Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tim Pencari Setengah Hati

Pembentukan tim pencari fakta tidak optimal. Sejumlah nama yang diusulkan tim penggodok dicoret Istana.

8 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPUTUSAN mendadak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu mengagetkan kolega Munir Said Thalib, para aktivis hak asasi manusia di Jakarta. Nama enam tokoh yang diusulkan masuk Tim Pencari Fakta Kematian Munir tiba-tiba saja raib dalam Keputusan Presiden Nomor 111 yang diumumkan pada 23 Desember 2004.

Di antara yang dicoret adalah Ahmad Syafi'i Ma'arif (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dan Todung Mulya Lubis, pengacara senior.

Ketiga nama itu diusulkan karena perhatiannya yang sangat besar terhadap kematian Munir. Pencoretan nama itu menimbulkan kekecewaan. "Entah bagaimana nama-nama itu bisa hilang," kata Rachland Nashidik, aktivis The Indonesian Human Rights Monitoring (Imparsial), kolega Munir, Senin dua pekan lalu.

Penyusunan TPF memang mengalami pasang-surut. Dua bulan setelah kematian Munir pada 7 September 2004, tidak ada tanda-tanda pemerintah yang baru dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono bakal membentuk tim investigasi independen. Di kalangan pegiat hak asasi, seperti Imparsial dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), terjadi perdebatan mengenai desakan kepada pemerintah agar membentuk tim independen.

Rachland, yang ketika itu menjadi Direktur Eksekutif Imparsial, mengusulkan agar ada kampanye untuk mendesak berdirinya tim independen yang dibentuk negara. Alasannya, pembunuhan Munir yang diduga dilakukan oleh alat negara bisa diungkap juga dengan alat negara.

Mayoritas aktivis pesimistis dengan ide itu. "Mereka tidak yakin SBY mau membentuk tim independen," kata Rachland.

Menurut dia, hanya Asmara Victor Michael Nababan, mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang mendukungnya.

Usul membentuk tim independen akhirnya sampai juga ke Yudhoyono. Dengan undangan khusus, Presiden menerima Rachland, Todung, Mufti Makarim (aktivis Imparsial), dan Suciwati, istri Munir, di Istana Negara pada 23 November 2004.

Pertemuan itu mengirim sinyal bahwa tim independen bakal segera dibentuk. Sejak itu, muncul nama-nama yang dikabarkan masuk tim independen. Salah satunya Syafi'i Maarif. "Saya menyatakan diri bersedia," katanya kepada Tempo, 26 November 2004. Selain Syafi'i, disinggung pula nama mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais dan Todung Mulya Lubis.

Namun, belakangan, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi mengatakan penelusuran kematian Munir sebaiknya menunggu penyelidikan polisi. Pernyataan ini membuat para aktivis yang tadinya menolak semakin yakin tim independen hanya pepesan kosong.

Tak ingin api perjuangan padam, mereka gencar menggalang dukungan dari masyarakat sipil dan dunia internasional. Pada 8 Desember 2004, bertepatan dengan hari kelahiran Munir, para aktivis menggelar peringatan ulang tahun dengan meresmikan patung Munir di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Dalam acara yang diisi Iwan Fals, penyanyi yang tersohor dengan lirik kritik sosial itu, keluarga dan kawan-kawan Munir mengirim sinyal kekecewaan kepada pemerintah.

Seminggu setelah peringatan Munir, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S. mengumpulkan aktivis untuk menyusun cetak biru tim investigasi. Widodo merupakan menteri yang diberi tugas khusus oleh Yudhoyono untuk pembentukan tim investigasi.

Panggilan Widodo itu membangkitkan lagi optimisme. Rachland mengatakan koleganya mulai menggodok orang yang akan diusulkan di kantor Demos yang dipimpin Asmara Nababan di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat. Rachland mengusulkan agar tidak semua aktivis masuk TPF. "Perlu ada yang di luar sebagai pengawas," katanya.

Nama yang diusulkan—antara lain Syafi'i Ma'arif dan Todung Mulya Lubis—diserahkan Rachland kepada Widodo. Selain kawan dekat Munir, keduanya aktif membela korban-kobran tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi.

Widodo tak langsung menyodorkan itu ke Presiden. Seminggu kemudian rapat kembali digelar di Markas Besar Kepolisian RI di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Pesertanya adalah perwakilan kepolisian, Kejaksaan Agung, dan para aktivis hak asasi. Tujuannya meramu tugas, kewenangan, kewajiban, serta komposisi anggota TPF.

Hasil rapat menyepakati 15 nama. Selain Syafi'i, nama Sinta Nuriyah, istri mantan presiden Abdurrahman Wahid, juga dimasukkan. Disepakati kepolisian diwakili Brigadir Jenderal Andi Hasanudin Mappalangi. "Dia polisi yang berani," kata Rachland.

Setelah semuanya bulat, hasil ramuan tim itu disorongkan ke meja Presiden. Dua hari kemudian, melalui juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, terbit keputusan presiden. Anehnya, enam nama dicoret dan diganti lima nama baru.

Dari 14 nama, ditunjuk masuk dua nama baru, yaitu Bambang Widjojanto—sekarang pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi—dan Smita Notosusanto, aktivis hak asasi. Tapi keduanya menolak bergabung.

Menurut Rachland, Smita menolak karena mengganggap TPF tidak akan efektif mencari dan mengungkap pembunuhan Munir. Yang paling mendapat sorotan adalah masuknya nama Brigadir Jenderal Marsudhi Hanafi, Kepala Biro Analisis Bareskrim Polri, sebagai perwakilan polisi dan menggantikan Andi Hasanuddin.

Juru bicara kepolisian waktu itu, Inspektur Jenderal Paiman, mengatakan nama Marsudhi disorongkan Presiden saat Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar membawa usul tim hasil rapat di Mabes Polri yang dipimpin Widodo A.S.

Tak hanya komposisi yang disunat, tugas TPF yang tadinya diusulkan bisa memonitor dan mengevaluasi penyelidikan dan penyidikan berubah menjadi membantu tugas polisi. "Kami ini ibarat banpol (bantuan polisi)," kata Usman Hamid, salah satu anggota TPF.


Dua Versi Tim Pencari Fakta Tugas dan kewenangan

Rapat Mabes Polri

Tugas:
Secara aktif membantu penyidik Polri melaksanakan proses penyelidikan dan penyidikan pengungkapan kasus meninggalnya Munir.

Wewenang:
a. Memberikan pertimbangan dan/ atau pendapat kepada penyidik Polri dengan atau tanpa diminta oleh penyidik Polri.
b. Mengusulkan arah penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik Polri, memonitor dan mengevaluasi perkembangannya.
c. Meminta keterangan dari pihak yang diperlukan serta berkonsultasi dengan ahli dalam dan luar negeri demi kepentingan jalannya proses penyelidikan dan penyidikan.

Kewajiban:
Membuat laporan kepada Presiden mengenai kegiatan yang dilaksanakan dan merekomendasikan kebijakan-kebijakan bagi Presiden.

Keputusan Presiden
Tugas dan wewenang:

a. Membantu Polri melakukan penyelidikan.
b. Melakukan hal-hal lain yang dianggap perlu.
c. Memperoleh bantuan dari instansi pemerintah pusat dan daerah.

Keanggotaan

Rapat Mabes Polri
1. Ahmad Syafii Maarif, Ketua PP Muhammadiyah
2. Sinta Nuriyah, istri mantan presiden Abdurrahman Wahid
3. Asmara Nababan, Ketua Komnas HAM
4. Todung Mulya Lubis, pengacara senior
5. Pejabat pemerintah
6. Bambang Widjojanto, pengacara
7. Hendardi, aktivis Imparsial
8. Usman Hamid, aktivis Kontras
9. Munarman, aktivis Imparsial
10. Smita Notosusanto, aktivis HAM
11. Brigadir Jenderal Andi Hasanudin Mappalangi, Kepala Biro Analisis Bareskrim Polri
12. Domu Sihite, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh
13. Kemala Chandrakirana, Ketua Komnas Perempuan
14. Nazaruddin Bunas, Direktur Daktiloskopi Ditjen Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
15. Des Alwi, Kepala Subdirektorat Eropa Barat Kementerian Luar Negeri

Keputusan Presiden
1. Brigadir Jenderal Marsudhi Hanafi (ketua)
2. Asmara Nababan (wakil ketua)
3. Bambang Widjojanto (menolak)
4. Hendardi
5. Usman Hamid
6. Munarman
7. Smita Notosusanto (menolak)
8. I Putu Kusa, Direktur Pra-penuntutan Jampidum Kejaksaan Agung
9. Kemala Chandrakirana
10. Nazaruddin Bunas
11. Retno L.P. Marsudi, pejabat Kementerian Luar Negeri
12. Arief Havas Oegroseno, pejabat Kementerian Luar Negeri
13. Rachland Nashidik, aktivis Imparsial
14. Mun'im Idries, ahli forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus