Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nomor Siluman beranak-pinak

Polisi dan Tim Pencari Fakta Kematian Munir menemukan puluhan kontak telepon Pollycarpus dengan Muchdi. Di persidangan catatan itu menguap.

8 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fakta berharga itu terungkap pada pertengahan Mei 2005. Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir menemukan jejak yang menghubungkan Pollycarpus Budihari Priyanto dengan Muchdi Purwoprandjono. Keduanya tercatat puluhan kali menjalin komunikasi lewat telepon. "Waktu itu kami merasa kayak James Bond aja," kata anggota Tim Pencari Fakta, Rachland Nashidik.

Kisah mendapatkan catatan telepon tersebut terbilang berliku. Itu berawal ketika Komisaris Polisi Toto Wibowo, asisten Tim Pencari Fakta, menyita telepon seluler milik Pollycarpus. Dari sini didapat data panggilan masuk dan keluar yang masih terekam.

Polisi lalu menyelidiki sejumlah nomor yang pernah saling terhubung. Setelah sekian nomor diteliti, ada satu nomor yang membuat penyidik mengernyitkan dahi. Angkanya biasa saja, terdiri atas delapan digit: 79179374.

Seorang anggota Tim pernah mencoba mengontak nomor telepon fixed line itu. Terdengar nada sambung di ujung sana. Seseorang mengangkat telepon. Tapi, mungkin karena orang itu merasa berbicara dengan orang tak dikenal, telepon langsung ditutup. Polisi lantas mengecek ke PT Telkom lewat nomor pelayanan 108. Namun pemilik nomor itu tak bisa dilacak. Nomor itu juga tak terdaftar di buku telepon Telkom.

Terbentur jalan buntu, koordinator tim penyidik, Komisaris Besar Anton Charliyan, menyampaikan nomor aneh itu kepada Tim Pencari Fakta. Rachland Nashidik dan dua temannya langsung bergerak. Berbekal surat pengantar dari Wakil Ketua TPF Asmara Nababan, mereka mencoba menemui Direktur Utama PT Telkom Kristiono.

Pada suatu siang, Rachland dan kawan-kawan mendatangi kantor pusat Telkom di Jakarta. Namun, karena mereka datang mendadak, sekretaris Kristiono mengatakan bosnya tak bisa ditemui. "Hari itu katanya sedang rapat pemegang saham," ujar Rachland.

Tak kehilangan akal, Rachland mengontak Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil—kini Menteri Koordinator Perekonomian. Rachland meminta bantuan Sofyan untuk mengontak Kristiono agar bersedia ditemui Tim. Setelah dikontak langsung oleh sang Menteri, Kristiono segera turun menemui tiga utusan TPF di lobi.

Rachland meminta bantuan Kristiono menelisik nomor "siluman" itu. Semula Kristiono —saat itu ditemani Direktur Teknik Telkom—mengatakan untuk melacak nomor itu hanya perlu waktu sekitar sepuluh menit. Tapi, beberapa saat kemudian, ia menemui Rachland lagi. "Wah, ini memang tak bisa ditemukan. Kami harus lebih keras melacaknya," ucap Rachland menirukan Kristiono. Dia pun berjanji segera menghubungi Rachland begitu mendapat informasi.

Menjelang tengah malam, Rachland mendapat panggilan telepon dari salah seorang direktur Telkom. Alih-alih memberi informasi, sang direktur malah balik bertanya, "Pak Rachland dapat nomor dari mana?" Rachland tak menjawab pertanyaan itu. "Yang penting, kami perlu tahu ini nomor BIN atau bukan," kata Rachland langsung pada pokok persoalan.

Dengan suara pelan, sang direktur membenarkan bahwa pemilik nomor itu adalah Badan Intelijen Negara yang berkantor di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Rachland meminta direksi Telkom membuat surat keterangan bahwa nomor itu adalah nomor BIN. Namun sang direktur menyarankan Rachland mengurus surat itu ke kantor Telkom di Bandung. Sore harinya, Rachland bertolak ke Bandung.

Esok harinya, Rachland mendapat surat keterangan itu dari Telkom Bandung. Namun, sebelum memberikan surat keterangan, seorang kepala bagian di kantor Telkom Bandung lagi-lagi bertanya dari mana Rachland memperoleh nomor itu. Heran dengan pertanyaan serupa, Rachland balik bertanya, "Memangnya kenapa?"

Si kepala bagian menjelaskan, sesuai dengan Undang-Undang Telekomunikasi, ada dua jenis kerahasiaan pelanggan. Pertama, pelanggan bisa punya nomor, tapi nomor itu tak dicantumkan di buku kuning (yellow page). Kedua, pelanggan bisa meminta dipasangi nomor induk dan ratusan nomor anak, tapi hanya nomor induk yang dipublikasikan. Adapun semua nomor anaknya tidak diumumkan.

Perihal nomor induk ini, jika menelepon ke luar, yang tercantum di layar hanya selalu nomor induk (direct line). Sedangkan nomor anak (indirect line) tak muncul. Nomor anak itu hanya bisa dikontak oleh orang yang diberi tahu nomor tersebut. "Itu namanya sistem DID, direct inward dialing," kata Rachland.

Nah, menurut Telkom, BIN hanya memasang dua nomor induk di kantor pusatnya. Sedangkan nomor telepon di setiap meja pejabat BIN memakai nomor anak. Belakangan, TPF menemukan data tagihan kedua nomor induk itu dibayar BIN—rata-rata Rp 6,9 juta per bulan.

Menurut penelusuran polisi, nomor anak yang pernah berhubungan dengan nomor Polly itu adalah nomor di meja Muchdi. Di ruang kantor itu ada tiga nomor telepon. Satu buat faksimile, satu nomor telepon induk, dan satunya lagi nomor anak. "Polisi menyimpulkan itu nomor anak telepon induk Deputi V BIN," ujar Rachland.

Penelusuran polisi atas nomor telepon Polly juga menemukan catatan puluhan kontak pilot senior Garuda itu dengan telepon seluler orang BIN. Pada hari kematian Munir, misalnya, nomor Polly (08159202267) tercatat sepuluh kali menghubungi nomor seluler Muchdi (0811900978).

Polisi juga menemukan jejak panggilan dari nomor rumah Polly (021-7407459) di Pamulang Permai, Tangerang Selatan, ke nomor seluler Muchdi itu. Dalam kurun Agustus- November 2004, nomor Polly dan Muchdi tercatat 41 kali berhubungan (lihat infografis).

Dalam berbagai kesempatan, Polly dan Muchdi sama-sama menyangkal perihal hubungan telepon antarmereka. Di depan penyidik polisi dan hakim, Muchdi berkali-kali menyebut tidak mengenal Polly. Dia juga mengaku tak pernah berhubungan dengan Polly. Ketika polisi dan jaksa menunjukkan print pemakaian telepon seluler, Muchdi memang tak menyangkal bahwa itu nomor milik dia. Namun dia berkelit, menyebutkan yang berbicara dengan Polly bukan dirinya. Alasannya, telepon seluler hadiah dari PT Barito Pacific itu biasa dipakai siapa saja.

Muchdi pun menegaskan sangkalannya ketika diwawancarai Tempo pada Februari 2006. Ketika ditemui di sela-sela pernikahan anaknya akhir pekan lalu, Muchdi meminta Tempo merujuk pada fakta yang terungkap di pengadilan.

Saat memvonis Pollycarpus 14 tahun penjara, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat masih menyinggung 41 kali hubungan telepon Polly dengan Muchdi. Kala itu Rachland dan kawan-kawan berharap dalang pembunuhan Munir bakal segera terungkap. Namun, ketika Muchdi menjadi terdakwa, jaksa tak memasukkan data hubungan telepon itu sebagai bukti—data itu disingkirkan. Di persidangan, Muchdi juga menyangkal tudingan hubungan percakapannya dengan Polly.

Menurut call detail record yang dikeluarkan operator PT Telkomsel, ketika dihubungi Polly, posisi nomor telepon Muchdi di Jakarta dan Surabaya. Nah, alibi Muchdi, sehari sebelum Munir terbunuh, dia bertugas ke Malaysia. Muchdi lagi-lagi berkelit, menegaskan bahwa nomor itu bisa saja dipakai orang lain. Jaksa tak mengejar lebih jauh kebenaran alibi Muchdi.

Ujungnya, fakta adanya telepon ini pun akhirnya bisa ditebak. Ketika memutus Muchdi tak bersalah pada Januari 2009, majelis hakim pun tak menjadikan data telepon itu sebagai pertimbangan yang memberatkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus