Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penahanan dua hari dan dua kali interogasi terhadap Lie Khie Ngian tak banyak mengungkap fakta baru. Warga negara Belanda kelahiran Muntok, Pulau Bangka, berusia 73 tahun itu banyak menjawab "tak tahu" atau "tak ingat". Selebihnya, ia tak mau buka suara. Pemeriksaan pun mentok.
Kesulitan menelisik saksi penting yang kebetulan warga asing seperti Khie Ngian hanya salah satu dari sekian banyak hambatan yang dihadapi Tim Pencari Fakta (TPF) dalam mengungkap pembunuhan Munir Said Thalib. Rintangan lain datang dari berbagai sisi, dari minimnya dukungan dana sampai tak cukupnya otoritas yang diberikan kepada tim yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Desember 2004 ini.
Duduk di kursi 3J sebelah Munir di kelas bisnis saat terbang dengan Garuda GA-974 dari Jakarta menuju Belanda, doktor ilmu kimia organik lulusan universitas di Jerman Barat itu masuk daftar yang dicurigai TPF. Pada 6 September 2004 malam itu, Khie Ngian hendak pulang ke Belanda bersama istrinya, Lie Fon Nie. Yang agak tak lazim, dalam penerbangan jarak jauh itu, pasangan ini duduk terpisah. Fon Nie tak duduk di kelas bisnis, tapi satu tingkat di bawahnya di kelas premium.
"Kami juga curiga karena Khie membawa sendiri botol air mineral ke dalam pesawat. Hal yang seharusnya dilarang dan tak ada perlunya, mengingat air minum dengan mudah bisa diminta," kata Rachland Nashidik, salah satu anggota TPF, 24 November lalu di Jakarta. Selain di lambung dan darah Munir, racun arsenik ditemukan Tim dalam jumlah besar di kemejanya. Mereka curiga, selain masuk lewat minuman saat transit di Singapura, ada arsenik yang dicoba ditambahkan ketika Munir sudah kesakitan di pesawat.
Dalam dua kali pemeriksaan itu, Khie Ngian mengakui sempat membantu dokter Tarmizi Hakim mencarikan obat untuk menolong Munir sewaktu racun mulai bekerja selepas terbang lagi dari Bandar Udara Changi. "Setelah disuntik, agak tenang. Saya tak mendengar erangan lagi," katanya, seperti tertera pada berita acara pemeriksaannya pada 6 April 2005. Masih sempat mengobrol dengan Tarmizi, Khie kemudian tahu bahwa Munir sudah meninggal juga dari sang dokter.
"Sayang, pemeriksaan tak bisa dilanjutkan," ujar Rachland. Belum ada bukti sahih yang cukup untuk menjadikannya tersangka. Artinya, tak ada pula alasan menahan Khie lebih lama. "Sementara pemerintah Belanda menelepon terus dan mendesak agar warganya dibebaskan, kecuali ada bukti lain."
Persoalannya, pemeriksaan atas Khie berlangsung tujuh bulan berselang sejak kematian Munir. Adapun bukti dari lokasi kejadian di kabin Garuda dan hasil pemeriksaan saksi di Bandara Schiphol oleh Marsose (Marechaussee, polisi khusus) masih dipegang Kementerian Kehakiman Belanda. "Itu alot. Mereka sangat keras dan kaku. Data dan barang bukti tetap ditahan," kata Mulya Wirana, Duta Besar RI untuk Portugal, yang pada 2004 ikut melobi dalam posisi sebagai Atase Politik Kedutaan Besar RI di Belanda. "Karena kita punya hukuman mati bagi kasus pembunuhan berencana, mereka tak mau kasih, karena hal itu bertentangan dengan konstitusi Uni Eropa."
Gagal mengusut keterlibatan warga negara lain dalam konspirasi jahat ini, investigasi TPF terhadap mereka yang dicurigai di dalam negeri juga tak gampang. Banyak usaha seperti menabrak tembok, terutama ketika arah penyelidikan mulai mengerucut pada sejumlah petinggi Badan Intelijen Negara. Resistansi terjadi dengan berbagai cara dan alasan. Sebagian terang-terangan menolak diperiksa dan menuding tim yang dipimpin Brigadir Jenderal Marsudhi Hanafi itu tak punya kewenangan memanggil orang.
Mereka yang masuk daftar TPF untuk dimintai keterangan adalah Nurhadi Djazuli (mantan Sekretaris Utama BIN), Kolonel Marinir Sumarno (Kepala Biro Umum BIN), Mayor Jenderal Purnawirawan Muchdi Purwoprandjono (Deputi V BIN), dan mantan Kepala BIN Jenderal Purnawirawan Abdullah Makhmud Hendropriyono. Tiga kali pemanggilan, Nurhadi berkukuh tak mau datang. Dalam siaran persnya pada 27 April 2005, dia menegaskan sikapnya itu dengan alasan panggilan TPF tak memiliki dasar hukum. Ia juga membantah mengenal dan mengangkat Pollycarpus Budihari Priyanto, tersangka utama, sebagai agen BIN.
Sehari setelah penolakan ketiga itu, Kementerian Luar Negeri menunda keberangkatan Nurhadi ke Nigeria sebagai duta besar. Hari berikutnya, Kepala Kepolisian RI Jenderal Da'i Bachtiar meminta Nurhadi memenuhi panggilan TPF. Lewat Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut menekan dia agar mau dimintai keterangan.
Nyatanya semua desakan itu tak cukup sakti membuat Nurhadi dan para petinggi BIN melunak. Sampai kemudian ditandatanganilah protokol kerja sama antara TPF dan Kepala BIN Syamsir Siregar pada awal Mei tahun itu. Protokol itu diharapkan bisa mempermudah kerja TPF dalam pemeriksaan para pejabat intelijen.
Tapi lagi-lagi Nurhadi menolak. Kali ini ia beralasan isi protokol tak sejalan dengan mandat keputusan presiden yang membentuk TPF. Dia baru menyerah setelah sejumlah anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat mengancam akan meninjau ulang posisinya sebagai duta besar. Akhirnya, pada 9 Mei, di kantor Diklat Kementerian Luar Negeri di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, TPF memeriksa Nurhadi selama dua jam dengan sekitar 20 pertanyaan.
Beberapa waktu kemudian, pemeriksaan lain terhadap sejumlah pejabat dan dokumen dilakukan di kantor BIN di Pejaten, Jakarta Selatan. "Itu pun sangat terbatas. Terhadap beberapa dokumen dan informasi yang kami anggap perlu untuk diperiksa, akses tak diberikan," ujar Rachland.
Lain Nurhadi, lain pula Hendro dan Muchdi. Kedua petinggi yang semestinya menjadi kunci yang dicurigai TPF itu tak surut sedikit pun dari posisinya. "Jelas bahwa BIN gagal bekerja sama dengan TPF," kata Wakil Ketua TPF Asmara Nababan (almarhum) ketika itu. "Pada tiga kali pertemuan dengan Presiden SBY, BIN menjanjikan akses yang lebih besar. Kenyataannya, mereka tidak memberikan akses kepada TPF untuk mendapat dokumen yang relevan dan gagal mengatur pertemuan para pejabatnya dengan TPF."
Tak hanya menolak diperiksa, Hendro bahkan melaporkan dua anggota TPF, Rachland dan Usman Hamid, ke polisi atas tuduhan fitnah dan perbuatan tak menyenangkan. Lalu, di ujung masa tugas kedua TPF pada pekan ketiga Juni 2005, Hendro balik mengundang pertemuan dengan TPF dalam rapat yang difasilitasi Tim Pemantau Kasus Munir di DPR. Kali ini giliran TPF yang menolak datang karena pertemuan itu tak lagi ada gunanya.
Rachland mengakui, selain kerasnya resistansi para petinggi intelijen dan hambatan legal lainnya, ada faktor internal TPF yang turut jadi soal. "Harus dipahami, kami dulu muda, sangat bersemangat, tapi juga amatiran," ujarnya. Tapi, kata dia, "Selama sejarah, tak ada preseden LSM mendapat kewenangan dari eksekutif untuk memeriksa BIN. Tak ada pula sejarah Komandan Kopassus diperiksa di pengadilan sipil kecuali Muchdi dalam kasus Munir."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo