Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penggerak Zaman Baru

Setiap ucapan dan tulisan Ernest François Eugène Douwes Dekker mengundang curiga pemerintah Hindia-Belanda. Ia dianggap agitator berbahaya. Dari rumahnya di kompleks STOVIA, dia menyusupkan pandangan kebangsaan Hindia (Indie) kepada pemuda-pemuda terpelajar di sekolah kedokteran Jawa itu. Dan sejarah Republik mencatatnya sebagai motor penggerak zaman baru dengan mendirikan Indische Partij, partai politik pertama di Hindia-Belanda.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tur Propaganda di Tanah Jawa
Parade politik Douwes Dekker disambut gegap-gempita di sejumlah kota. Dianggap mengancam keamanan, hanya bertahan tujuh purnama.

PAGI buta, 15 September 1912. Ernest Franois Eugne Douwes Dekker tiba di Stasiun Bandung. Dite­mani J.D. Brunsveld van Hulten dan J. van der Poel, dia hendak memulai lawatan politik ke beberapa daerah di Jawa. Kota pertama yang akan disinggahi adalah Yogyakarta. Tujuan tur ini untuk menyiarkan Indische Partij, partai politik yang baru ia dirikan sepekan sebelumnya.

Di tempat kereta langsir, sekumpulan orang menanti, menyambut tiga tokoh itu dengan bergairah. Sebelum meninggalkan Kota Parijs van Java, DD—sebutan lain Douwes Dekker—sempat berorasi. Dari sebuah gerbong, dia berseru dengan lantang. "Saudara, kita umumnya dianggap malas, makhluk apatis yang menderita banyak kebiasaan buruk. Tapi saya melihat Anda semua telah bangun sepagi ini menentang tuduhan para dokter Belanda yang begitu parah bahwa kita Indier rendahan."

Paul W. van der Veur dalam buku The Lion and the Gadfly menggambarkan "khotbah" Douwes Dekker itu sebagai pidato yang menggugah. Orasi selesai begitu peluit berbunyi, dan kereta meluncur ke Yogyakarta. Saat senja, rangkaian kereta memasuki­ Kota Gudeg. Di sana, para tokoh Indische Partij disambut hangat anggota Insulinde, Boedi Oetomo, dan Sarekat Islam.

Malam itu juga digelar pertemuan politik. Selain Douwes Dekker, pemimpin Insulinde Semarang, G.L. Toope, turut menyampaikan pidato. Topik yang mereka bicarakan mengenai kesetaraan ras. Mereka menyoroti diskriminasi pemerintah Hindia-Belanda terhadap warga negara. Sebagai peranakan, para anggota Insulinde selalu diposisikan di kelas dua. Lebih-lebih para pribumi. "Comrades! Nay, Indier," Douwes Dekker mengucapkan salam khas pada setiap sambutannya. Diskusi diakhiri dengan tanda tangan sekitar 60 peserta yang berniat menjadi anggota Indische Partij.

Dengan semangat bergelora, lelaki berkumis lebat yang kerap memakai topi bundar itu melanjutkan perjalanan ke Surabaya esok harinya. Seperti di Yogyakarta, dia disambut dan dielu-elukan. Melalui diskusi, dia menggalang dukungan. Sekitar 70 orang bergabung dengan Indische Partij. Salah satunya Tjipto Mangoenkoesoemo. Dokter lulusan School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) ini sengaja datang jauh-jauh dari Malang menemui kawan lamanya itu. Tjipto tak menampik ketika ditawari Douwes Dekker duduk di Indische Partij.

Selain mempunyai kesamaan visi dengan Indische Partij, Tjipto kecewa berat terhadap Boedi Oetomo. Kepada organisasi yang ia sokong pendiriannya itu, Tjipto sempat menaruh banyak harapan. Namun tempat berkumpulnya para priayi Jawa itu terlalu lembek menghadapi pemerintah kolonial.

Dalam satu kongres, ia sempat berdebat sengit dengan Radjiman Widiodipoero. Sebagai salah satu pemimpin, Radjiman ingin mempertahankan Boedi Oetomo sebagai gerakan kebudayaan yang bersifat tulen Jawa. Sedangkan Tjipto menginginkan Boedi Oetomo menjadi organisasi politik yang demokratis dan terbuka bagi setiap suku dan golongan.

Tjipto akhirnya memilih buka praktek dokter di Solo. Ketika Malang dilanda wabah pes, dengan ketulusan dan keberaniannya, ia keluar-masuk perkampungan memberi pengobatan. Di sela-sela kesibukan itu, dia mendirikan perkumpulan Raden ­Adjeng Kartini Club. Salah satu anggotanya Raden Soetomo. Kebetulan dokter yang baru lulus dari STOVIA ini terlibat dalam pembasmian wabah pes.

Saat mendengar Douwes Dekker keliling Jawa melakukan propaganda, dia tertarik menjumpainya. Dalam pertemuan di Surabaya itulah Tjipto menyatakan kesediaannya hijrah ke Bandung, demi membesarkan Indische Partij.

Setiap hari anggota partai itu terus bertambah. Selain peranakan, jumlah pribumi tak sedikit. Ada pula dari etnis Tionghoa. Masyarakat selalu menyambut antusias ketika Douwes Dekker tiba. Salah satunya kejadian 18 September 1912 di Semarang. Sekitar 300 tempat duduk di balai pertemuan itu penuh oleh massa. Separuhnya lagi mesti berdiri demi mendengarkan pidato Douwes Dekker. Pembicaraan tidak satu arah, tapi dialog yang sering diwarnai debat seru.

Tur propaganda berakhir pada hari kedelapan. Rombongan tersebut singgah di Tegal dan Cirebon sebelum kembali ke Bandung pada 22 September. Sore itu, Douwes Dekker dan teman-temannya disambut kemeriahan yang luar biasa. Harian Java-Bode dan Bataviaasch Nieuwsblad menggambarkan perjalanan sepekan itu sebagai kesuksesan spektakuler.

Sejarawan dari Komunitas Bambu, J.J. Rizal, mengatakan roadshow itu menjadi semacam tornado yang meninggalkan emosi sangat besar di kota-kota yang didatangi Douwes Dekker. "Kita lihat jejak emosi itu pada Tjipto dan Soewardi Soerjaningrat, yang kemudian bergabung," kata Rizal, awal Juni lalu.

Menyadari kesuksesan tersebut, Douwes Dekker kembali menggelar tur pada Oktober-Desember. Selain ke kota yang pernah didatangi, dia melebarkan jangkauan ke Jakarta, Kudus, Kendal, Jombang, Solo, dan Serang. DD memanfaatkan keberadaan De Expres. Melalui harian yang dikelolanya itu, dia mewartakan pandangan partai dan kegiatan yang hendak dilaksanakan.

Strategi ini jitu. Melalui De Expres, Margono Djojohadikusumo, seorang pamong praja di volkscredietwezen atau lembaga kredit rakyat di Cilacap, misalnya, mengetahui agenda kerja partai. Sebagai pemuda yang tengah terbakar api pergerakan, ia bergegas berangkat ke Purworejo kala koran itu mewartakan Douwes Dekker akan tampil di sana. "Saya tidak ingin melewatkan ceramah yang diadakan di Balai Jawa setempat," Margono menorehkan pengalamannya dalam satu buku buat mengenang Douwes Dekker.

Margono mendengarkan dengan saksama bagaimana sang pujaan berorasi. Douwes Dekker menjelaskan mengenai arti sebuah kebangsaan. "Dia berbicara tenang, sopan, dan penuh kepercayaan diri," katanya. "Di sana-sini diselingi dengan kelakar, yang mendapat sambutan hangat dari pendengarnya."

Menurut Douwes Dekker, agitasi politik ini sudah bertahun-tahun dipersiapkan. "Dalam delapan bulan, saya berpidato di muka umum lebih dari 80 kali, dari satu ujung Jawa ke ujung yang lain," demikian DD menuliskan pengalamannya dalam riwayat hidup yang dikirim saat melamar ke Universitas Zurich pada September 1913.

Puncak dari semua parade politik ini adalah pertemuan Bandung, tepat saat perayaan Natal, 25 Desember 1912. Hari itu Douwes Dekker menggelar rapat akbar. Semua pemimpin cabang Indische Partij diundang. Delegasi terjauh datang dari Aceh.

Sore itu Stasiun Bandung ramai oleh para pendatang. Rombongan terakhir tiba dari Surabaya. Utusan itu naik kereta Surabaya Express, yang telat satu jam. Mereka disambut sekelompok paduan suara. Di sudut-sudut stasiun terpasang spanduk Indische Partij. Selain disambut band itu, para undangan disuguhi tontonan kirab obor, yang dibawa 100 pemuda. Mereka mengantar para tamu ke gedung pertemuan, yang bisa menampung 2.000 orang.

Rapat dimulai pukul 21.00. Setelah memberi sambutan, dalam kesempatan itu Douwes Dekker mengumumkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Kemerdekaan Hindia menjadi tujuan utama partai. Tepuk tangan membahana. Ia juga mengumumkan pengurus partai. Tjipto Mangoenkoesoemo diangkat sebagai wakil ketua mendampinginya. Posisi sekretaris diisi Van Ham dan bendahara Brunsveld van Hukten.

l l l

Kereta itu meluncur dari Jakarta ke Serang. Tanpa diduga, Douwes Dekker bertemu dengan Bupati Serang Achmad Djajadiningrat. Peristiwa ini terjadi awal Juli 1911. Kepada teman satu kelasnya di Hogere Burger School Gymnasium Willem III itu, ia mengutarakan niatnya mendirikan partai politik. Sebagai karibnya, Achmad mendukung. Namun obrolan santai itu belum membahas langkah yang segera dilaksanakan. Hanya, sempat terlontar partai itu untuk masuk ke Dewan Kota Praja.

Keinginan membangun partai juga ia ungkapkan di organisasi-organisasi yang diikutinya, seperti Indische Bond dan Insulinde. Kebetulan pria kelahiran Pasuruan ini mempunyai pengaruh cukup kuat di dua perkumpulan itu. Dia menyodorkan gagasan mengenai nasionalisme Hindia. Menurut dia, paham inilah yang bisa membuat rakyat Hindia bebas merdeka.

Dalam satu rapat Indische Bond pada 12 Desember 1911, Douwes Dekker mendapat kesempatan menyampaikan orasi tunggal. Dengan berapi-api, dia mengungkapkan gabungan kulit putih dan kulit sawo. Menurut dia, jumlah orang Indo yang sedikit akan menyulitkan meraih kemenangan melawan pemerintah kolonial. Karena itu, penting bersatu dengan pribumi. "Di dalam perjuangan politik, hendaklah kita gigih memegang teguh apa yang telah kita peroleh. Sambil mengulurkan tangan untuk merebut segala hak kita, yang belum dimiliki," kata Douwes Dekker lantang.

Menurut penulis sejarah Tashadi, karena pidato tadi, banyak golongan Indo mendukung Douwes Dekker. Padahal, sebelumnya, kelompok peranakan yang konservatif menentang pandangannya, yang dianggap terlalu radikal.

Douwes Dekker juga memanfaatkan posisinya sebagai redaktur Bataviaasch Nieuwsblad untuk menyalurkan pandangan politiknya. Karena kelakuannya ini, dia kerap bersitegang dengan Zaalberg, pemilik Bataviaasch Nieuwsblad, yang lebih condong memperjuangkan golongan Indo.

Merasa tak lagi sejalan dengan Zaalberg, Douwes Dekker memutuskan berhenti pada awal 1912. Sebagai gantinya, dia menerbitkan koran di Bandung pada awal Maret. Dalam pengantarnya, surat kabar itu menyatakan tugas De Expres mendukung kepentingan ekonomi agar tidak memihak. Modal surat kabar ini 200 ribu franc.

Walau ada perbedaan pandangan, Zaalberg dan Douwes Dekker tetap berteman. Hal ini terlihat ketika dia bertandang ke Jakarta menemui Zaalberg pada akhir Agustus 1912. Sekali lagi, dengan tegas DD menyatakan akan mendirikan partai politik. Zaalberg, yang cukup berperan di Indische Bond dan Insulinde, dibujuk menyatukan dua organisasi itu dan mendukung dibentuknya partai baru.

Besoknya, mereka bertemu kembali dalam rapat Indische Bond. Dalam pertemuan, Douwes Dekker didukung Van der Poel dan Brunsveld untuk merombak Indische Bond. Usul disetujui. Lalu dibentuklah Panitia Tujuh, yang beranggotakan J.R. ­Angenbeek, J.D. Brunsveld van Hulten, G.P. Charli, dan E.C.L. Convieur. Nama Douwes Dekker, J. Van der Poel, dan R.H. Teuscher termasuk di dalamnya.

Panitia Tujuh memutuskan rapat lanjutan dilaksanakan bulan berikutnya di Bandung. Sembari menunggu pertemuan itu, Douwes Dekker mendatangi perkumpulan lain. Dia sempat bertemu dengan pimpinan Boedi Oetomo. Bahkan dari pendekatan ini dicapai kesepakatan tak tertulis: bila Indische Partij berdiri, sekitar 7.000 anggota Boedi Oetomo didorong mendukungnya.

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Pada 6 September 1912, Panitia Tujuh menggelar rapat yang dihadiri anggota Indische Bond. Satu ketukan palu memutuskan didirikannya Indische Partij, menggantikan Indische Bond.

l l l

TIGA serangkai memasuki pelataran Istana Gubernur di Bogor. Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat dijadwalkan bertemu dengan Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg. Pertemuan pada 13 Maret 1913 itu berlangsung atas permintaan para pemimpin Indische Partij. Mereka hendak mempertanyakan status hukum organisasi politik yang didirikan Douwes Dekker.

Langkah ini diambil setelah Idenburg dua kali menolak badan hukum Indische Partij. Pemerintah Hindia-Belanda waswas partai politik ini akan menimbulkan ancaman keamanan. Itu sebabnya, tiga serangkai ingin bertemu langsung dengan sang Gubernur Jenderal.

Namun pertemuan itu tak mengubah pendirian Idenburg. Sikapnya membikin Douwes Dekker kesal. "Apakah mungkin Kerajaan Nederland kelak memberikan kemerdekaan kepada tanah jajahan?" kata DD bersungut-sungut. Pertanyaan itu membuat muka Idenburg memerah. "Perkara itu bukan jadi soal," jawab Idenburg.

Pertemuan selesai. Indische Partij dianggap partai terlarang. "Organisasi itu dinyatakan terlarang sebelum berkembang dan menyuarakan aspirasinya," kata Kees van Dijk, peneliti KITLV di Leiden, Belanda.

Gagal mengantongi izin, gerak partai jadi tak leluasa. Padahal akhir bulan itu mereka hendak menggelar kongres pertama di Semarang. Persamuhan itu akhirnya bersembunyi di balik nama Insulinde. Kebetulan Douwes Dekker duduk sebagai Ketua Insulinde. Sekitar seribu undangan hadir pada 21-23 Maret 1913. Selain Douwes Dekker, Tjipto menjadi pembicara utama. Isi pidatonya tentang bangsa, sejarah, dan filsafat Jawa.

Sayang, kongres berakhir antiklimaks. Dengan menimbang keselamatan para anggota, Douwes Dekker membubarkan partai yang dirintisnya. Semua anggota diminta bernaung di bawah Insulinde, organisasi yang diizinkan pemerintah. Maklumat pembubaran diwartakan pada 31 Maret 1913. Dalam tujuh purnama, roh pergerakan ini dipaksa tutup usia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus