Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA bertemu pertama kali dengan Umbu Landu Paranggi di kantor Bali Post, Jalan Kepundung, Denpasar, sekitar Januari 1984, sebagai wartawan muda. Kala itu Umbu mengasuh dua halaman sastra budaya yang gayeng, guyub, dan hangat. Para penulis pemula dan penyair muda saat itu terbawa kompetisi kreativitas ala Umbu. Umbu mengelola rubrik puisi di Bali Post dengan membaginya ke jenjang-jenjang yang diibaratkannya kompetisi liga sepak bola.
Para penulis berlomba mengirimkan karya dan berharap dapat lolos ke jenjang lebih tinggi, dari jenjang Pawai, Kompetisi, Kompetisi Promosi, hingga "ditasbihkan" sebagai penyair di puncak seleksi: Pos Budaya. Nama-nama dan foto-foto kami bergantian dihadirkan dengan komentar-komentar pendek yang menyengat, seakan gocekan bola di depan gawang. Dan kami—para penulis—berdebar-debar menunggu siapakah yang berhasil menciptakan gol alias karyanya dimuat.
Sebagaimana di Yogyakarta, Umbu juga bertahun-tahun mengapresiasi puisi dari banjar ke banjar dan dari sekolah ke sekolah di berbagai pelosok di Bali, semata untuk mendorong tumbuhnya kreativitas dan atmosfer penciptaan. Suasana gayeng dan intens terjaga dari waktu ke waktu; seakan tiada hari tanpa puisi di Bali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila di Yogyakarta lahir sastrawan-sastrawan seperti Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Linus Suryadi A.G., Ragil Suwarno Pragolapati, Korrie Layun Rampan, dan Eko Tunas, di Bali muncul pula sejumlah nama lintas generasi. Mereka antara lain Nyoman Wirata, Alit S. Rini, Cok Sawitri, Oka Rusmini, Mas Ruscitadewi, Dewa Sahadewa, Putu Fajar Arcana, Wayan Juniarta, Tan Lioe Ie, Wayan Jengki Sunarta, Raudal Tanjung Banua, Riki Dhamparan Putra, hingga generasi teranyar Ni Made Purnamasari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak semuanya melalui jenjang atau tahap kompetisi tersebut. Saya, misalnya, memilih tantangan langsung Umbu agar karya saya dimuat di Pos Budaya. Istilah Umbu: “kompetisi bawah tanah”. Tentu saja pemuatan hanya dimungkinkan bila karya saya dipandang telah mencapai tahap kematangan tersendiri serta menemukan ragam stilistik dan estetik yang mempribadi.
Umbu Landu Paranggi (kiri) dan Warih Wisatsana./Dok. Warih Wisatsana
Umbu memang pribadi yang terbuka dan egaliter, tecermin pada keyakinannya bahwa dunia penciptaan penuh kemungkinan. Kompetisi bawah tanah hanyalah satu contoh bagaimana Umbu sangat menghargai potensi, bakat, dan minat seseorang yang ditimbang selaras dengan kehidupan dan pertumbuhan pribadi masing-masing.
Umbu tidak jarang mendatangi kawan penulis, bahkan pemula sekalipun. Dia bisa bermalam-malam berbincang tentang aneka hal terkait dengan penciptaan, sosok-sosok seniman yang menginspirasi, berikut juga kisahnya. Namun harus diungkap di sini bahwa Umbu tidak pernah secara langsung mengajari praktik menulis puisi. Dia cenderung mendorong para penulis muda untuk mengalami pengalaman. Sentuhan yang mempribadi ini meninggalkan kesan yang mendalam bagi mereka yang tengah dirundung penciptaan puisi. Hal ini pulalah yang menyebabkan sosok Umbu lekat dalam ingatan banyak “muridnya”.
Misalnya dia tidak segan mengajak kami atau seseorang untuk datang dinihari ke Pasar Rakyat Kumbasari yang disebutnya sebagai “Universitas Kehidupan”, semata untuk menghayati bagaimana “ibu-ibu perkasa” (istilah Umbu) yang dengan sabar berjualan atau memikul sayur-mayur. Walau saat itu hujan turun deras, Umbu menolak untuk menepi. “Hayati hujan ini supaya hidupmu kuyup dan kamu kuyup dengan kehidupan. Kamu mesti mengalami pengalaman, barulah mungkin meraih kedalaman haru. Maka proses penciptaan itu diam-diam akan bekerja dalam dirimu.”
Upayanya yang sepenuhnya mendorong anak-anak muda menemukan jalan kreasi dirinya justru semakin relevan dengan era digitalisasi ini, ketika kemajuan teknologi informasi dengan gadget dan perangkat aplikasi terbukti kian canggih memanipulasi kenyataan menjadi serangkaian simulacra. Dunia yang serba seakan serta seolah fakta dan data dikemas atau disulap menjadi sebentuk pseudo-realitas yang melampaui kenyataan senyatanya. Para vlogger atau influencer dengan jumlah pengikut jutaan, bahkan puluhan juta, menciptakan simulacra yang pada gilirannya menjadikan masyarakat semakin ilusif dan delutif; teralienasi dari realitas sekitarnya.
Selama ini mitos yang melekat pada eksistensi Umbu di dunia sastra memberikan kesan dia berjarak dari keseharian. Umbu yang dikenal sebagai sosok serba ”konon”, sulit ditemui, dan jarang hadir di ruang publik menjadi gambaran umum kesenimanannya. Tak sepenuhnya demikian, karena sebenarnya Umbu adalah pribadi yang bersahaja dan sederhana lahir batin; tak ada rekayasa publikasi untuk memisteriuskan diri.
Beberapa tahun belakangan ini bahkan Umbu kian tampil terbuka, lebih ekspresif menanggapi percakapan, bahkan hadir dalam berbagai forum resmi. Misalnya, dia menyampaikan renungan kebudayaan dalam Simposium Sastra Internasional 2019 di Taman Budaya Denpasar. Dengan kata lain, tentulah Umbu sendiri mengalami transformasi secara pribadi. Semua bermula pada romantika saat dia meninggalkan Sumba, kemudian dikenal sebagai “ustad” di Yogyakarta (begitu panggilan Cak Nun); hingga menemu momen “terlahir kembali” setelah sakit merundungnya pada 2014 di Bali. Pengalaman yang secara alami mempertautkan kehangatan Umbu dengan putra-putrinya.
Bila kita mengurai mitos yang melingkupi Umbu, serta mengalami pergaulan kreatif dan sentuhan langsung sehari-hari dengannya, tergambarlah bahwa dia adalah sosok yang tulus berbagi dan jauh dari pamrih pribadi. Dia memilih “meniadakan” diri dan bahagia menyaksikan seseorang menemu eksistensinya dalam proses penciptaan.
Transformasi hidupnya yang lintas zaman, serta pergaulannya yang lintas generasi, berikut keteguhan dirinya memenuhi panggilan hidupnya sebagai penyair dan “guru kehidupan”, disadari atau tidak, telah menghadirkan Umbu sebagai sosok yang paradoks dengan lapis-lapis ambiguitasnya yang melahirkan aneka kisahan; mengundang tanya atau keingintahuan (tafsir).
Bila kita mengurai mitos yang melingkupi Umbu, serta mengalami pergaulan kreatif dan sentuhan langsung sehari-hari dengannya, tergambarlah bahwa dia adalah sosok yang tulus berbagi dan jauh dari pamrih pribadi. Dia memilih “meniadakan” diri dan bahagia menyaksikan seseorang menemu eksistensinya dalam proses penciptaan.
Pada berbagai kesempatan, ia pernah mengungkapkan niatnya menerbitkan buku antologi puisi tunggal dengan aneka versi judul, misalnya Sarang, Para Pemeluk Pohon, Kuda Kayu, dan Upacara Kelahiran. Namun hingga dia tutup usia hal tersebut belum terwujud.
Umbu, dengan segala laku hidupnya yang mempercayai kata-kata sebagai jiwa dari jiwaku, telah meyakini nasib dirinya sebagai raja sekaligus budak belian sebuah kerajaan purbani, bernama senantiasa/nasibmu/umbu landu paranggi (“Sajak Kecil”). Keteguhannya dalam ibadah kepenyairannya tersurat pula dalam baris-baris puisi lainnya; dengan mata pena kugali-gali diriku/dengan helai-helai kertas kututup nganga luka-luka/kupancing udara di dalam dengan angin tangkapanku/begitulah selalu/kutulis nyawamu/senyawa nyawaku (“Upacara XXII”).
Kepergian Umbu menjadi trending topic. Laman media sosial penuh ucapan dukacita, kisah pertemuan pribadi, termasuk foto-foto kenangan. Tidak sedikit pula yang membacakan puisi-puisi Umbu, bahkan menulis obituari dan khusus menciptakan puisi ode bagi Umbu. Padahal selama ini dia lebih dikenal sebagai pribadi rendah hati, menjauh dari riuh gaduh publikasi, menepi dari puja-puji kepada diri. Meski dirinya tiada (meninggal), keseluruhan dirinya ibarat puisi yang menjadi. Setiap kali puisi itu dibaca, setiap kali pula kita menemukan pengalaman atau hal baru yang menginspirasi. Ia tiada namun mengada.
Warih Wisatsana, penyair
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo