Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Analis Politik dan Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo, mengatakan Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan daerah yang berpotensi terjadi ancaman dan rawan dalam pemilu 2019, khususnya pemilihan presiden. Potensi tersebut muncul karena adanya berbagai teror, seperti pembakaran sepeda motor di beberapa daerah. Dalam berbagai pemberitaan, teror pembakaran mobil juga kerap terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berita terkait: Ganjar Pranowo Duga Pelaku Teror Terima Pesanan dari Seseorang
Kenapa rawan? "Karena kalau dikaitkan dengan strategi politik kontestasi elektoral, ada yang disebut menggempur basis lawan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini basis Jokowi (calon presiden inkumben)," kata Karyono dalam diskusi di Nanami Ramen, Jakarta, Sabtu, 23 Februari 2019.
Dalam perolehan suara pada 2014, Jokowi yang saat itu berpasangan dengan Jusuf Kalla unggul dari Prabowo-Hatta di dua provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jokowi memperoleh 66,65 persen dari total suara sah sebanyak 19,4 juta suara di Jawa Tengah, dan 53,17 persen suara dari 21,9 juta total suara sah Jawa Timur.
Karyono melihat melihat teror pembakaran mobil itu sengaja dirancang untuk kepentingan pemilu. "Kenapa di Jawa Tengah? Kenapa di Jawa Timur? Jawa Tengah di Solo Raya sampai Semarang, lalu ke timur sampai Jawa Timur. Saya melihat berbagai peristiwa teror tidak berdiri sendiri," katanya.
Menurut Karyono, kejadian teror yang terjadi di dua provinsi itu nampak berkorelasi dengan agenda pilpres, dan menjadi logis jika dikaitkan dengan strategi politik firehouse of falsehood. Misalnya, dengan menebarkan politik ketakutan, propaganda, mengabaikan fakta dan realitas terus dihembuskan. Satu sisi, propaganda hoaks terus dibangun, dan teror terus terjadi.
Teror tersebut, kata Karyono, mengingatkannya pada Pilkada DKI 2017. Meski tak ada aksi pembakaran sepeda motor, teror di DKI tak kalah dahsyat. Terornya bermula dari ayat sampai mayat. "Tidak pilih si A tidak disalati. Sekarang masih terus terjadi, plus tidak hanya berhenti pada narasi atau sekedar kata-kata ditulis pada alat peraga. Tapi sudah sampai pada aksi teror yang ekstrem."
Jika pola pertarungan politik seperti itu terus dibiarkan, Karyono khawatir akan terjadi kemunduran demokrasi. Bahkan, yang lebih parah bisa mengancam persatuan dan kesatuan. Sehingga menimbulkan keretakan sosial. Padahal, menurut Karyono, pemulihannya membutuhkan waktu cukup lama. Ia pun meminta masyarakat menjadikan pemilu sebagai komponen demokrasi dalam menentukan pemimpin terbaik.
Karyono mengingatkan sentimen agama, primordial, SARA, yang merupakan residu dari Pemilu 2014, masih terasa sampai hari ini. "Ini 2019. Nanti 5 tahun yang akan datang belum tentu bisa diselesaikan, disembuhkan. Oleh karena itu, demokrasi harus penuh kegembiraan, tidak saling benci, caci maki, tidak perlu mengedepankan cara antagonis," kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini