Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pulau Rempang bukan pulau kosong.
Penelitian dan laporan ilmiah menunjukkan pulau ini sudah lama berpenghuni.
Dihuni suku Orang Darat dan Orang Laut.
NAHARUDDIN kaget setengah mati saat mendengar rencana penggusuran rumahnya di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, untuk pembangunan industri. Pria 79 tahun itu tidak bisa membayangkan harus meninggalkan rumah yang ada sejak kedua orang tuanya lahir tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Meski rumah buruk gini, kami tetap bisa makan, menombak udang atau sekadar cari ikan gonggong," kata Naharuddin, tiga pekan lalu. Sudah tujuh tahun belakangan Naharuddin berhenti melaut untuk mencari nafkah karena usianya yang menua. Meski begitu, laut tetap menjadi sumber penghidupan utama bagi dia dan keluarganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu warga Sembulang, Rempang, Yudi, 66 tahun, menyebutkan nelayan adalah pekerjaan utama sebagian besar warga Rempang. Bermodal tingting, perahu kecil bermesin, mereka mencari hasil laut di perairan sekitar rumah mereka. "Beberapa ada juga yang pakai pongpong, perahu yang lebih besar, jadi bisa melaut lebih ke tengah. Tapi kebanyakan punyanya tingting," tutur Yudi.
Meski begitu, ada pula warga Rempang yang bekerja di daratan. Hardi, Ketua Rukun Warga 02 Sembulang, menyebutkan ada penduduk yang bertani hingga beternak ayam. Mereka memanfaatkan lahan yang masih cukup luas. "Ada juga beberapa yang bekerja ke Pulau Batam," ucap Hardi.
Memiliki luas 16.500 hektare, Pulau Rempang juga banyak menyumbangkan berbagai macam sayuran, dari cabai-cabaian, bayam, hingga timun. Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum Ansor Batam, Sembulang saja menyumbangkan 7 ton sayuran per hari ke Batam. "Kalau ditutup, efek dominonya panjang," kata Sekretaris LBH Ansor Batam Shohibul Abidin.
•••
ADA pula sekelompok penduduk Orang Darat yang kini hanya tersisa di Kampung Sadap, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Batam. Boleh dikatakan mereka hampir punah, hanya tersisa empat keluarga. “Yang masih berdarah murni Orang Darat ya yang tinggal di Kampung Sadap itu,” ujar Dedi Arman, peneliti sejarah di Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional, kepada Tempo, Kamis, 28 September lalu. “Beberapa hari lalu saya minta teman saya mengunjungi mereka.”
Dedi meneliti suku Orang Darat yang oleh rezim Orde Baru dimukimkan pada 1993 di Pulau Rempang lewat program Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing. Ia mendapati sekelompok orang ini berada di Kampung Sadap. Beberapa tahun lalu kampung ini masih terisolasi, hanya bisa dijangkau melalui sungai. Tapi kemudian pemerintah membuat jalan untuk mengakses kampung ini. Orang-orang tersebut berkerabat.
Sekelompok warga orang darat di Pulang Rempang, Kepulauan Riau, pada 1930. Verslag van een bezoek aan de Orang-Darat van Rempang op Februari 1930/P Wink
Dalam buku Orang Darat di Pulau Rempang: Tersisih Dampak Pembangunan Kota Batam, Dedi menemukan warga Orang Darat yang tersisa paling tua diperkirakan berusia 60-70 tahun. “Karena mereka tidak mengerti baca-tulis, tidak ingat kapan lahir,” ucapnya. Ia memprofilkan enam warga Orang Darat yang tersisa, yakni Lamat, Yang Adek, Tongku, Baru, Opo, dan Senah (Rosna), serta keluarga mereka. Beberapa di antaranya sudah berusia lanjut. Senah adalah yang tertua.
Dedi menuturkan, mereka suku yang pemalu, tidak banyak bergaul dengan dunia luar. Mereka hidup dengan bercocok tanam seadanya, kadang mencari ikan atau ketam di sungai dekat permukiman. Banyak warga Orang Darat yang kabur ke hutan pada 1977 karena tidak terbiasa hidup menetap meskipun sudah dibuatkan rumah.
Mereka tak terbiasa hidup teratur. Mereka juga tidak mempunyai penghidupan yang baik, bekerja serabutan. Pemerintah setempat memberikan subsidi beras dan bahan kebutuhan pokok lain kepada mereka. Jika ada bantuan beras untuk orang miskin, mereka pun mengambilnya. “Waktu saya ke sana ya mereka makan apa yang ada di tanah sekitar mereka. Mereka kan tidak dibekali ilmu bertani atau bercocok tanam,” ujarnya.
Dalam penelitiannya, Dedi juga menemukan dokumen pertanahan pada 1970-1980 yang ditandatangani oleh kepala desa atau camat daerah yang saat itu masuk wilayah Kabupaten Bintan. “Jadi ini membuktikan mereka sudah ada di sana, bukan Rempang yang kosong.”
Ia menuliskan bahwa keberadaan Orang Darat di Kampung Sadap pada 1970-2023 sangat minim kajian dalam bentuk penelitian ataupun pemberitaan di media massa. Pada 1975, Rida K. Liamsi pernah menuliskan keberadaan orang Melayu dan permukiman suku-suku terasing pada 1973.
Penduduk Pulau Rempang berkembang pesat setelah dibangun Jembatan Barelang pada 1990 yang mengubah lanskap geografi penduduk pulau tersebut. Tapi Kampung Sadap masih terisolasi, bahkan belum dialiri listrik. “Uniknya, ada yang punya gawai, tapi untuk mengisi baterai mereka harus menumpang di rumah warga, berjalan kaki 4 kilometer pulang-pergi,” kata Dedi.
Sejarah Orang Darat ini, Dedi menambahkan, tak lepas dari keberadaan Kesultanan Riau-Lingga (1722-1923) pada akhir abad ke-19, yang menjadikan tanggal 18 Desember sebagai hari jadi Kota Batam. Tanggal itu mengacu pada peristiwa ketika Raja Isa Ibnu Raja Ali Marhum Pulau Bayan Yang Dipertuan Muda V mendapat mandat atas Nongsa dan daerah sekitarnya di bawah perintah Sultan dan Yang Dipertuan Muda Riau.
Peristiwa ini terjadi setelah adanya Traktat London 1824 yang ditandai dengan surat Komisaris Jenderal sekaligus Residen Riau Letnan Kolonel Cornelis P.J. Elout pada 18 Desember 1829. Batam tidak lagi menjadi pusat pemerintahan Tumenggung Johor yang ditinggalkan Tumenggung Abdurahman yang hijrah ke Singapura atau Temasek. Nongsa pun berkembang dan kian ramai. Pelabuhannya menjadi tempat singgah kapal-kapal dari Riau, seperti Tanjungpinang, Penyengat, dan pulau-pulau di selatan Bintan.
Dedi menjelaskan, setidaknya ada tiga nama untuk menyebut kelompok etnis yang mendiami Kampung Sadap. Residen Riau Elisha Netscher, yang berkunjung dan catatannya dimuat dalam "Beschrijving Van Een Gedeelte Der Residentie Riouw" pada 1849, menyebut mereka sebagai Orang Darat seperti halnya peneliti Jerman, Hans Kahler. Sebelum Netscher datang ke Rempang, dua warga Orang Darat dibawa ke Tanjungpinang untuk menghadap Residen Riau H. Cornets de Groot di kantornya. Netscher tertarik karena wilayah Rempang merupakan penghasil gambir dan lada.
Pada 1930, orang Eropa kembali mendatangi Orang Darat di Pulau Rempang. Pada 4 Februari 1930, Controleur Onderafdeling Tanjungpinang P. Wink mengunjungi Orang Darat di Pulau Rempang. Catatannya tentang kunjungan itu dimuat dalam artikel berjudul "Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang", 4 Februari 1930.
Informasi tentang Orang Darat itu diperoleh dari orang Belanda bernama J.G. Schot dalam tulisannya, "Indische Gids 1882". Dalam laporan itu, Pulau Rempang disebut dihuni suku asli yang bernama Orang Darat dan tinggal di pondok beratap tanpa dinding. Orang Darat juga ada di Batam, tapi membaur dengan orang Melayu. “Wink mendata sejumlah warga Orang Darat, ada 8 laki-laki, 12 perempuan, dan 16 anak-anak. Kulitnya lebih gelap dari orang Melayu, tidak punya sampan dan hidup dari bercocok tanam,” ujar Dedi.
Cerita rakyat setempat menyebutkan tiga asal-usul Orang Darat, yakni Lingga (Teluk Lingga), Trengganu, dan Pulau Siantan, Kepulauan Anambas. Sedangkan Rida K. Liamsi menyebut Orang Darat sebagai bagian dari Orang Laut yang memilih menetap di darat. Orang-orang ini dulu penduduk Kesultanan Riau-Lingga yang setia kepada sultan mereka.
P. Wink menuturkan ihwal pemantauan orang Eropa yang berinteraksi dengan Orang Darat sejak abad ke-19. Orang Darat memiliki budaya yang berbeda dengan Orang Laut yang banyak mendiami wilayah Kepulauan Riau. Adapun ahli linguistik Jerman, Hans Kahler, meyakini Orang Darat yang berada di Rempang berkaitan dengan orang asli Malaysia, yakni Orang Senoi. Ia mengolah data dari Koloniaal Tijdschrift 1939. Disebutkan Orang Darat mewakili penduduk pra-Melayu yang berpindah-pindah. Mereka menukar hasil hutan dengan makanan dan membarter barang bekas dengan pedagang Cina. Mereka hidup dengan berburu dan menangkap ikan.
Dedi juga menjelaskan bahwa Rempang didiami suku Orang Laut. Tapi warga Orang Laut di Kepulauan Riau tersebar di 30 titik. Mengutip penelitian Vivienne Wee (1993), yang menganalisis naskah Sulalatus Salatin, Orang Laut adalah keturunan raja Melayu, yakni Raja Chulan, yang kawin dengan putri laut. Adapun penelitian Eva Warni dan Sindu Galba (2005) menyebutkan Orang Laut di Kepulauan Riau adalah suku asli Melayu keturunan bangsa Melayu Tua. Mereka orang yang setia. Di masa penaklukan Portugis di Malaka pada 1511, Orang Laut menjemput sultan mereka di Bintan dan membawanya mengungsi. Peran mereka menonjol saat terjadi krisis di Kerajaan Johor pada 1688.
Orang Laut tersebar di Lingga, Batam, dan Bintan. Sebagian menghuni Anambas, Natuna, dan Karimun. Mengutip Cynthia Chou yang mencatat perihal Orang Laut di Kepulauan Riau, mereka terdiri atas 40 kelompok dan beragama Islam seperti orang Melayu. ”Umumnya mereka tinggal tak jauh dari laut, baik di Batam maupun di pulau-pulau sekitar Batam. Pemerintah Orde Baru pernah memaksa memukimkan mereka,” tuturnya.
Kondisi Orang Laut di Pulau Rempang kini, Dedi menambahkan, telah berubah seiring dengan pembangunan. Mereka tidak lagi hidup dalam kultur zeenomaden, hidup mengembara dengan sampan di lautan bebas atau menjalankan aktivitas ekonomi subsisten. Mereka harus melaut lebih jauh karena pencemaran dari darat. Mereka yang dimukimkan pun makin terobsesi menjadi bagian dari Orang Darat. “Mereka makin meninggalkan karakter sebagai Orang Laut yang dikenal sebagai penguasa lautan,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Egi Adyatama dari Pulau Rempang berkontribusi dalam reportase untuk memperkaya artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sebuah Pulau dengan Orang Laut dan Orang Darat"