Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar itu tiba di Kobe melalui telegram. "Ayah sakit, tidak fatal tapi kritis." Membaca kabar dari rumah, Siti Asiah, yang akrab disapa Bibsy, pun sangat terkejut. Putri kedelapan Agus Salim itu tengah berada di Jepang mengikuti suaminya yang bertugas di Konsulat Jenderal Indonesia.
Rasa sedih pun menyergap perempuan yang tengah hamil anak pertama itu. "Saat itu, saya tidak punya uang untuk pulang. Tapi saya ingin menjenguk Ayah," kata Bibsy mengenang hari-hari terakhir sang ayah.
Ia menemui suaminya, Soenharjo, di kantor Konsulat Jenderal Indonesia. "Suami saya langsung meminjam uang agar saya dapat kembali ke Jakarta," ujar perempuan 84 tahun itu bulan lalu.
Mengingat usia kandungannya yang mulai tua, Soenharjo berpesan agar istrinya tidak memaksakan diri ke Jepang dalam waktu dekat. Bahkan keduanya sempat berencana Bibsy melahirkan anak kedua mereka, Ilham Soenharjo, di Jakarta.
Takdir berkata lain. Saat Bibsy tiba di Jakarta pada 4 November 1954, jasad Salim telah masuk ke liang kubur. Padahal ia hanya terlambat setengah jam dari upacara pemakaman kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. "Saya tidak menyesal pulang. Karena yang paling penting saya dapat menghibur orang yang ditinggalkan, terutama Mama," tutur Bibsy seraya menghela napas.
Selama sepekan, Bibsy tinggal di rumah terakhir tempat ayahanda mengembuskan napas terakhir. Di rumah yang terletak di Jalan Gereja Theresia (kini Jalan KH Agus Salim 72), ia sempat menemani ibunya, yang terpukul atas kepergian sang suami. Menurut Bibsy, Mama alias Maatje memang sangat dekat dengan suaminya. "Mama sangat menyayangi Ayah. Adapun Ayah sangat menghormati Mama."
Bibsy bersyukur sempat bertemu dengan orang tuanya saat mereka berkunjung ke Jepang, sekitar setahun sebelum Salim wafat. Saat itu, orang tuanya baru mengunjungi penobatan Ratu Inggris, Elizabeth II. Dengan menumpang kapal, mereka singgah di Yokohama dan bertemu dengan anak mereka sebelum kembali ke Amerika Serikat.
Dalam pertemuan itu, Bibsy beroleh cerita langsung dari sang ibu tentang pertemuan Salim dan Pangeran Philip, suami Ratu Elizabeth. "Sementara cerita yang beredar di berbagai media sempat simpang-siur, ini adalah cerita dari orang kedua Ayah alias Mama," ucap Bibsy.
Dalam penobatan Elizabeth, yang menggantikan ayahnya yang mangkat pada 4 Juni 1953, Salim diutus mewakili pemerintah Indonesia bersama Sri Paku Alam IX. Saat jamuan makan malam berlangsung di Buckingham Palace, Salim melihat Duke of Edinburgh, suami sang Ratu, dikelilingi bangsanya sendiri.
"Ayah melihat Pangeran masih sangat muda sehingga canggung meninggalkan lingkaran itu," Bibsy berkisah. Padahal, di antara tamu kehormatan yang hadir, tampak Raja Arab Saudi hingga putra mahkota Jepang saat itu, Akihito.
Agus Salim, yang kerap disapa Oude Heer, kemudian menghampiri Pangeran Philip dan melambai-lambaikan rokok kretek yang telah disulutnya. "Apakah Paduka mengenal bau rokok ini?" ia bertanya. Pangeran Philip menjawab ragu. "Rasanya saya tidak mengenal aroma ini, Tuan," kata Philip dengan sopan.
Sambil tersenyum Salim berkata, "Inilah yang menyebabkan bangsa Paduka beramai-ramai mendatangi negeri saya." Sang Pangeran tertawa sehingga suasana pun menjadi cair. Ia kemudian bergerak luwes menghadapi para tamu kehormatan dari berbagai negara itu. "Ayah tidak berniat merokok dalam acara kenegaraan itu. Tapi itu adalah diplomasi Ayah untuk melepaskan Pangeran Philip dari lingkaran bangsanya sendiri," tutur Bibsy.
Salim sudah diwanti-wanti agar tidak melakukan kebiasaannya itu di Westminster Abbey, saat penobatan Elizabeth berlangsung. Hal ini ditegaskan Robert Brash, Duta Besar Inggris untuk Indonesia pada periode 1982-1984.
Dalam penobatan Ratu pada 1953, Brash muda adalah diplomat pendamping Salim. Dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim, Brash menulis sang tamu agung terus-menerus merokok selama di mobil menuju Westminster Abbey. "Saya minta ia berjanji harus berhenti merokok sebelum memasuki gedung," demikian tulis Brash.
Tapi aksi Salim dan rokok kreteknya di Buckingham Palace rupanya memiliki makna khusus bagi Pangeran Philip. Kepada Bibsy, Maatje bercerita bahwa Pangeran Philip menghampiri Salim saat pasangan kerajaan hendak meninggalkan Westminster Abbey. Kepada istrinya, Philip mengenalkan Agus Salim, "Gentleman ini berasal dari Indonesia."
Setelah berkunjung ke Jepang, Salim dan istrinya kembali ke Amerika Serikat untuk menghadiri seminar Kebudayaan Islam yang diselenggarakan Princeton University pada Agustus 1953. Bagi Salim, acara ini sangat berarti karena menyatukan ulama dan fukaha dari semua negara Islam di dunia untuk pertama kali.
Dalam ceramah pertemuan Asosiasi Kebudayaan Indonesia-Pakistan di Jakarta, 9 Desember 1953, ia mengungkapkan seminar yang diselenggarakan atas kerja sama Perpustakaan Kongres Amerika Serikat itu adalah pengalaman perjalanan luar negeri paling mengesankan. "Kaum muslimin yang diwakili di sana beraneka ragam. Dari utusan Turki, yang berkukuh bahwa syariat tidak sesuai sebagai dasar perundangan modern, hingga Kadi Agung dari Sanaa, yang menerangkan tepatnya syariat sebagai dasar konstitusi Yaman," ujar Salim dalam pidatonya.
Kunjungan ke Princeton mengakhiri petualangan Salim dan istrinya ke luar negeri. Meski kondisi kesehatannya makin turun, dia tetap beraktivitas di kampung halaman. Ia sempat mempersiapkan diri mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran Yogyakarta (kini Universitas Islam Sunan Kalijaga). Tapi, hingga akhir hayatnya, ia tak sempat mengajar di sana.
Perayaan ulang tahun Salim ke-70 pada 8 Oktober 1954 berlangsung meriah. Selain dihadiri Presiden Sukarno, para sahabat dan muridnya mempersembahkan kompilasi tulisan dalam sebuah buku berjudul Djedjak Langkah Hadji Agus Salim.
Ia juga sempat memberikan wawancara khusus yang terakhir kepada wartawan harian Indonesia Raya, Kustiniyati Mochtar. Wawancara sehari sebelum perayaan ulang tahun ke-70 itu berlangsung seraya Agus Salim berbaring di tempat tidur.
Agar tak melelahkan, wawancara disepakati hanya 30 menit, ditandai bunyi weker. Salah satu hal menarik yang terungkap dari wawancara itu adalah tanggapan Salim mengenai pernikahan Sukarno-Hartini yang menghebohkan saat itu.
Ia tak mau menanggapi kehebohan itu secara frontal. Salim hanya mengatakan, "Saya telah mengecap kehidupan kekeluargaan yang amat berbahagia selama 42 tahun. Memang hidup kekeluargaan yang berbahagia itu tak ada bandingannya."
Jam weker berbunyi, dan selesailah wawancara dengan seorang tokoh pemikir Islam dan pergerakan nasional itu. Tepat 28 hari kemudian, Agus Salim kembali kepada Sang Pencipta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo