Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AGUS Dermawan T., pengamat seni rupa, mengingat masa-masa dirinya menjadi mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta pada 1970-an. Selain aktif menggelar pameran seni rupa serta menulis seni rupa, dia terpikat pada dunia kepenyairan. Dia giat menulis puisi. Dan hal yang amat membanggakan dirinya adalah saat sajak-sajaknya dimuat oleh Umbu di harian Pelopor Yogya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya mulanya mengirim puisi ditolak terus oleh Umbu. Sampai kemudian saya bertemu Umbu di Senisono. Umbu bilang: ‘Puisimu kurang sedikit. Kirim lagi. Ayo kirim lagi!' Saya lalu mengirim lagi. Beberapa kali malah. Tapi tetap tidak satu pun dimuat. Saya bertemu lagi Umbu, dia bilang lagi: ‘Kurang sedikit. Kirim lagi!’ Saya kirim lagi. Akhirnya satu puisi saya masuk di lembar Pos Persada. Puisi saya itu hanya lima baris.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembar Pos Persada dibikin oleh Umbu untuk menampung sajak-sajak dan artikel para penulis dari Persada Studi Klub (PSK). Di lembar Pos Persada ini Umbu memberikan komentar terhadap karya-karya mereka dan memberikan masukan. Puisi yang menurut Umbu bagus ditampung di rubrik Sabana. “Rubrik Sabana ini menjadi rubrik bergengsi bagi para penyair saat itu,” tutur Ons Untoro, pegiat sastra Yogyakarta. Agus Dermawan ingat, setelah puisinya masuk ke lembar Persada, dia berjuang keras bisa diterima di level selanjutnya, yaitu Kompetisi Persada. “Setelah puluhan kali saya kirim puisi lagi, beberapa puisi saya masuk rubrik Kompetisi Persada. Umbu bilang puisi di level Persada itu level C. Masuk Kompetisi Persada itu level B. Sementara kalau bisa masuk rubrik Sabana itu level A,” ujar Agus, mengenang.
Agus menceritakan, setelah setahun lebih sajak-sajaknya dimuat di level Kompetisi Persada, barulah dia bisa menembus lembar Sabana. “Puisiku masuk Sabana pada 1974. Saat saya ke Senisono, ketemu Emha Ainun Nadjib dan Yudhistira Adi Massardi, mereka langsung menyalami saya. Bahkan, ketika bertemu dan Ashadi Siregar di warung Pak Wongso, dia juga memberi ucapan selamat. Wah, kayak lulus fakultas saja….”
Logo Persada Studi Klub./Dok. Agus Dermawan T
Dari enam deklarator PSK, setelah kematian Umbu Landu Paranggi, kini tinggal Soeparno S. Adhy, 72 tahun, pensiunan wartawan senior dan penulis tajuk harian Kedaulatan Rakyat Yogya, yang masih hidup. Lima orang lain, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, Ipan Sugiyanto Sugito, Mugiyono Gito Warsono, dan Ragil Suwarna Pragolapati, telah meninggal. Soeparno S. Adhy ingat mereka mereka berenam pada 5 Maret 1969 di ruangan berukuran 5 x 7 meter di lantai dua Harian Pelopor di Jalan Malioboro mendeklarasikan berdirinya komunitas Persada Studi Klub. Kini bangunan itu beralih fungsi menjadi Perpustakaan dan Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta.
Soeparno mengisahkan saat itu Umbu gemar mengundang anak-anak muda usia sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas untuk aktif di komunitas tersebut. Soeparno ingat dirinya saat itu bersekolah di Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta. “Umbu tak pernah mengarahkan harus menulis seperti apa,” ucap Soeparno. Soeparno ingat di markas komunitas PSK itulah kemudian pada setiap Rabu belasan penulis muda berdatangan di ruangan sederhana yang dilengkapi meja, kursi rotan, dan televisi hitam putih tersebut untuk berdiskusi rutin. Ada yang duduk-duduk sembari menonton siaran Televisi Republik Indonesia. Ada juga yang berdiri.
Mereka mendiskusikan karyanya masing-masing. Misalnya, Soeparno membacakan puisi karyanya, kemudian dibedah oleh penulis lain. Di situlah para penulis muda itu ditempa melalui kritik yang terlontar. Soeparno, misalnya, pernah mengkritik puisi berjudul “Mekah” karya almarhum Bambang Indra Basuki, adik budayawan Kuntowijoyo. Intensnya pertemuan di PSK membuat penulis-penulis muda itu semakin akrab dengan Umbu. Soeparno ingat dalam diskusi-diskusi itu Umbu tak pernah meminta murid-muridnya membahas karya-karyanya. Umbu juga jarang mempublikasikan puisinya.
Selain diskusi, Umbu kerap mengajak mereka membacakan puisi di sebuah taman di utara Hotel Inna Garuda di kawasan Malioboro dan Gedung Seni Sono, sebelah selatan Istana Gedung Agung Yogyakarta. Soeparno mengingat, Umbu pernah bercerita dia tidak sreg disebut sebagai Presiden Malioboro. “Umbu lebih senang dipanggil sebagai penjaga taman,” kata Soeparno. Jam terbang mereka makin bertambah tatkala kerap diundang ke luar Yogyakarta untuk bertukar pikiran dengan penulis muda dari kota lain, misalnya di Solo. Umbu menempa keterampilan penulis muda dengan banyak cara. Untuk lomba membaca puisi, misalnya, Umbu disiplin melatih penyair membacakan puisi di area terbuka Universitas Gadjah Mada; Malioboro; dan Gampingan, kampus ASRI.
Soeparno mengenal Umbu sebagai guru yang mengayomi murid-muridnya. Baginya, Umbu adalah seorang yang menjiwai ajaran Taman Siswa. Tentang hal ini, Agus Dermawan juga merasakannya. Agus ingat suatu kali puisinya yang berjudul “Batuk” yang dibacakan dalam perayaan Hari Kartini membuatnya diskors tanpa batas (alias dipecat) dari ASRI. Sebelumnya, Agus telah mengalami skors pertama karena memberikan catatan pengantar pameran Nusantara! Nusantara! yang dianggap mengkritik Orde Baru. “Puisi saya itu dibacakan Tri, seorang aktivis teater di aula ASMI (Akademi Seni Musik Indonesia). Dianggap menyindir kekuasaan orang tua,” kata Agus. Umbu saat itu membela Agus. “Umbu memuat foto wajah saya di lembar PSK. Di situ ada kata-kata sandi: STSRI batukkan! Agus Dermawan Tantono, dadu STSRI ASRI mainkan!” ujar Agus. Ketikan sajak itu sendiri, menurut Agus, dirampas ASRI, tapi untung dia punya kopinya. “Saat ke Jakarta, saya serahkan sajak itu ke Bambang Bujono, lalu olehnya diserahkan ke Sapardi, redaktur Horison, dan dimuat di majalah Horison pada 1977,” tutur Agus.
Halaman rubrik Sabana yang diasuh oleh Umbu di harian Pelopor Yogya./Dok. Agus Dermawan T
Banyak sajak murid Umbu yang dimuat di Horison, tapi sajak Umbu sendiri jarang atau tak pernah dimuat di Horison. Tapi bukan karena Horison tak mau memuatnya. Soeparno mengatakan suatu hari seorang redaktur majalah Horison mendatangi Umbu dan meminta puisi-puisinya untuk diterbitkan di majalah tersebut dalam edisi khusus. Tapi Umbu suatu ketika mendatangi kantor majalah Horison dan mengambil naskah-naskah puisinya serta meminta puisinya batal diterbitkan. Entah kenapa. Sikap Umbu yang misterius kembali muncul tatkala dia pergi dari Yogyakarta pada 1975 tanpa berpamitan kepada murid-muridnya. Dia tiba-tiba menghilang begitu saja. Dan tiba-tiba pada 1978 dia mengasuh rubrik apresiasi di Bali Post.
Tak ada yang mengetahui pada periode 1975-1978 Umbu berada di mana. Soeparno menduga selama tiga tahun itu Umbu pulang ke Sumba dan orang tuanya mengawinkannya. Di kalangan murid-muridnya, Umbu, menurut Soeparno, dikenal sebagai seorang yang tertutup dan membatasi diri untuk menceritakan urusan pribadi keluarganya. Tapi, suatu ketika kepada Soeparno, Umbu pernah bercerita bahwa dia di Sumba dikawinkan oleh orang tuanya. Suatu hari, Umbu hanya bercerita istrinya berlatar belakang insinyur kimia, alumnus Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah. “Tapi bisa juga Umbu ‘lari’ karena dicurigai Laksuda, karena saat itu pada 1974-1975 banyak terjadi penangkapan-penangkapan aktivis,” ujar Agus Dermawan T.
Soeparno bertemu terakhir kalinya dengan Umbu pada 2012 di Bali. Saat itu, Soeparno menjumpai Umbu yang sedang bekerja di Bali Post. Tiga kali bertemu Umbu, Soeparno memilih berjumpa pada Sabtu malam karena Umbu saat itu sedang menggarap layout rubrik puisi yang diasuhnya. “Umbu susah sekali ditemui saat itu,” katanya.
Seno Joko Suyono, Shinta Maharani
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo