkan sesekali, di hadapan buku berisi kumpulan lagu Belanda, mereka menyanyi bersama.
 "Semua orang tua seusia kami di Koto Gadang lancar berbahasa Belanda," kata salah satu dari mereka, M. Rusdi Inyiak Rajo Lelo, 83 tahun, kepada Tempo.
Siang itu Rusdi bernostalgia bersama Jusuf Zakir Tuanku Indo Marajo, 85 tahun, Rusli Syarif Sutan Marah Laut (80), Nurdin Nursin Sutan Rajo Ameh (74), dan Heratina Mahzar (72). Keterampilan berbahasa Belanda mereka peroleh tatkala mengecap pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Koto Gadang. Sekolah ini didirikan oleh sejumlah tokoh dan kaum terpelajar di Koto Gadang pada 1912. Salah satunya Haji Agus Salim.
Kisah HIS Koto Gadang memang tidak luput dari nama Agus Salim. Dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim disebutkan Salim mendirikan HIS setelah dia berhenti bekerja di Bureau voor Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum pemerintah Hindia Belanda) di Batavia. Salim keluar lantaran permintaan tambahan cutinya untuk pulang kampung ditolak atasannya. "Ia kemudian memutuskan kembali ke Koto Gadang dan mendirikan HIS."
Tekadnya mendirikan sekolah didasari persinggungannya yang intens dengan Belanda. Sebagai pribumi, ia kerap mengalami dan menyaksikan perlakuan diskriminatif pemerintah Belanda terhadap penduduk daerah jajahan. Pengalaman di sekolah dasar ini membekas dalam diri Salim dan membuatnya ingin melepaskan diri dari segala hal yang berbau Belanda.
Salim bahkan sejak awal perkawinan telah menganjurkan istrinya, Zainatun Nahar, untuk banyak membaca dan belajar. "Kalau kita punya anak nanti, tak usah kita sekolahkan mereka ke sekolah Belanda. Kita sendiri harus mengajar mereka!" ujar Zainatun menirukan ucapan tegas Salim. Pernyataan Zainatun itu direkam oleh putra-putrinya beberapa tahun sebelum ia wafat pada 1977.
Menurut Heratina, salah seorang alumnus HIS Koto Gadang, kepulangan Agus Salim untuk menikah berbarengan dengan pendirian HIS oleh masyarakat Koto Gadang. Salim saat itu baru setahun pulang dari Jeddah, Arab Saudi, lalu bekerja di Batavia. "Karena tidak boleh cuti lama, akhirnya dia berhenti dan diminta masyarakat Koto Gadang menjadi guru di HIS karena dianggap jenius dan hebat," katanya.
HIS Koto Gadang awalnya berdiri dengan nama HIS Studiefonds. Waktu itu sekolah di bawah pengelolaan perkumpulan Studiefonds ini masih berstatus partikelir alias swasta. Gedungnya dibangun secara swadaya. Pada zaman itu HIS di Koto Gadang terbilang maju karena HIS pada umumnya ada di kota dan kabupaten. "Koto Gadang kan kampung tapi sudah berhasil mendirikan HIS," ujar perempuan yang masih kerabat Agus Salim ini.
Berdasarkan arsip Stamboek der Partie H.I.S te Koto Gadang, pendaftaran pertama jatuh pada 5 Juli 1912, dengan masa belajar perdana dimulai tiga bulan kemudian. Ayah Heratina, Mahzar bin Soetan Maharadja Kassier, merupakan pendaftar keempat dari total 151 murid angkatan pertama HIS. Di urutan pertama adalah kakak Mahzar, Moesbar bin Soetan Maharadja Kassier. Kakak-adik ini kelak sama-sama menjadi dokter.
Heratina mengatakan peran Salim bersama HIS juga terekam dalam buku laporan tahun ketiga Vereeniging Studiefonds Koto Gadang. Di dalamnya tertulis selain menjadi pengajar, Salim diangkat sebagai penasihat HIS. Sayangnya, masa baktinya bersama HIS hanya tiga tahun. "Tak lama sesudahnya aku kontak pertama kali dengan Sarekat Islam. Aku masuk dunia pergerakan," ujar Salim seperti dikutip dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim.
Muncul spekulasi yang menyebutkan kepindahan Salim ke Jawa karena gagal mendapat diploma hoofdacte yang akan memberinya hak sebagai guru HIS. Namun, yang pasti, Salim membesarkan HIS Koto Gadang lantaran ketidakpuasannya terhadap sejumlah HIS kepunyaan pemerintah Belanda. HIS Koto Gadang juga terbilang unik. Selain menjadi HIS swasta pertama, semua guru berasal dari Koto Gadang meski pengajarannya menggunakan bahasa Belanda. Lulusan sekolah ini bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, seperti MULO, HIK, Huishoudschool, dan Stovia.
Melihat kesungguhan warga Koto Gadang mendirikan HIS, akhirnya pada 1 Juli 1929 HIS Studiefonds diambil alih oleh pemerintah dan dijadikan Gouvernements Hollandsch Inlandsche School atau HIS Gouvernements. Muridnya 207 orang dengan jenjang tujuh kelas. Sejak itu, pemerintah membiayai pengoperasian HIS.
Sayangnya, hal ini tak berlangsung lama. Perjalanan HIS sempat terseok pada 1934, saat statusnya diturunkan menjadi sekolah standar. Krisis ekonomi yang melanda dunia ketika itu membuat pemerintah Belanda berhemat. Selama tiga tahun, subsidi untuk HIS dikurangi secara perlahan. Pengelolaannya juga dikembalikan ke Studiefonds Koto Gadang.
Azizah Etek, Mursjid A.M., dan Arfan B.R., dalam buku Koto Gadang Masa Kolonial, mengatakan para petinggi Studiefonds Koto Gadang memperjuangkan HIS tetap disubsidi pemerintah. Ninik mamak penghulu berusaha mempertahankan HIS agar tak menjadi sekolah standar. Namun upaya ini gagal. Kabar baik datang saat Datuk Perpatih, warga Koto Gadang yang menjadi anggota Volksraad di Betawi, berhasil mempertahankan HIS dan membatalkan rencana perubahan ke sekolah standar.
Di ruang tamu Balai Adat, Rusdi memutar kembali memorinya saat menuntut ilmu di HIS. Ia mulai belajar bahasa Belanda saat duduk di kelas II. Tak hanya sebagai bahasa pengantar di sekolah, bahasa Belanda dipraktekkan di rumah, sehingga ibunya menguasainya. Rusdi juga belajar ilmu berhitung, ilmu bumi, budaya, dan sejarah Belanda. "Kami jadi tahu berapa jumlah kincir angin di Belanda."
Kini semua itu tinggal kenangan. Gedung HIS lenyap tak berbekas. Tak ada lagi ruang kelas berdinding kayu dan beratap seng di areal seluas 825 meter persegi itu. Sekolah rendah ini telah dihancurkan saat dijadikan SD Inpres pada 1980-an dan menjadi SD Negeri 08 Koto Gadang hampir 30 tahun kemudian.
Gedung HIS telah digantikan oleh gedung dua lantai berdinding beton yang berdiri di sisi kanan Jalan Mr Mohamad Nazif, 200 meter sebelah kiri persimpangan di depan Balai Adat. Di dalamnya terdapat enam ruang kelas, satu ruang perpustakaan, dan satu ruang majelis guru.
Heratina sangat menyayangkan hancurnya gedung HIS. Tidak hanya bersejarah, sekolah itu juga telah melahirkan banyak dokter. "Kami ingin membangunnya lagi seperti dulu," kata perempuan yang menjadi Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Nagari Koto Gadang ini. Ironisnya, tak ada satu pun jejak HIS Koto Gadang di sana, sekalipun cuma selembar potret.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo