Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pulau Rempang dalam Manuskrip Sejarah Kerajaan Melayu

Manuskrip lama Tuhfat al-Nafis babon babad Kesultanan Melayu Melaka. Kitab sejarah modern tentang kisah kerajaan hingga pasukan.

1 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Peta Kepulauan Riau-Lingga, antara 1883-1885. Dok.KITLV

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Manuskrip lama karangan Raja Ali Haji.

  • Kitab babon sejarah modern abad ke-19 Kesultanan Melayu Melaka.

  • Memuat informasi tentang silsilah dan dinamika kerajaan hingga pasukan setia yang membuat jeri penjajah.

PULAU Rempang bukanlah pulau yang asing dalam sejarah kesultanan di tanah Melayu. Tatkala Kesultanan Melayu Melaka dipimpin Raja Abdulah atau Sultan Mansyur Syah (1458-1477), kerajaan itu memiliki prajurit yang terlatih dan setia yang berasal dari Kepulauan Bintang, Bulang, Pulau Rempang, Galang, Kepulauan Karimun, Kepulauan Lingga, Pulau Tujuh, Riau daratan, pantai timur Sumatera, Kalimantan, Singapura, dan Malaysia kini. Mereka mendiami wilayah di sepanjang Kepulauan Riau dan Selat Melaka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika Peringgi atau Portugis yang dipimpin Laksamana Afonso de Albuquerque dengan 1.600 serdadu dan 15 kapal besar menyerang kesultanan tersebut pada 1511, mereka tak mudah menaklukkan kerajaan ini. Mereka sampai harus mendatangkan bantuan dari Goa, India. Sultan Mahmud Syah I, sultan terakhir Melaka, kemudian memindahkan pusat pemerintahan yang juga menjadi benteng pertahanan di Bintan (Kerajaan Melayu dulu) yang diperkuat benteng pelindung di Kota Kara. Portugis datang lagi pada 1523 dan 1524. Kara dan Kopak dihancurkan. Sultan Mahmud Syah I bertahan di Pulau Bulang, Rempang, Galang, dan Bintan hingga meninggal di Riau daratan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Raja Muda Muhammad Yusuf bersama pengikutnya di Kesultanan Riau Lingga, 1867. Dok.KITLV

Setelah kerajaan ini jatuh, berdirilah Kesultanan Johor-Riau pada 1528. Pusat pemerintahannya berada di Hulu Riau (Tanjungpinang) pada 1678. Kerajaan itu dikenal dengan nama Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Bangsa Barat pun mendatangi wilayah ini. Saat itulah mulai dikenal istilah bajak laut, istilah negatif yang disematkan Portugis, Inggris, dan Belanda kepada prajurit Melayu. Mereka sesungguhnya rakyat biasa yang terdiri atas orang Melayu (Orang Laut), Orang Lanun, dan suku Laut yang menghuni wilayah Kepulauan Riau, seperti Kepulauan Bintan, Bulang, Rempang, Galang, pulau-pulau di seluruh Batam, Kepulauan Karimun, Kepulauan Lingga, dan Pulau Tujuh, juga pesisir, selat, dan pulau di laut lepas Sumatera timur, Semenanjung Malaysia, hingga Singapura.

Mereka sudah dikenal luas sejak era Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Melaka, hingga Riau-Lingga. Orang Portugis menyebut mereka Celates. Adapun orang Belanda menyebut mereka Slatter, yang berarti "Orang Selat". “Mereka berperan penting dalam menjaga laut, mengusir dan mengacaukan musuh kerajaan (terutama Portugis, Belanda, dan Inggris serta sekutunya),” ujar Abdul Malik, budayawan dan akademikus di Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Menurut Abdul Malik, mereka memandu dan mengawal kapal-kapal pedagang yang berbisnis secara resmi ke pelabuhan-pelabuhan kerajaan-kerajaan Melayu. Wilayah operasional yang menjadi tanggung jawab mereka berada di sepanjang Selat Melaka sampai perbatasan Laut Jawa hingga Laut Natuna Utara.

Edisi cetak transliterasi oleh Virginia Matheson Hooker dengan judul Tuhfat Al-Nafis: Sejarah Melayu-Islam.

Abdul Malik menjelaskan, dalam situasi normal, bukan perang, mereka bekerja layaknya rakyat biasa. Mereka menjadi nelayan, pedagang antarpulau (pemasok barang keperluan sehari-hari penduduk), pemandu pelayaran, pembuat senjata, serta pembuat perahu atau kapal tradisional. “Mereka berperan penting bagi Kesultanan Melayu, yakni di bidang pertahanan, keamanan, dan ekonomi perdagangan. Mereka dikenal sebagai pasukan pertikaman atau prajurit terdepan Kesultanan Melayu yang gagah berani dan paling setia kepada raja-raja Melayu.”

Mereka dipimpin oleh panglima dan panglima besar yang umumnya adalah pembesar kerajaan berpangkat laksamana atau pemimpin tertinggi laskar laut diraja Melayu, seperti Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Nadim, dan Megat Seri Rama (Laksamana Bentan). Pasukan bajak laut ini berperan penting dalam perlawanan terhadap semua bangsa asing yang hendak menjajah. Di antara mereka, ada yang dibina kesultanan setempat. Ada pula yang didatangkan dari daerah dan kawasan lain untuk membantu Kesultanan Melayu di Kepulauan Riau dan Semenanjung Melayu.

Pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah (1564-1570), sultan kedua Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, misalnya, Portugis tak mampu menguasai Kesultanan Riau-Lingga karena dihadang barisan rakyat Melayu tersebut. Pada masa penjajahan Belanda, perlawanan sengit juga terjadi ketika Kesultanan Riau-Lingga dipimpin Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I (1722-1760). Begitu juga pada masa Perang Riau I yang berlangsung di perairan Tanjungpinang. Pasukan Kesultanan Riau-Lingga dipimpin Yang Dipertuan Muda IV Raja Haji Fisabilillah (1777-1784). Dia membentuk koalisi kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (dari Sumatera timur hingga Sulawesi).

Karena bantuan prajurit dari kerajaan di Jawa tertahan Belanda, pasukan bajak laut itu terus mengawal wilayah Kesultanan Riau-Lingga. Mereka pun menjadi pasukan pertikaman dan memenangi  pertempuran, mendesak Belanda yang lari ke Melaka. Mengutip tulisan Elisha Netscher, Raja Haji dan Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) beserta pasukannya, termasuk para bajak laut, mengejar mereka. “Raja gugur dalam peperangan yang berakhir di Teluk Ketapang, Melaka, itu,” ucapnya.

Raja Ali Haji, 1867. Wikimedia

Kekuatan Kesultanan Melayu Melaka ini juga dibuktikan dalam Perang Riau II yang dimenangi secara gemilang oleh pasukan Kesultanan Riau-Lingga di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah yang dibantu sekutunya. Setelah kemenangan itu, sang Sultan mengubah strateginya menjadi perang gerilya laut. "Untuk menerapkan strategi baru itu, Sultan Mahmud Syah III memindahkan pusat pemerintahan ke Daik Lingga diikuti 200 kapal, dan 150 kapal yang diawaki rakyat terlatih dipindahkan ke Bulang, Rempang, Galang, Batam, Kepulauan Karimun, Pulau Tujuh, Indragiri, Jambi, Singapura, Johor, dan Pahang. Bulang, Rempang, dan Galang dijadikan basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau-Lingga sejak itu,” Abdul Malik menambahkan.

Kekuatan pertahanan kerajaan itu terdiri atas 8.000 tentara patroli laut, 20 ribu personel pasukan darat, 42 ribu pejuang siaga di seluruh kawasan kesultanan, dan 24 ribu prajurit yang khusus menjaga wilayah Lingga, tempat Sultan Mahmud Riayat Syah bertakhta. Mereka dipimpin oleh Engku Muda Muhammad dan panglima perang Raman. Belanda dan Inggris takut terhadap mereka sehingga menyebut Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai pemimpin bajak laut.

•••

PASUKAN bajak laut ada sejak abad ke-16 hingga kejatuhan Melaka. Tapi, kata Abdul Malik, fenomenanya meningkat pada periode sepertiga akhir abad ke-18 menurut banyak laporan. Salah satu tokohnya adalah Panglima Raman yang berasal dari Galang-Rempang. “Kalau masyarakat Rempang kini direlokasi, Kepulauan Riau khususnya dan Indonesia umumnya kehilangan jejak historis patriotisme yang seharusnya kita banggakan,” ujar Abdul Malik.

Pendapat serupa disampaikan sejarawan Universitas Riau, Suwardi. Menurut dia, sejarah Kesultanan Riau-Lingga cukup panjang. Sebelum Kerajaan Melayu, juga Kesultanan Riau-Lingga, berdiri, ada Kerajaan Sriwijaya di Bintan. Setelah itu, baru terbentuk Kerajaan Melaka. Pusat kekuasaannya berpindah-pindah, dari Bintan, Melaka, Johor, Kampar, Siak, Temasek, Lingga, hingga kemudian kembali lagi ke Bintan. “Perpindahan itu tak lepas dari peperangan melawan Portugis dan Belanda. Kerajaan Melayu ini luas menguasai wilayah pesisir dan daratan, dari Melaka hingga Riau Daratan,” kata Suwardi.

Adapun Pulau Rempang, Suwardi melanjutkan, merupakan bagian dari Kerajaan Melayu hingga Kesultanan Riau-Lingga yang dipimpin seorang yang dipertuan muda—semacam perdana menteri di bawah sultan. Dengan pemimpin setaraf dengan perdana menteri, wajar pembesar itu didampingi laksamana-laksamana dan laskar pengawal negeri. Barangkali pendampingan itu memang bertujuan menghadapi musuh. Semua kisah mereka dimuat dalam manuskrip Tuhfat al-Nafis.

Elmustian Rahman, pengajar bahasa Indonesia di Universitas Riau, menyebutkan manuskrip ini ditulis oleh Raja Ali Haji. "Tuhfat al-nafis" dapat diterjemahkan sebagai "hadiah yang berharga". Judul kitab ini berbahasa Arab, tapi isinya ditulis dalam bahasa standar Melayu tinggi. Dirampungkan sekitar 1866, Tuhfat al-Nafis menceritakan kepemimpinan orang Melayu dan Bugis di Kepulauan Riau dan kawasan semenanjung pada abad ke-18 hingga 1860-an. Kitab ini ditulis dengan nuansa sejarah modern dalam pemahaman Barat. "Bisa dianggap sebagai buku sejarah modern pertama di Nusantara,” tuturnya kepada Tempo, Kamis, 28 September lalu. 

Dalam manuskrip ini, Elmustian menambahkan, pembaca bisa menemukan perbedaan antara fakta dan mitos. Ia menyebutkan nama sumber informasi untuk fakta. Adapun untuk mitos dia menyelipkan kata "konon" di akhir paragraf. Berdasarkan fakta dalam manuskrip ini, menurut Elmustian, Raja Ali Haji adalah orang yang detail. Dari beberapa aspek, cara lugas penyusunan sejarah itu berciri kesarjanaan Islam. 

Makam Raja Ali Haji dikompleks makam bangsawan, Pulau Penyengat, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Juni 2014. Tempo/Ratih Purnama

Kitab ini adalah salah satu karya Raja Ali Haji, yang hidup pada 1809-1873. Ia mulai menulis pada 1865, seperti dinyatakan pada bagian pembukaan: “Maka pada ketika itu adalah Hijratun-Nabi shallallahu alaihi wasallam 1282 tahun dan pada 3 hari-bulan Sya’ban yang maha besar dan berbangkitlah hatiku membuat kitab ini….

Elmustian menjelaskan, manuskrip yang tersimpan di Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde di Leiden, Belanda, ini adalah hadiah dari Residen Riau A.L. van Hasselt yang diserahkannya pada 1903. Manuskrip itu berasal dari simpanan Yang Dipertuan Muda Riau X Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi yang menghadiahkannya kepada residen tersebut pada 1896. Selain naskah itu, ada manuskrip R.O. Winstedt yang menyalin naskah Tengku Fatimah binti Sultan Abubakar Johor. Ada pula manuskrip Sir William Maxwell dari salinan naskah seseorang asal Perak pada 1890 yang kini tersimpan di perpustakaan Royal Asiatic Society di London. Selain itu, ada manuskrip yang disimpan di Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur.

Manuskrip ini juga telah dicetak dalam beberapa versi. Salah satunya Tuhfat al-Nafis yang dicetak dengan huruf Arab-Melayu (Jawi) oleh Journal of the Malayan Branch of Royal Asiatic Society pada 1932. Versi ini diterbitkan berdasarkan manuskrip R.O. Winstedt yang dicetak setebal 330 halaman dan dilengkapi ringkasan daftar isi oleh Winstedt (halaman 303-330). Hasil transliterasi dari huruf Arab-Melayu (Jawi) ke huruf Latin yang dilakukan Encik Munir bin Ali diterbitkan Malaysia Publication Ltd, Singapura, pada 1965. Edisi cetak ini terbit dengan judul Tuhfat al-Nafis Karangan Raja Ali Al-Haji Riau.

Edisi cetak transliterasi oleh Virginia Matheson Hooker dengan judul Tuhfat Al-Nafis- Sejarah Melayu-Islam diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, pada 1991. Adapun edisi terjemahan dalam bahasa Inggris diterbitkan oleh W.E. Maxwell, tapi hanya bagian peperangan Raja Haji Fisabilillah. Terjemahan ini dimuat dalam Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society XXII, Desember 1890. Hasil penerjemahan dan penganotasiannya yang dilakukan Virginia Matheson dan Barbara Watson Andaya dengan judul The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis) diterbitkan Oxford University Press, Inggris, pada 1982.     

Manuskrip ini banyak memakai sumber dan bahan perbandingan, seperti dikatakan pengarangnya sebagai “sejarah dan siarah dari pihak Siak”, “sejarah dan siarah Siak”, “sejarah dan siarah Pontianak”, “sejarah dan siarah dari sebelah timur dan dari sebelah barat”, “siarah haji Kudi”, “karangan Engku Busu”, serta “tawarih Tok Ngah”. “Dimuat pula keterangan lain yang menguatkan sikap ilmiah dalam hal memakai sumber-sumber yang akurat sebagai salah satu syarat dasar sebuah karya sejarah yang dapat dipercaya,” ucap Elmustian.

Sebagai karya sastra sejarah, Tuhfat al-Nafis jauh lebih kompleks baik dalam hal struktur, isi, maupun pemanfaatan bahasanya yang memuat kata-kata ataupun istilah yang berasal dari bahasa Arab dan bahasa Eropa. Beberapa peneliti terdorong untuk menuliskannya secara ilmiah. Misalnya Muhammad bin Anas dari Universiti Malaya, Malaysia, yang menulis "Geographical Notes to the Tuhfat al-Nafis" pada 1958 dan Ismail Abdul Rahman dari Universiti Malaya yang melahirkan tulisan "The Arabic Influence in the Tuhfat al-Nafis" pada 1959. Ada pula Virginia Matheson dari Monash University, Australia, yang menulis tesis "Tuhfat al-Nafis: A 19th Century Malay History Critically Examined" pada 1973.

Setelah itu, makin banyak penelitian tentang manuskrip ini. Elmustian juga menyebutkan banyak sekali manuskrip Melayu, terutama tentang Kesultanan Riau-Lingga. Ia mengungkapkan, menurut perkiraan peneliti Profesor Doktor Achadiati Ikram, ada lebih dari 10 ribu manuskrip yang dihasilkan di Riau-Lingga. “Itu tentu menggambarkan semua hal tentang Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan daerah taklukannya di kawasan Bintan, Batam, Rempang,” ujarnya.

•••

ELLYA Roza, dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, dalam Jurnal Sosial Budaya Volume 9 Nomor 2 Juli-Desember 2012 menulis "Tinjauan Sejarah terhadap Naskah dan Teks Kitab Pengetahuan Bahasa, Kamus Logat Melayu Johor Pahang Riau Lingga Karya Raja Ali Haji". Ia menjelaskan sosok dan silsilah Raja Ali Haji. Raja Ali Haji adalah keturunan Bugis yang lahir di Pulau Penyengat pada awal 1807 dengan nama kecil Ali. Nama lengkapnya adalah Raja Ali al-Hajj ibni Raja Ahmad al-Hajj ibni Raja Haji Fisabilillah atau Engku Haji Ali ibni Engku Haji Ahmad Riau atau Tengku Haji Ali bin Tengku Haji Ahmad bin Raja Haji as-Syahidu Fisabilillah Upu Daeng Celak. Orang tuanya adalah Raja Ahmad bin Raja Haji Fisabilillah dan Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor.

Pada usia 13 tahun, ia mengikuti ayahnya ke Batavia untuk urusan Kesultanan Riau-Lingga dengan pemerintahan Hindia Belanda. Ia bertemu dengan Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen dan berkenalan dengan cara hidup modern orang-orang Belanda. Ia juga menemui Christiaan van Angelbeek, ahli bahasa dan kebudayaan Melayu. Ia berjumpa pula dengan P. Roordas dan Hermann von de Wall yang kemudian menjadi sahabat dekatnya. Kedekatan itu terbukti dengan adanya komunikasi yang sangat intens di antara mereka melalui surat.

Pada 1830, Raja Ali Haji berperan aktif mengerjakan urusan administrasi Riau-Lingga sebagai pemangku Sultan Mahmud bersama sepupunya, Raja Ali putra Raja Ja’far. Ia memimpin perjalanan inspeksi ke pulau-pulau di Riau untuk membasmi bajak laut. Pada 1840, ia ditunjuk menjadi penasihat kerajaan ketika Raja Ali bin Ja’far menjabat Yang Dipertuan Muda VIII.

Raja Ali Haji adalah pengarang yang prolifik. Dia telah menulis 13 buku. Salah satunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa. Ada juga Kamus Logat Melayu Johor Pahang Riau Lingga yang dapat dikatakan sebagai kamus umum bahasa Melayu. Kitab ini ia tulis sesudah mengarang Bustan al-Katibin. Kedua kitab tersebut dibuat Raja Ali Haji sebagai pertanda perhatiannya yang besar terhadap bahasa Melayu. Kitab Pengetahuan Bahasa dan Kamus Logat Melayu Johor Pahang Riau Lingga terdiri atas 466 halaman yang dicetak dalam dua bentuk.

Adapun menurut tulisan Alimudin Hassan dari Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sultan Syarif Kasim yang berjudul "Historiografi Melayu Kajian atas Tuhfat Al-Nafis Karya Raja Ali Haji", Tuhfat al-Nafis adalah karya sejarah Melayu yang paling kompleks dan canggih di antara semua karya Melayu yang ditulis sebelum abad ke-20. “Karya ini merupakan pemuncak yang gemilang dalam pernyataan pemikiran dan kebudayaan Melayu, akan membangkitkan lagi kebanggaan terhadap kejayaan penulisnya, Raja Ali Haji,” katanya.

Manuskrip ini dikatakan sebagai karya agung sekaligus memiliki ciri khas yang berbeda dengan teks lain. Hal ini bisa dilihat dari konsepsi sejarah karya yang lebih luas dan mendalam; konsepsi  serta cakupan ruang waktu yang begitu luas. Selain itu, dari aspek historiografi, Raja Ali Haji membangun kaidah baru dalam menceritakan sejarah peristiwa masa lalu. Begitu juga dari unsur bahasa, filsafat, dan historiografi, dia mensintesiskan tradisi Melayu dan Islam. Terakhir, dari gaya bahasa dan isi, kitab ini mudah dibaca dan narasinya mengasyikkan untuk diikuti.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Suryadi dari Riau berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sejarah Panjang Pasukan Pertikaman Kepulauan Riau"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus